09. Berperang melawan perasaan.

1851 Words
Vector terkekeh melihat wajah menggemaskan gadis di hadapannya. Dengan cepat ia mengulurkan jemarinya, mengusap bekas saus yang menempel di bibir Catalina menggunakan ibu jarinya kemudian melumat bekas saus dari bibir Catalina yang ada pada ujung ibu jarinya. "Uhuk!" Catalina sampai tersedak karena melihat keabsurd-an pria di hadapannya. "Astaga!! Hati-hati, cepat minum." Vector menyodorkan segelas air putih ke hadapan Catalina. Dengan rakus Catalina meminum air tersebut hingga tandas. Ia benar-benar syok dengan perlakuan yang diberikan Vector padanya. Ada apa sebenarnya dengan pria itu? Apa saja yang ia lewatkan selama satu tahun belakangan ini? Hingga rasanya begitu aneh saat melihat Vector yang baru. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Vector, yang kini beralih mengupas buah jeruk untuk Catalina. Catalina hanya diam. Apa yang dia pikirkan? Vector? Apa?! Yang benar saja, ia memikirkan pria aneh ini. Astaga!astaga! Catalina memukul kepalanya sendiri. "Hei, apa yang kau lakukan? Nanti kepalamu bisa sakit." Lagi-lagi Vector mengusap bekas pukulan Catalina di kepalanya sendiri. Tanpa sadar kedua mata mereka bersitatap, sedikit lama mereka tidak dapat mengalihkan tatapan matanya, seolah ada tarikan gaya magnet yang menarik kedua pasang netra mereka untuk tidak berpaling. "Ehem." Vector memutus tatapan mata mereka berdua. Merasa begitu canggung, menahan detak jantung yang sedari tadi sudah berdentum rasanya ingin keluar dari tempatnya. Sedang Catalina hanya diam memperhatikan perilaku aneh dari pria di hadapannya itu. "A-aku, ah—sepertinya aku sudah telat berangkat bekerja hari ini. Aku pergi dulu." Dengan cepat Vector berdiri dari tempat duduknya sembari salah tingkah, menggaruk tungkuknya. Catalina menaikkan sebelah alisnya, ia semakin merasa aneh dengan tingkah Vector. Benarkah dia Vector sang pemimpin Mafia kejam itu? Ah, rasanya sangat mustahil. "Tuan, kau meninggalkan tasmu!" teriak Catalina. Vector yang hendak keluar dari ruangan Catalina sontak meraup wajah memerahnya, membalikkan badan dan mengambil tas kebesaraanya. Tersenyum tampan menatap wajah bingung gadis di hadapannya. Dengan cepat ia mencuri ciuman di pipi kanan gadis tersebut. "Cepat sembuh, nanti aku akan datang ke sini lagi." ucapnya dalam sekali tarikan napas, kemudian berlari keluar dari ruangan tersebut. Hal itu tak luput dari padandangan para pengawal yang menjaga ruangan Catalina. Hah! Sepertinya tuannya ini sedang dimabuk cinta. Catalina menghedikkan kedua bahunya acuh, ada apa dengan Vector sialan itu? Kenapa dia begitu salah tingkah hanya karena mengecup pipinya. Bukankah mereka dulu sering melakukan sentuhan lebih? Hah, sudahlah. "Apa yang terjadi pada Tuan kalian sebenarnya, apa menjadi ketua Mafia membuat otaknya sinting?" gerutu Catalina, hendak turun dari tempat tidurnya. Sosok pengawal itu hanya diam, enggan untuk menjawab ucapan Catalina, dia tidak punya wewenang untuk membicarakan hal yang berbau pribadi tuannya. "Bantu aku ke taman belakang." Pinta Catalina. "Baik Nona." Dengan cepat sosok pengawal itu mengambil kursi roda yang sudah di sediakan di sana. "Aku tidak mau memakai benda sialan itu!" sarkas Catalina. Sosok pengawal itu mengangguk dan berjalan medekati Catalina, membantu gadis itu berdiri dan memapahnya menuju ke taman belakang. Vector memberikan kepercayaan pada pengawal kepercayaanya tersebut untuk membantu Catalina, tak apa jika dia menyentuh kulit gadisnya itu, selagi hanya karena kebutuhan Catalina. Tidak untuk hal yang di luar pekerjaan. Sesampainya di taman belakang. Sosok pengawal tadi mendudukkan tubuh Catalina di atas kursi panjang di sana. Selanjutnya ia berdiri mengawasi dari dekat gadis itu. Catalina menggigit bibir bawahnya, berusaha berdiri menumpukan kedua tangannya di pinggiran kursi. "Shhhh." Desis Catalina berusaha berdiri, menahan kakinya yang terasa ngilu. Beberapa menit akhirnya Catalina sudah berdiri tegap, ia tersenyum lebar seraya menatap sosok pria di sampingnya. "Aku bisa berdiri! Aku bisa!" teriaknya girang. Sosok pria yang sedari berdiri itu ikut tersenyum, sedikit khawatir dengan sosok gadis di hadapannya ini, Catalina terlalu memaksakan diri untuk bisa berjalan. Catalina berusaha mengangkat kaki kanannya untuk melangkah. Satu langkah, dua langkah. Dan— BRUGG! Tubuh Catalina limbung dan terjatuh di atas rerumputan. Catalina merepal kedua genggaman tangannya, ia benci dengan apa yang terjadi pada dirinya. Ia benci menjadi gadis lemah seperti ini. Dengan sekuat tenaga yang ia bisa, mencoba kembali berdiri. Sosok pengawal yang marasa tak tega dengan sosok gadis di hadapannya, menunduk dan membentu berdiri sosok gadis tersebut. Namun lagi-lagi Catalina menolaknya. "Pergi!! Aku bisa sendiri!" bentaknya, berlinang air mata. Tanpa ada niatan untuk menyerah, Catalina kembali berdiri dengan kedua kaki bergetar. Tetapi untuk kedua kalinya tubuh gadis itu harus terjatuh. "BRENGSEKK!! SIALANN!! ARRGGHH!" Catalina memukul rerumputan di hadapannya. Ia marah karena tidak mampu hanya sekedar berdiri saja. "Aku benci, aku benci semua ini! Kenapa aku tidak mati saja, hah?! Kenapa aku harus hidup jika hanya akan menjadi manusia lemah seperti ini!" amuk Catalina. Menjambak rambutnya kasar. "Tenanglah." Sebuah rengkuhan hangat memeluk tubuh Catalina, gadis itu terdiam. Ia hapal betul dengan siapa sosok yang ada di belakangnya ini. Aroma maskulin yang menguar dari tubuh pria tersebut begitu khas. Yah! Vector, dia sosok yang memeluk tubuh Catalina. Catalina menolehkan wajahnya menatap sayu sosok yang ada di belakangnya. CUPP!! Bibir keduanya menyatu, saling melumat lembut. Ciuman ini sangat berbeda dari ciuman terdahulu yang pernah pria itu lakukan. Vector melepas pagutanya, menatap lekat kedua iris berkaca-kaca Catalina. "Tuan menginginkannya? Tapi aku— . Dengan satu hentakan, Vector mengangkat tubuh ringan Catalina. Reflek gadis itu mengalungkan kedua lengannya di belakang leher sang pria. Ia sedikit syok dengan perlakuan Vector yang tiba-tiba. Diam-diam Catalina tersenyum, menyembunyikan wajahnya di d**a bidang Vector. Pemandangan itu tak luput dari tatapan banyaknya penjaga di sana. Mereka terheran-heran dengan sikap sang tuan yang terkesan sangat berbeda jika dengan Catalina. Perlahan namun pasti, Vector membaringkan tubuh Catalina di atas ranjangnya. Tersenyum ketika kedua pasang mata mereka saling bersitatap. Telak membuat Catalina malu, wajahnya terasa memanas seperti terbakar. Entahlah, gadis itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada wajahnya. "Wajahmu merona eoh ...." goda Vector sembari menyunggingkan sudut bibirnya, dan itu terlihat begitu tampan di mata Catalina. "Aku tidak." Catalina menutup kedua pipinya dengan kedua telapak tangannya. Vector terkekeh renyah, kenapa pembunuh bayaran profesional seperti Catalina bisa merona juga? Ia pikir karena berhati iblis maka tanda-tanda sebagai gadis tulen sudah hilang dari dirinya ternyata ... hah, sifat itu masih berlaku di diri Catalina. "Aku lapar." Ujar Catalina kemudian. Vector mengangguk dan meminta salah satu pelayannya untuk membawakan makanan untuk Catalina. Tak berapa lama sosok pelayan datang sembari mendorong troli makanan ke dekat ranjang Catalina. Dengan telaten Vector memasang meja kecil di hadapan Catalina, meletakkan satu persatu piring berisikan makanan ke atas meja kecil tersebut. "Makanlah." pinta Vector. Catalina diam, ingin meminta Vector untuk ikut makan bersamanya. Namun ia teringat akan kejadian terdahulu, dimana ia justru mendapat satu tusukan pisau di lengannya. Tanpa sadar Catalina melihat bekas jahitan yang terdapat di lengannya. Vector mengerti apa yang kini tengah dipikirkan Catalina. Dengan cepat ia mengambil suara. "Kau tidak ingin mengajakku makan bersamamu? Aku juga lapar jika kau tahu. Memangnya kau bisa menghabiskan makanan sebanyak ini?" Cerca Vector. Catalina tersenyum dan mengangguk semangat. "Baiklah, makanlah yang banyak, Tuan. Aku melihat jika kau semakin kurus saja." Kekeh Catalina. Vector ikut tersenyum, ia membenarkan ucapan Catalina. Memang benar jika dirinya sedikit mengalami penurunan berat badan, dan semua itu karena Catalina. Catalina melirik ke arah Vector yang terkadang mencuri pandang ke arahnya. "Tuan, apa kau menyukaiku?" Tanya Catalina begitu santainya. Catalina memang tidak percaya akan adanya cinta. Tetapi--dia bukan gadis bodoh yang tidak mengerti ketertarikan antar lawan jenisnya. Dia sudah kenyang melewati berbagai kehidupan, dari menjadi pembunuh, bahkan menyamar jadi gadis baik-baik dan berakhir menjadi seorang istri pengusaha kaya raya. Tak bodoh Hanami untuk tidak mengenali perubahan sikap Vector. "Uhuk!!" Vector tersedak makanan yang baru saja ia suapkan ke dalam mulutnya. Pertanyaan Catalina benar-benar tepat sasaran. Kenapa gadis itu begitu santai berucap demikian, sedang Vector sudah menahan malu. Wajahnya berubah memerah bak kepiting rebus. Oh, tunggu! Dia seorang pria. "Wajahmu memerah, Tuan." "Apa kau tidak pernah tersedak, hah? Apa jika kau tersedak maka wajahmu tidak akan memerah?!" elak pria itu. Catalina hanya mengangguk, sembari mengusap bibirnya terkena bekas makanan. "Aku semakin yakin jika kau memiliki rasa terhadapku." "Hahaha ... kau terlalu percaya diri. Ingat posisimu, kau tidak pantas menjadi pendampingku. Mana mungkin aku memiliki rasa pada jalang murahan seperti dirimu. Ingat! Posisi kita berbeda." Catalina hanya tersenyum, sedikit merasa sakit saat Vector berbicara seperti itu. Namun ia segera membuang perasaan tersebut. Bukankah ia tidak mengenal arti sakit hati? Ataupun rasa cinta. Jadi--tak ada masalah bagi Catalina perkara perkataan Vector yang kelewat keterlaluan itu. "Kau benar, Tuan. Kau tidak pantas bersanding dengan jalang seperti diriku. Kau terlalu terhormat untuk dekat dengan diriku." Vector terdiam, sontak ia merasa bersalah karena berucap kasar kepada Catalina. "Tuan ... aku sudah tidak berguna. Bahkan aku tidak bisa melayani keinginan mu. Apa kau akan membuang ku?" tanya Catalina dengan pandangan redupnya. Vector terkekeh pelan. "Jika aku berniat membuang mu, kau tidak mungkin ada di sini." Catalina tersenyum, meraih jemari besar Vector mendusalkan wajahnya seperti anakan kucing. Dan hal itu terlihat begitu manis di tatapan Vector. "Tuan." "Eum?" "Jangan pernah sekalipun mencoba untuk mencintaiku. Karena aku--tidak akan pernah bisa membalasnya." Bagai dihujam sebilah sembilu tajam, hati Vector seakan mati rasa mendengar penuturan Catalina. Baru saja ia merasakan apa itu cinta, dan saat itu juga dirinya mendapat penolakan. Ingin marah, ingin mengamuk, tapi entah pada siapa. "Ck, jangan berharap. Untuk apa aku harus mencintaimu? Jika masih ada jalang yang lebih menggoda di luar sana." Melepaskan rengkuhan tangan Catalina. Entah mengapa ada rasa tak rela di hati Catalina saat mendengar ucapan pria di dekatnya ini. Ia tak suka jika Vector bermain dengan gadis lain. Eih! Sejak kapan Catalina memiliki pemikiran aneh seperti ini? Bukankah di perjanjian kontrak mereka 'Tidak ada yang boleh memakai perasaan?' lalu? Apa yang terjadi pada Catalina. Vector memperhatikan keterdiaman Catalina. Apa dia merasa sakit hati saat aku berkata tentang bermain dengan seorang jalang? Apa dia cemburu? Ah, tidak! Vector menggelengkan kepalanya. Dia tidak ingin berpikir terlalu jauh, mana mungkin Catalina memiliki kecemburuan terhadapnya. "Aku mau keluar." Vector berdiri dari tempat duduknya. "Kemana, Tuan?" Hei! Sejak kapan Catalina peduli dengan aktivitas Vector?. Vector menyunggingkan seringaian. "Tentu saja untuk memuaskan nafsuku. Kau tidak bisa melakukannya untukku, bukan? Kau sudah tidak berguna." Catalina menunduk, mendengarkan ketukan sepatu Vector yang berlahan keluar dari ruang kamarnya. PRANGG!!! "Brengsekk!!" Catalina membuang semua benda yang ada di dekatnya. Dengan cepat pengawal yang bertugas di kamar gadis tersebut memberikan suntikan penenang kepada Catalina, dia hanya tidak ingin Catalina bertindak terlalu jauh. Ingatlah ... gadis ini tidak takut akan kematian. Dia bisa saja melenyapkan dirinya sendiri, jika sedang merasa stres. Catalina tak sadarkan diri, sosok pengawal di sana hanya mendengus kesal. Ia menyaksikan percakapan sang tuan dengan gadis ini sedari tadi. Tanpa ditanya pun ia sudah melihat jika keduanya memiliki ketertarikan satu sama lain. Tapi kenapa mereka selalu membohongi perasaan masing-masing?. "Cinta ... deritanya tiada akhir." . Yah! Vector yang kini kembali menjelma menjadi iblis, melampiaskan kemarahannya pada para jalang di tempat ini. Tak sampai di situ, ia kembali memesan beberapa jalang dan bermain sampai pagi. Tentunya mereka akan berkahir dengan belati ataupun benda lain yang menancap di area tubuh mereka. Catalina terdiam setelah sadar dari pingsannya. Menatap ke sekeliling. "Apa tuan tidak datang ke sini?" "Tidak Nona." sahut pengawal di sana. "Aku ingin ke lantai bawah, bantu aku." Pengawal itu mengangguk dan membawa tubuh Catalina ke atas kursi roda, mendorongnya ke dalam lift menuju ke lantai bawah. "Sudah larut malam, apa Vector tidak pulang?" gumam Catalina, sesekali menatap ke arah pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD