G.A Bag 7

1044 Words
Lionello tersenyum seraya mendekat ke arah mereka. Anak-anak di dalam ruangan itu meringsut ketakutan, berpikir jika pria dewasa di depan mereka akan menyakiti. Anak laki-laki yang terlihat lebih tua dibanding yang lain langsung berdiri tegap di depan teman-temannya, seolah menjadi benteng yang ingin melindungi yang lain. Dia merentangkan kedua tangannya sedangkan anak-anak yang lain mencoba berlindung di balik punggungnya. Lionello berhenti tepat di depan anak laki-laki tersebut. Dia berjongkok, menyamakan tinggi badan dengannya. Dia mengabaikan tatapan tajam anak laki-laki yang berusia sekitar sepuluh tahun. "Apa kalian sudah makan?" tanya Lionello. Anak laki-laki itu hanya diam, seolah ingin mengunci mulut pada Lionello. Hal tersebut pun dilakukan oleh anak-anak lainnya. "Ada banyak makanan enak di sini. Ayo, keluar bersamaku. Setelah makan, aku akan mengantar kalian pulang," ucap Lionello dengan ramah. Dia mengulurkan tangan kanannya pada anak laki-laki tersebut. Bocah itu menoleh ke belakang, seakan merasa ragu dengan uluran tangan Lionello. Dia menatap teman-temannya yang mungkin baru dikenalnya. Selang beberapa menit, anak itu kembali menatap Lionello. "Apa Tuan janji akan mengembalikan kami ke orangtua kami?" tanya anak itu dengan nada pelan dan merasa ragu serta takut bersamaan. Lionello hanya tersenyum menjawab pertanyaan anak itu. "Siapa namamu?" tanya Lionello. "Nevio Baldoni," jawab anak tersebut. "Va bene, Nevio. Bagaimana jika kau mengajak teman-temanmu keluar dan makan bersama?" Anak itu terdiam sejenak. Dia menoleh ke arah anak-anak yang lain lalu kembali pada Lionello. Dia menatap lekat-lekat uluran tangan Lionello. Sampai akhirnya dia menerima uluran tangan Lionello membuat pria itu tersenyum padanya. "Ayo!" ajak Lionello pada anak tersebut. Nevio pun mulai berjalan keluar diikuti anak-anak lainnya. Sedangkan Lionello menggendong salah satu anak laki-laki yang berusia lima tahun tersebut. Dia berjalan bersama anak lainnya. Gustavo mengikuti mereka menuju halaman kastil. Sampainya di halaman kastil, Lionello menurunkan anak yang ada dalam gendongannya untuk bergabung dengan anak lainnya. "Kalian tunggu di sini sampai makanannya datang," pinta Lionello. "Baik, Tuan," jawab Nevio diikuti anak-anak yang lain. Lionello hanya tersenyum. Dia menoleh ke arah Gustavo yang sejak tadi berdiri tak jauh darinya. "Awasi mereka. Pesankan makanan untuk mereka. Aku akan menemui tikus liarnya," perintah Lionello. "Baik, Signore," jawab Gustavo seraya menundukkan kepalanya. Lionello melenggangkan kakinya meninggalkan anak-anak tersebut bersama Gustavo. Dia berjalan ke arah bangunan sisi kanan untuk pergi ke penjara. Sepanjang langkahnya, beberapa anak buah membungkuk hormat saat melihat kedatangannya. Tetapi Lionello mengabaikan salam hormat para anak buahnya. Ketika langkahnya mulai memasuki ruangan penjara, Lionello mengeluarkan senapan dari balik jasnya. Tangannya begitu sibuk mengisi peluru pada senjatanya. Sampainya di depan pintu yang dijaga oleh dua anak buahnya, Lionello berhenti sejenak menunggu pintu itu dibuka oleh mereka. Perlahan kedua kaki Lionello melangkah pelan melewati pintu. Derap langkahnya tidak menimbulkan suara karena permukaan dalam ruangan itu masih berlantai tanah. Dia menghentikan langkahnya tepat di depan seorang pria yang terjerat rantai di atas batu besar. "Buon pomeriggio," sapa Lionello dengan suara beratnya yang khas. Pria berkemeja putih yang sudah penuh dengan beberapa bercak darahnya itu membuka kedua matanya. Wajahnya sudah penuh dengan luka lebam sedangkan mata kanannya membengkak. Kedua tangan dan kakinya terjerat rantai terpisah. Pria yang memiliki nama lengkap Benvenuto Roatta, adalah salah satu anak buahnya yang dia tugaskan untuk menjaga proses pengiriman heroin ke Perancis. Tetapi pria itu berani berkhianat pada Leone Nero, dan mendapat tugas lain dari salah satu kelurga mafia lain untuk menculik beberapa anak kecil di Italia untuk dikirim ke Philadelphia. Nantinya anak-anak tersebut akan dibunuh oleh para anggota keluarga mafia Philadelphia, untuk diekstrak kulit dan darahnya menjadi sebuah obat awet muda. Dan tentu saja yang mengkonsumsi obat-obat tersebut adalah para selebritis terkenal maupun pejabat-pejabat tinggi yang memiliki banyak uang demi menjaga kecantikan dan awet mudanya. Sejak satu bulan yang lalu Lionello sudah mendengar kabar bahwa anak-anak yang berusia sepuluh tahun ke bawah sering mendapat kasus penculikan hingga membuat warga Italia merasa resah. Dan tentu saja bisnis-bisnis Leone Nero sering mendapat hambatan karena masalah tersebut. "Bagaimana rasanya bekerjasama dengan keluarga lain?" tanya Lionello dengan kedua tangan sibuk memamerkan senjata miliknya. Benvenuto berdecih seraya meludah ke arah samping. "Rasanya lebih enak," jawabnya sembari menatap tajam pada Lionello. "Ya. Karena kau bisa kaya lebih cepat," sambung Lionello diiringi tawa pelan. "Kau tidak pernah menganggap ku di dalam keluarga Leone Nero," sanggah Benvenuto untuk membela diri. Lionello terdiam. Dia mendekat ke arah pria itu sedang salah satu kakinya terangkat, menapak pada batu besar yang saat ini menjadi kasur keras Benvenuto. Tubuh Leonello sedikit membungkuk dengan kedua tangan bersandar pada kaki kirinya yang tertekuk. "Kau ingat apa hukuman untuk seorang pengkhianat sepertimu? Anak-anakmu masih terlalu kecil untuk menanggung hukuman atas perbuatan mu," bisik Lionello tepat di depan wajah Benvenuto. Perlahan seringaian pada wajahnya yang sejak tadi dia sembunyikan, kini terpampang jelas di depan Benvenuto, memenuhi sepasang iris cokelat di depannya. "Istrimu juga sedang hamil," Lionello mendekatkan wajahnya ke arah samping seolah akan membisikkan sesuatu pada pria tersebut. "Bagaimana jika aku mengoyak isi perut istrimu di depan mata kepalamu. Sebuah penawaran hukuman yang menakjubkan, bukan?" "Jangan sentuh anak dan istriku!" gertak Benvenuto dengan ekspresi yang menunjukkan emosinya. Lionello justru tertawa melihat ketakutan yang saat ini dirasakan Benvenuto ketika memikirkan nasib kedua anak serta istrinya yang sedang hamil di tangan Lionello. Terlebih keluarga mafia yang mengajaknya bekerjasama tidak menolong ketika anak buah Lionello menangkap dirinya. "Kau sendiri mempunyai anak, tapi justru menculik anak dari orang lain. Kenapa bukan anak dan istrimu saja yang kau serahkan pada mereka? Aku dengar plasenta ibu hamil lebih bagus dibandingkan kulit dan darah anak-anak." "Aku akan membalas perbuatan mu jika kau berani menyentuh anak dan istriku!" sentak Benvenuto. Dia mengangkat kepala sedangkan kedua tangan dan kakinya mencoba bergerak untuk melepas jeratan rantai. "Saat ini mereka sedang menjemput keluargamu." Lionello tersenyum miring. "Kita tunggu kedatangan mereka. Setelah itu ... Kau akan melihat bayi di dalam kandungan istrimu," sambung Lionello. "Jangan! Jangan lakukan itu pada istriku! Aku bersumpah akan membunuh ibumu—" Door Dalam sekejap dentuman senjata di genggaman Lionello mengeluarkan suara yang melengking, memenuhi ruangan gelap dan sunyi tersebut. Sedangkan Benvenuto cukup terkejut mendapat tembakan di bagian paha kirinya. Dia pun meringis menahan sakit pada pahanya. Perlahan darah segar mulai mengucur dari lubang yang disebabkan oleh timah panas. "Cazzo!" desis Lionello dan mengabaikan Benvenuto yang sedang merasa kesakitan. "Aku bisa saja melesatkan peluru tepat di kepala atau d**a mu. Tetapi aku akan melakukannya setelah kau melihat kematian keluargamu," sambung Lionello dengan nada penuh emosi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD