Bocil Ngajakin Nikah

1459 Words
Baru saja keluar dari ruangan setelah menyelesaikan kelasnya pagi ini, Irene dikejutkan dengan pengawalnya yang sudah dikerubungi banyak sekali perempuan. Tapi sikapnya benar-benar dingin, tidak menanggapi semua perempuan yang mendekat. Niat hati Irene ingin kabur tanpa diketahui oleh Justin, justru gagal total saat pria itu berhasil melihatnya. Irene mengumpat kesal karena sekarang semua orang justru melihat ke arahnya. Tentu saja ketahuan jika Justin itu adalah pengawalnya. Malu? Jangan ditanya malunya seperti apa. "Hah kau ini! Kan sudah aku beritahu tadi pagi saat berangkat, jika kau tidak boleh terlalu dekat denganku. Orang-orang tidak boleh tau jika kau ini adalah Bodyguard-ku. Kenapa kau langgar?!" "Maaf, Nona. Tapi saya bahkan tidak mengiyakan ucapan Anda pagi tadi soal hal itu. Jadi, bukan salah saya." Irene menganga mendengar jawaban dari sang bodyguard. Meski dia menyukai Justin, tetap saja dia paling kesal jika ada orang yang tidak mau mengikuti perintahnya. "Kau lebih menyebalkan dari Leon!" "Tentu," "Hah? Kau berani menjawab ku? Kau—" "IRENE!" Sang pemilik nama langsung menoleh ke asal suara dan memilih untuk mengabaikan Justin. Irene bahkan langsung balik melambaikan tangannya ke arah orang tersebut, yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri— Kitana Ryn. "Astaga! Aku sudah menunggumu di kantin lama sekali ternyata kau di sini? Kau bilang mau bolos kelas saja, tapi sekarang apa kenyataannya? Kau membohongiku. Padahal kita sudah sepakat sejak pagi tadi sebelum kelas dimulai!" Ryn terus mengoceh sebelum sadar akan presensi Justin saat ini yang berdiri tidak jauh di belakang Irene. Itu tentu membuat Irene sedikit was-was karena Justin mendengarnya. Takut-takut jika nantinya Justin ember dan melaporkan niat awalnya yang ingin bolos kelas pada sang kakak. Sebenarnya Irene juga tidak masalah jika Leon mengetahuinya. Tapi untuk kali ini dia tidak bisa melawan Leon, karena sebelumnya Leon sudah mengancamnya akan membatasi pemakaian credit card sekaligus fasilitas lainnya seperti mobil pribadi. "Kau benar-benar tidak setia kawan Iren—" "Kau berisik sekali." potong Irene dan dengan cepat menutup mulut Ryn dengan telapak tangannya. Ryn tanpa mengeluarkan banyak tenaga langsung menjauhkan tangan Irene. Menatap kesal Irene dan berniat untuk memakinya, karena Ryn masih tidak terima jika Irene masuk kelas si dosen killer, sementara dia kembali membolos. Baginya tidak adil. Namun, karena netranya menangkap sosok Justin yang ada di sana, Ryn seolah lupa dengan rasa kesalnya pada Irene. Padahal sebelumnya dia berniat untuk memaki temannya tersebut. Tapi sayangnya, presensi Justin membuatnya lupa akan segalanya. "Siapa dia?" tanya Ryn berbisik pada Irene. Bahkan sengaja menarik Irene agar lebih dekat dengannya. "Bukan siapa—" "Saya Justin!" seru Justin tiba-tiba. Ryn langsung melongok begitu mendengar suara Justin yang begitu tegas. Ryn berniat mengulurkan tangannya, tapi Irene buru-buru menariknya dan mengajaknya pergi ke kantin. "Hei! Berhenti dulu Irene! Aku belum berkenalan dengan Justin. Kalau dia pergi bagaimana? Bisa gawat kalau aku gagal berkenalan dengan pria tampan sepertinya astaga!" "Heboh sekali! Dia tidak akan pergi. Lihat ke belakang, dia akan mengikuti kita. Maksudku, mengikuti ke mana saja aku pergi." "Hah? Maksudnya mengikutimu ke mana saja?" tanya Ryn dengan kening yang mengerut. "Bodyguard baruku," "Serius?!" Irene tak menyahut pertanyaan terakhir Ryn. Dia justru balik badan dan menatap Justin yang kini juga berhenti tepat di depan kantin. "Kau tidak perlu masuk, tetap di luar saja." seru Irene memerintah. "Saya akan menelepon Tuan Leon jika Anda membuat ulah." "Hei, aku tidak melakukan apa pun dan kau mulai mengancamku? Leon tidak akan percaya padamu, Justin. Aku hanya ingin makan di kantin, bukannya untuk berulah." "Kalau begitu, saya juga harus masuk ke dalam." "Kau ini—" "Sudahlah Irene, biarkan saja Bodyguard tampanmu ini masuk ke dalam. Lagi pula seru juga kalau makan saja dijaga." sela Kitana Ryn sambil senyum-senyum pada akhirnya. "Hah! Terserahlah!" seru Irene kesal. Gadis itu tentu berjalan lebih dulu dengan sedikit menghentakkan kakinya di lantai. Bukannya dia tidak mau dijaga atau diawasi oleh Justin. Tapi Irene tidak suka serta malu dilihat banyak orang jika dia punya bodyguard. Belum lagi tatapan-tatapan nakal dari mahasiswi lain pada Justin yang membuat Irene kesal. Selama berada di dalam kantin, Justin harus berdiri beberapa langkah lebih jauh dari meja Irene. Alasannya, Irene tidak suka jika makan diawasi. Justin juga tidak keberatan dengan syarat yang Irene ajukan kalau dia tetap bersikeras untuk tetap berada di dalam kantin. Berdiri sedikit lebih jauh tidak masalah. Dari situ, Justin diam-diam bisa tersenyum dan memandangi wajah cantik Irene dengan leluasa. Gadis kecil yang dulunya masih berusia 6 tahun, sekarang sudah sebesar itu. Sudah lama semenjak dia pindah rumah, Justin tidak pernah bertemu lagi dengan Irene. Sepertinya benar apa kata Leon, bahwa Irene sudah lupa dengannya. Tapi Justin tidak akan pernah melupakan Irene. Gadis kecil yang dulu berani-beraninya mengajaknya untuk menikah. Ingatan Justin mendadak melayang pada kejadian di masa lalu. Tepatnya 15 tahun lalu. Di tepian sungai yang airnya mengalir dengan tenang, Justin yang masih remaja berusia 15 tahun tengah sibuk melempar krikil kecil ke dalam air sungai. Itu dia lakukan untuk menghilangkan rasa bosannya. Berkali-kali Justin melakukan itu dan benar saja rasa bosannya sedikit demi sedikit bisa hilang. Baginya ini menyenangkan. Air yang semula tenang setelah dilempari batu krikil menjadi ribut. Anak lelaki itu menoleh ke samping dan mendapati seorang gadis kecil duduk di sampingnya. Gadis cantik berkulit putih bersih, pipinya cabi dan terdapat rona kemerahan alami. Rambutnya dibiarkan terurai walau berkali-kali tangan mungilnya menyingkirkan anakan rambut yang menutupi matanya. "Irene?" pekik Justin yang cukup terkejut dengan presensi gadis itu yang tiba-tiba sudah ada di sampingnya. Gadis itu menoleh sambil memanyunkan bibirnya sebal. Dia tidak suka dipanggil nama langsung. Dia akan protes dan membenarkan. "Nooo! Panggil Princess Kakak!" Anak lelaki itu hanya dapat menghela nafas, kenapa gadis kecil ini selalu menolak di panggil namanya sendiri? "Iya, princess. Kenapa kau kemari?" "Princess bosan," "Kenapa bosan? Di sana banyak makanan," "Lalu kenapa Kakak di sini? Di sana kan banyak makanan." "Aku tidak lapar." "Kenapa tidak lapar?" "Karena cacing-cacing di perutku tidak ingin makan." "Memangnya di perut kakak ada cacingnya?" tanyanya lagi. Oh! Anak lelaki itu sampai kesal sendiri. Kenapa bocah berumur 6 tahun itu cerewet sekali? Dia curiga apa ibunya dulu mengidam knalpot? Anaknya sungguh berisik dan cerewet. "Ada, cacingnya besar!" "Sebesar apa?" Lelaki itu rasanya ingin menggigit pipi bocah kecil itu sekarang juga. Pipinya yang seperti tomat pasti enak jika digigit. Bocah cantik itu suka sekali bertanya. Yang membuatnya jadi kesal sendiri karena harus menjawab setiap pertanyaan terus menerus. "Kakak sebesar apa cacingnya?" tanyanya lagi. Tapi kali ini lebih mendesak. Bocah itu bahkan sudah menarik-narik kaos Justin, sembari sesekali menyingkirkan anakan rambut yang berterbangan sampai mengganggu penglihatannya. "Sebesar tangan orang dewasa." "Memangnya muat? Perut Kakak kan kecil? Kenapa cacingnya bisa masuk? Lalu nanti keluarnya bagaimana?" Dia semakin pusing ingin menjawab apa. Karena bocah itu terus saja bertanya tanpa henti. Benar-benar bocah ajaib. "Hanya orang dewasa yang tau, anak kecil tidak boleh tau." "Tapi aku sudah besar, jadi aku boleh tau kan?" "Tidak, princess masih kecil." "Oh begitu ya?" Ah! Bocah kecil ini selalu saja bertingkah seperti orang dewasa. Dia jadi gemas tapi juga sangat pusing sendiri. "Kakak, kata Mama kalau sudah dewasa boleh menikah." ujarnya tiba-tiba. . "Iya, boleh." "Menikah itu apa?" tanyanya yang membuat Justin semakin terkejut. Sejujurnya, sebelum menyusul Justin, bocah cantik itu sempat mendengar obrolan para orang tua yang membahas soal pernikahan. Jadi, Irene menangkapnya dengan begitu baik. Maka dari itu, dia penasaran apa itu menikah. Oh Tuhan! Dia sampai menepuk jidatnya sendiri. Bagaimana menjelaskannya? Dia bahkan baru berusia 15 tahun. "Ya pokoknya menikah itu nanti bisa tinggal satu rumah, tidur bersama." "Princess juga pernah tidur bersama dengan kak Leon, kenapa tidak menikah?" "Tidak boleh, kak Leon kan kakak kandung princess. Jadi tidak boleh menikah." Bocah itu manggut-manggut seperti paham akan apa yang dijelaskan oleh lelaki di depannya. "Jadi boleh menikah dengan yang lainnya?" "Iya boleh." "Kakak ayo menikah! Kak Justin harus menikah dengan princess." ujarnya begitu riang. Anak lelaki itu, Justin Karl. Dia sampai menganga tidak percaya dengan bocah antik ini. Seenak jidat mengajaknya menikah. Memangnya menikah itu gampang? Lagi pula dia masih di bawah umur. Sedangkan bocah itu baru saja menginjak usia 6 tahun. "Tidak boleh." "Kenapa tidak boleh juga? Tadi katanya boleh jika selain kak Leon." sahutnya dengan bibir yang mengerucut. "Tidak boleh karena masih kecil. Boleh menikah jika sudah dewasa." "Memangnya dewasa itu kapan?" tanya bocah itu dengan mata yang berbinar seolah dia mendapatkan titik terang. "Masih lama." "Berapa lama?" Ah! Justin jadi tidak kuat melihat binar mata bocah cilik yang menggemaskan tapi juga menyebalkan. Cerewet sekali pula. "Tunggu 15 tahun lagi." "15 tahun lagi princess sudah dewasa?" "Iya, princess sudah dewasa. Kak Justin juga sudah dewasa. Baru deh boleh menikah." "Asyik!! Berarti nanti kak Justin akan menikah dengan princess!! Yeay!!" soraknya senang. Sedangkan Justin hanya bisa geleng-geleng kepala. Kenangan masa lalu yang masih terekam jelas dalam pikiran Justin. Dia sekarang bahkan geleng-geleng kepala saat mengingatnya. "Aku datang sesuai dengan ucapanku dulu, Irene. Tapi kau sudah melupakan aku?" ujarnya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD