Nindya sempat tercenung mendengar pertanyaan bu Cokro tentang pernikahannya dengan Harja.
“Aku sudah tanya dia setahun lebih yang lalu, Bu. Waktu Ibu lapor ke aku kalo dia sudah berselingkuh dengan perempuan itu. Dia bilang bosan, bosan hidup susah sama aku.”
“Susah apanya, Nin? Aku kenal kamu dan keluarga kamu sejak puluhan tahun lalu lo. Harja punya pekerjaan yang paling bagus di antara suami-suami di sini. Gaji puluhan juta kok bilang susah. Kamunya juga hemat dan anak-anak kamu juga nggak banyak menuntut.”
“Tapi memang dia bilangnya begitu. Bosan hidup susah dan begini-begini saja, nggak ada peningkatan, rumah ngontrak, mobil nggak punya, motor butut. Teman-temannya hebat-hebat begitu.” Mata Nindya berkaca-kaca mengingat masa-masa indah awal menikah sekitar belasan tahun lamanya, Harja agak berubah sejak lahir Cakra.
Bu Cokro mencebikkan bibirnya, “Suamiku itu dulu cerita kalo Harja itu pernah ngaku sengaja hidup sederhana karena menghemat. Dia sudah beli rumah besar di Bogor, mobil ratusan juta dan tanah luas di Puncak. Tapi suamiku nggak percaya, ngomongnya kalo si Harja cuma kesel karena dibilang miskin.”
Nindya diam saja, dia juga sudah pernah mendengar isu itu dari pembicaraan Harja dan temannya saat datang berkunjung ke rumahnya, namun saat dia bertanya, Harja mengaku hanya bualan yang dia buat-buat saja.
“Sudah, Bu. Aku mau fokus bekerja dan mengurus anak-anak.”
“Ya, tapi aku tuh nggak habis pikir kok dia sampe setega itu nggak mau lagi berhubungan dengan anak-anakmu lo, ‘kan mereka darah daging dia juga.”
“Aku juga nggak bisa berbuat apa-apa, Bu Cokro.”
Wajah Bu Cokro kemudian berubah serius, seolah mengingat akan sesuatu hal. “Eh, oiya, Nin. Lisda bilang kamu pakai seragam waktu pulang kemarin. Berarti kamu bekerja di rumah orang kaya ya?” tanyanya.
Nindya lagi-lagi menghela napas pendek. “Iya, Bu. Kelewat kayanya. Pembantu saja ada sembilan. Yang asuh anak-nya ada tiga. Aku sekali-kali ikut ngasuh, oiya, malah pada menginap di rumahku lo.”
“Wah, hebatnya kamu, Nin. Terus sudah pulang ke rumah lagi sekarang?”
“Ya, ‘kan tadi pada pergi ke mall sama anak-anakku.”
“Oooh.” Mata bu Cokro membulat besar. “Sudah akrab sama anak-anak majikanmu ya? Besar gajinya, Nin?”
Besar, jawab Nindya dalam hati, tapi dia tidak mau mengatakannya.
“Berarti majikanmu ramah dan baik ya, Nin.”
“Ya.” Bahkan aku memijatnya, dia duda, lagi-lagi Nindya tidak mau berterus terang. Pasti akan jadi omongan yang tidak-tidak oleh tetangganya.
“Wah, Nin. Kesempatan balas dendam dong. Siapa tahu ada kerabatnya yang kaya juga, kamu jangan mau kalah dari Harja.”
“Astaga, bu Cokro. Ibu itu pikirannya kok begitu?”
“Hehe, ya usaha, Nin. Kamu masih singset begini dan … cuantik. Pak Edo, duda, seberang rumahku tanya-tanya kamu lo.”
Nindya geleng-geleng kepala, tidak habis pikir akan jalan pikiran bu Cokro yang keterlaluan menurutnya. Tapi dia memilih untuk tidak menanggapi lebih jauh.
***
Setelah puas bermain dan berbelanja, Bayu mengajak rombongannya makan siang di food court, yang saat itu cukup ramai dan antri. Naomi dan Cecilia memilih masakan Manado kesukaan mereka, dan Bayu dan adik-adiknya memilih sop rawon. Mereka duduk dan makan bersama sambil bersenda gurau. Naomi duduk di sebelah Cakra dan saling bertukar makanan, lucu sekali mereka, bak pasangan serasi.
“Mas Bayu, aku mau nenen!” seru Cecilia yang sudah makan.
Bayu terkejut, juga Citra. Keduanya saling pandang dan mengernyitkan dahi tidak mengerti,
“Aku juga, Mas Bayu, aku mau nenen yang ada bulat-bulat item. Di situ tuh nenennya!” seru Naomi dengan wajah binarnya. Tentu saja kata-kata mereka mengundang tatapan aneh dari para pengunjung di sana, terutama para pelanggan yang sedang asyik menikmati makan siang dan mereka senyum-senyum melihat Naomi dan Cecilia.
“Ssst.” Bayu berdiri dari duduknya, mendekati keduanya. “Nggak boleh bilang begitu di publik, Naomi.”
Naomi tampaknya menyadari dirinya diperhatikan orang-orang yang menertawainya. Bayu segera menenangkan perasaannya. “Naomi mau apa? Minum?”
Naomi mengangguk. “Iya, Mas. Yang ada bola-bola hitam.”
Citra akhirnya tertawa juga dan mengerti, “Oh, es teh s**u yang ada bobanya?”
“Iya, Kak,” ujar Cecilia, wajahnya memerah menahan malu, apalagi melihat wajah-wajah yang menertawainya di sekitarnya. Tapi mereka malah tersenyum kagum akan kecantikan wajah Cecilia.
“Ya sudah, Mas pesan ya? Kamu tunggu di sini. Dua, ‘kan?”
Naomi dan Cecilia mengangguk.
“Emangnya kenapa, Kak? Nggak boleh bilang … nenen?” tanya Naomi pelan, matanya mengawasi sekitarnya, khawatir masih ada yang menertawai.
“Itu kayak … aneh saja, Omi. Hm, bayi yang nyusu sama mamanya. Orang-orang bakal mikir nenen itu s**u yang ini, dan pikirannya jadi aneh gitu.” Citra berusaha menjelaskan dengan cara baik.
“Oh, jadi kurang sopan ya?” tanya Cecilia.
“Ya, begitu. Bilang saja es teh s**u, atau milktea.”
“Tapi Papi suka minta nenen sama bu Susi, sama bu Nin juga. Bu Nin dan bu Susi nggak marah tuh, dan nggak ketawa juga,” ujar Naomi sedikit protes.
“Kalo di rumah ya nggak apa-apa. Mungkin sudah biasa,” tanggap Citra, tapi dalam hatinya tertawa membayangkan papa Naomi dan Cecilia mengatakan sebuah kata yang mengundang banyak interpretasi.
“Oh, okay.” Naomi menunjukkan wajah mengerti saat diberi penjelasan Citra. Dia berjanji untuk tidak mengulangi lagi ucapannya. Sedangkan Citra tersenyum hangat memahami Cecil dan Naomi yang mungkin sudah menganggapnya dekat, sehingga keduanya bebas mengatakan apapun yang menjadi kebiasaan di rumah.
Tak lama kemudian, Bayu sudah datang dengan lima gelas plastik besar berisi teh s**u boba, dia membelikan semuanya termasuk untuk dirinya. Lalu semua menikmatinya bersama.
“Maaf tadi ya, Mas Bayu,” ucap Naomi sopan.
“Nggak apa-apa, Omi. Enak?” Bayu duduk di samping Naomi dan mengusap-usap kepalanya.
Naomi mengangguk senang.
***
Nindya menyambut senang anak-anak yang baru pulang dari jalan-jalan di mall, dia tertawa menggeleng melihat Bayu yang menggendong Cecilia yang mengantuk. Saat sudah berada di dalam rumah, Cecilia bahkan tidak mau turun dari gendongannya, meminta Bayu tetap menggendongnya sampai dia tertidur.
“Sudah, Ma. Nggak apa-apa. Biar sama aku … tadi kecapekan, kenyang juga,” ujar Bayu sambil menepuk-nepuk pundak Cecilia supaya cepat tidur. Sementara Naomi masih saja berbincang seru dengan Cakra, bahkan mengajaknya bermain kartu. Dua anak itu seperti tidak ada capeknya.
“Ah, seru juga ajak dua cilik ini jalan-jalan,” gumam Citra yang rebah di atas sofa ruang tamu.
“Iya, apalagi tadi ada yang minta nenen!” seru Cakra dengan senyum usilnya.
“Iya, Bu Nin. Aku diketawain sama orang-orang,” ujar Naomi sambil tertawa malu.
Bersambung