Bodyguard
"Hah? Bodyguard untukku? Yang benar saja, Leon!"
Irene berteriak protes pada sang kakak yang tiba-tiba saja mempekerjakan seorang bodyguard untuk menjaganya.
"Aku bukan anak konglomerat atau pun anak seorang pejabat yang harus dikawal oleh bodyguard. Aku bahkan tidak sedang dalam bahaya, kenapa tiba-tiba kau mempekerjakan seseorang untuk menjadi pengawalku, hah?"
"Bukan masalah anak konglomerat atau bukan, ini masalahnya karena aku yang terlalu khawatir denganmu, Irene. Aku tidak bisa menjagamu 24 jam penuh. Kau tidak ingat seminggu yang lalu kau kerampokan di jalan? Untung saja nyawamu tidak melayang!"
"Astaga Leon, hanya itu saja tidak perlu khawatir. Aku—"
"Tidak perlu khawatir kau bilang? Aku ini kakakmu dan kau adikku satu-satunya. Mana bisa aku tidak khawatir denganmu?"
"Aku sudah latihan beladiri asal kau tau!"
"Ck! Latihan beladiri baru dua hari saja kau bangga? Pokoknya kau tetap dikawal oleh bodyguard pilihanku. Dia itu tidak hanya bertugas menjagamu, tapi juga mengawasi segala tingkahmu di mana pun kau berada."
Kening Irene berkerut samar. Lantas bertanya, "maksudnya apa?"
"Kau tanya maksudnya apa? Tidak paham juga?" tanya balik Leon dan Irene menggelengkan kepalanya. "Kau tidak ingat dengan kelakuanmu sebulan yang lalu? Kau bertengkar sampai membuat anak orang masuk rumah sakit. Jadi, Bodyguard pilihanku akan mengawasimu dan akan melaporkannya padaku jika kau membuat ulah."
Leon Kayleigh benar-benar sudah tidak sanggup jika harus menghadapi Irene yang sekarang. Sejak kedua orang tua mereka meninggal 5 tahun yang lalu karena kecelakaan, sikap dan perilaku Irene berubah drastis.
Irene Kayleigh menjadi sosok gadis yang tidak mudah diatur, pembangkang, selalu membuat masalah dan membuat pusing Leon setiap hari. Selalu ada saja hal yang tidak terduga dan Leon sampai kewalahan untuk menghadapinya. Jujur saja, Leon tidak bisa mengawasi Irene 24 jam penuh karena dia juga harus bertanggungjawab meneruskan perusahaan sang Ayah. Apalagi Leon kerap ke luar kota untuk melakukan perjalanan bisnis. Hal itu membuatnya jarang di rumah.
Leon sempat frustasi dengan kelakuan sang adik yang makin hari makin bertingkah. Hingga dia mendapatkan kabar jika sang adik kerampokan di tengah jalan saat malam hari. Pikiran Leon jadi terpecah karena hal tersebut. Khawatir, kesal, marah menjadi satu. Ditambah lagi lingkungan pertemanan Irene yang bisa dibilang sangat buruk. Tapi mau berulang kali diminta untuk cut off teman yang merugikan, Irene justru semakin menjadi-jadi. Seperti sengaja untuk membuat Leon kesal.
Gadis berusia 21 tahun itu mendengus kesal dan berjalan menjauh sambil menghentakkan kakinya. Dia berniat untuk pergi ke luar rumah, namun saat ada seseorang yang tengah duduk di sofa ruang tamu, Irene mendadak menghentikan langkahnya.
Dia pandangi seorang pria bertubuh gagah yang sedang duduk tenang di sana. Pakaiannya begitu rapi meski dua kancing teratas kemeja yang dipakai dibiarkan terbuka.
Tampan? Satu kata yang keluar dari mulut Irene saat ini. Jiwa cegilnya mendadak keluar karena melihat pria tampan di depan mata.
"Maaf menunggu lama,"
Irene langsung menoleh saat sang kakak tiba-tiba muncul, lalu mendekat ke arah pria asing tersebut. Saling berjabat tangan seolah sudah saling mengenal. Tentu saja Irene mengernyitkan keningnya bingung.
"Tidak masalah, Tuan Leon. Sepertinya saya yang datangnya jauh lebih awal."
"Aku justru senang kau tidak terlambat, Justin." sahut Leon. Lalu dia menoleh ke arah Irene dan memanggilnya untuk mendekat. Tentu saja gadis itu langsung mendekat saat sang kakak sudah memanggilnya.
"Nah, Irene, sesuai apa yang aku katakan padamu sebelumnya, kau akan dikawal oleh Bodyguard pilihanku. Dan ini adalah orangnya, Justin."
"Terlalu bagus untuk sekelas bodyguard—"
"Irene..." tegur Leon.
Irene sontak meringis, "oke maaf-maaf. Aku Irene Kayleigh," ujarnya sembari mengulurkan tangannya.
Justin sontak menerima dan menjabat tangan Irene dengan sopan. "Saya Justin, Nona Irene. Senang bertemu dengan Anda."
Irene tersenyum tipis, sembari mengusap pelan punggung tangan Justin menggunakan ibu jarinya. Menunjukkan jika gadis itu tertarik pada Justin.
Sementara itu, pikiran Justin justru melayang pada setahun yang lalu. Saat dia hampir sekarat karena dicelakai oleh orang-orang suruhan rival bisnisnya.
Masih teringat betul di dalam ingatan Justin, bagaimana teriakan seorang gadis yang membuat beberapa orang yang mencelakainya langsung pergi meninggalkannya yang sudah tak berdaya dan hampir sekarat.
“Tolong! Tolooong!”
Gadis itu mendekat ke arah Justin yang sudah tak berdaya. Bahkan hanya untuk membuka matanya lebih lebar lagi pun begitu kesulitan. Tapi Justin masih bisa melihat bagaimana wajah Irene meski samar. Dan beruntungnya dia masih bisa mendengar dengan jelas suara gadis itu yang terdengar begitu khawatir.
“Aduh, bagaimana ini.” paniknya sambil menoleh ke kanan dan kiri, namun jalanan tersebut benar-benar sepi.
Tidak ada pilihan lain, maka gadis itu langsung berusaha untuk membawa tubuh besar Justin masuk ke dalam mobilnya dan buru-buru membawanya ke rumah sakit.
“Tolong, jangan tutup matamu! Sebentar saja, aku akan membawamu ke rumah sakit.”
Justin sudah tak sadarkan diri begitu sampai di rumah sakit. Bahkan saat dia sadar, gadis itu sudah tidak ada di sana. Justin tentu ingin bertemu dengan malaikat penyelamatnya. Dia tidak tau apa yang akan terjadi, jika gadis itu tidak ada di tempat kejadian semalam. Karena itulah, Justin meminta bawahannya untuk mencari tau siapa gadis itu, dengan berbekal rekaman cctv dari rumah sakit yang dia dapatkan dengan bersusah payah.
Tapi sayangnya tidak membuahkan hasil sama sekali. Dan Tuhan seolah mempunyai rencana lain, yang mana dia kembali bertemu dengan teman masa kecilnya, yaitu Leon. Dan dari Leon lah, akhirnya Justin mengetahui bahwa Irene adik dari Leon adalah gadis yang dia cari-cari sejak setahun yang lalu.
Suara deheman dari Leon membuat Justin tersadar akan lamunannya dan Irene pun langsung melepaskan jabatan tangannya. Namun, sorot mata gadis itu masih tertuju ke arah wajah tampan Justin.
"Kenapa masih berdiri di sini?" tanya Leon pada Irene yang masih berdiri di tempatnya.
"Kau bicara padaku?"
"Kau pikir pada siapa lagi? Jelas-jelas aku mengajakmu bicara,"
"Ah, kau ini—"
"Cepat sana siap-siap. Jangan berlagak lupa ingatan jika hari ini kau harus pergi ke kampus."
"Aku sudah bilang padamu jika aku ingin bolos saja hari ini, Leon. Kenapa—akh!"
Leon menyentil dahi Irene karena gemas sendiri pada sang adik. Gemas-gemas kesal sepertinya.
"Bolos-bolos, kau pikir kampus itu milik nenek moyangmu? Kapan selesainya jika kau terus-terusan membolos?"
Bukannya langsung pergi ke kamar untuk bersiap, Irene justru tetap berdiri di sana sambil menirukan Leon yang tengah mengomel. Hanya sebatas gerak bibir tanpa suara. Namun tetap terlihat menyebalkan bagi Leon.
"Cepat sana ganti baju dan siap-siap, Irene. Jangan membuat Justin menunggu lama."
"Oh, dia mulai bekerja hari ini yaa." balasnya dengan sudut bibir yang terangkat sebelah melirik Justin.
"Baiklah, aku akan bersiap-siap sekarang juga." lanjutnya, lalu buru-buru meninggalkan ruang tamu. Sedikit berlari untuk menaiki tangga, sembari memikirkan cara apa yang akan dia lakukan nanti untuk menarik perhatian sang bodyguard. Irene, benar-benar tertarik pada Justin.
Sementara itu, Leon langsung menarik Justin ke luar menuju teras depan. Dia mengusap wajahnya sedikit lega karena takut ketahuan. Jujur saja, Leon paling payah jika harus berakting.
"Bagaimana tadi? Tidak kelihatan jika kita saling mengenal lama kan?"
"Aktingmu tidak terlalu buruk juga,"
"Justin, sungguh, aku serius kali ini. Jangan main-main pada adikku. Aku percayakan dia padamu. Kabari aku jika Irene membuat masalah."
Justin sontak mengangguk, "tentu saja, Leon. Aku sudah jujur padamu soal apa alasanku mengajukan diri untuk menjadi pengawalnya."
Leon mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Sebelumnya dia cukup terkejut saat Justin mengajukan diri untuk menjadi bodyguard Irene.
Leon bahkan sampai terkejut saat itu. Bagaimana tidak? Justin Karl, pria berusia 30 tahun itu adalah seorang CEO di perusahaan besar. Rekan kerja sekaligus temannya sejak kecil. Seseorang yang super sibuk tiba-tiba mau berpura-pura menjadi seorang bodyguard hanya agar bisa lebih dekat dengan Irene sekaligus menjaganya.
Awalnya memang Leon menolak, tapi Justin memaksa yang mana membuat Leon akhirnya mau tidak mau menyetujuinya karena sudah kehabisan akal untuk menghadapi Irene.
"Ya, ya, aku bisa apa kalau alasannya soal hati? Tapi sungguh Justin, sepertinya Irene benar-benar lupa siapa kau. Dia tidak ingat jika kau teman semasa kecil kita dulu."
"Tentu saja, banyak perubahan. Bahkan aku jauh lebih tampan sekarang,"
Leon sontak mendecih, "sombong!"