Nindya merasa gamang setelah menerima panggilan dari Tirta. Tidak tahu kenapa dia begitu lancar memarahi duda itu tanpa kikuk dan ragu, seolah sudah mengenal lama. Juga Tirta yang tahu celah yang membuatnya risih dan sewot. Berbeda saat menghadapi Harja, mulut Nindya seolah terkunci dan dia tidak kuasa melawan atau marah besar. Bahkan saat menyatakan cerai, dia ikut saja. Meskipun sudah dua dasawarsa hidup bersama, Nindya pada akhirnya menyadari bahwa dia belum mengenal Harja sepenuhnya.
Tirta : Tadi buat kue apa, Nin? Kamu belum jawab pertanyaan pertamaku
Sebuah pesan kembali mengganggu Nindya.
Nindya membacanya, ragu menjawab atau tidak.
Nindya : Kue bolu dan onde-onde.
Akhirnya Nindya menjawab juga di tengah rasa kantuknya.
Tirta : Pasti enak, buatkan untukku kalo kamu sudah pulang ke rumah ya, Nin
Nindya tidak membalas pesan Tirta, dan memilih tidur.
***
Melihat keceriaan anak-anaknya dan anak-anak Tirta membuat Nindya yakin semuanya pasti tidur sangat nyenyak semalam meskipun tidur larut malam. Mereka kompak bangun pukul sembilan, dan suasana di dapur jadi meriah, ulah anak-anak berebut sarapan pagi. Bukannya kerepotan, Nindya justru senang, karena semuanya justru saling membantu saat sarapan pagi. Cakra yang membantu mengolesi selai strawberi ke roti untuk Cecilia, dan Naomi membantu menumpahkan s**u ke semua gelas yang ada di atas meja makan.
“Cakra, kamu mau apa?” Suara lembut Naomi membuat Nindya terkesima. Naomi tampaknya senang berteman dengan Cakra.
“Aku mau makan bubur ayam, itu lagi dibuat sama kak Citra,” ujar Cakra sambil menunjuk ke arah Citra yang sedang membuat bubur ayam instan untuknya.
“Kamu mau sarapan apa, Omi?” tanya Cakra balik.
“Sama kayak Cecil saja.”
“Ok, aku buatkan ya? Selainya sebanyak ini?”
“Hm … kurangi dikit.”
Tampak Bayu dan Citra memastikan adik-adik mereka yang sedang sarapan. Wajah mereka tampak lega saat masing-masing sudah sarapan.
“Jam berapa pada mau pergi?” tanya Nindya ke Bayu. Dia sedang menikmati jamu.
“Habis sarapan, istirahat sebentar, terus kita pergi, Ma. Nggak mau terlalu siang, kasihan yang kecil-kecil, nanti pada kepanasan.”
“Ke mall mana?”
“Yang terdekat saja, Ma. Paling makan-makan. Tapi kalo Cecil dan Naomi kepingin sesuatu, aku masih punya uang.”
“Oh, Mama hampir lupa. Ada bonus dari pak Tirta, nanti Mama kasih ke kamu ya?”
“Oke, Ma.”
Bayu tersenyum lebar mendengar mamanya mendapat bonus, yakin mamanya sudah bekerja sangat baik di rumah Tirta.
***
Bayu dan rombongan sudah turun dari mobil taksi, dan melangkah masuk ke dalam mall yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Cecilia dan Naomi tampak merasa asing, tidak terbiasa jalan-jalan ke mall yang padat dan sesak. Cecilia memegang erat tangan Bayu, dan Naomi memegang erat tangan Citra, sedangkan Cakra berjalan tanpa dipegang, karena dia tidak ingin disebut laki-laki manja. Tapi sikap kedua anak Tirta itu tidak berlangsung lama, mereka mulai bisa beradaptasi saat Bayu dan Citra singgah di toko yang menjual pernak pernik anak perempuan seusia mereka, tas-tas lucu, mainan, dan alat menggambar.
“Pilih saja yang kamu suka, Mas yang bayarin,” ujar Bayu saat melihat Cecilia dan Naomi ragu-ragu memilih. Citra juga ikut membantu mereka memilihkan kesukaan mereka di toko itu, karena dia yang paham dunia perempuan.
“Naomi mau lukis, Mas. Dia suka main di sini katanya,” ujar Citra.
“Ok, aku dan Cakra ke toko buku ya? Nanti kontak aku kalo sudah selesai,” ujar Bayu. Cakra yang berdiri di sampingnya tampak tidak sabar ingin segera membaca komik kesukaannya bersama kakaknya.
Tanpa disangka, Cecilia dan Naomi sangat menikmati momen melukis. Citra jadi bingung melihat antusias mereka. “Emangnya nggak pernah gambar pasir kek gini?” tanyanya ke Cecilia dan Naomi.
“Pernah, tapi jarang, dan Mami nggak suka, katanya kotor. Dia jijik sama pasir. Jadi kita juga nggak pernah ke pantai,” jawab Naomi, dan diiyakan oleh Cecil.
“Oh. Ya sudah, puas-puasin gambarnya.”
“Lima gambar boleh, Kak Citra?” tanya Cecilia dengan wajah khawatir.
“Sepuluh juga boleh.”
“Nggak mahal, ‘kan?” tanya Naomi pelan.
“Nggak, pokoknya lukis saja sampe puas. Nanti kalo bosan, pilih mainan yang lain,” ujar Citra sambil membelai rambut panjang Naomi yang tebal dan halus. Tidak menyangka anak-anak orang kaya ini sangat pengertian.
Sementara itu Bayu dan Cakra sudah tenggelam dalam bacaan masing-masing. Tidak banyak pengunjung di toko buku komik siang itu, hanya beberapa, membuat keduanya bebas memilih buku tanpa harus menunggu.
“Kamu suka Naomi ya, Cak?” tanya Bayu iseng.
“Ih, Mas. Ya suka lah, cantik.”
Bayu terkekeh pelan.
“Si Omi juga kayaknya suka aku,” ujar Cakra pede. Dibanding Bayu, dia memang jauh lebih percaya diri, apalagi soal cewek.
“Masih kecil juga.”
“Iya, tauk.”
Bayu gemas akan sikap adiknya, dan kembali membaca komik kesukaannya.
***
Di rumah, Nindya tidak tinggal diam, memanfaatkan waktunya membersihkan dan merapikan seluruh ruangan di dalam rumah, juga di luar rumah. Saat membersihkan halaman rumah, ada seorang tetangga yang menegurnya.
“Katanya kamu kerja di rumah orang, Nin?”
Dia bu Cokro, tetangga beda dua rumah dari rumah Nindya. Meskipun biang gosip, tapi Nindya cukup akrab dengan bu Cokro, dan dia tidak masalah menjadi bahan gosip. Kadang-kadang gosip dari bu Cokro jadi bahan renungan untuk Nindya. Gosip yang paling epik adalah ketika bu Cokro memberitahunya tentang wanita muda yang kerap mengantar Harja pulang ke rumah dengan mobil mewah beberapa tahun lalu. Bu Cokro sudah mewanti-wanti Nindya agar lebih memperhatikan keseharian suaminya, dan sudah mencium bau-bau perselingkuhan. Ternyata gosip tiga tahun lalu itu benar, Nindya pun jadi korban.
“Iya, Bu.”
Bu Cokro membuka pagar rumah Nindya dan masuk ke dalamnya, mendekati Nindya.
“Jadi pembantu rumah tangga?”
Nindya mengangguk. “Iya, Bu.”
“Duh, kok mau bantu-bantu, Nin. Mending jualan saja di depan rumah.”
Nindya menghela napas panjang, “Ntar Ibu malah marahin aku, kesaing,” ujarnya santai. Sebelumnya bu Cokro pernah mengeluhkan salah satu tetangg terdekatnya yang menjual kue, beberapa pelanggannya pindah haluan ke sana, dan dia tidak segan-segan mengeluhkannya. Sekarang tetangga itu pindah rumah dan berjualan di rumah barunya.
Bu Cokro senyum-senyum. “Ya, aku, ‘kan jual kue, kamu cari ide jualan lain dong.”
“Kayak apa, Bu?”
“Jualan sarapan pagi.”
“Lha, Mbak Lisda juga sudah jual sarapan pagi. Nggak mau ah. Nggak apa-apa jadi pembantu saja.”
“Anak-anakmu nggak apa-apa gitu?”
“Ya, nggak apa-apa.”
“Nggak khawatir kalo pak Harja haha … malah ngetawain kamu.”
“Halah, aku sudah nggak ada hubungannya dengan dia lagi, jadi ngapain musti khawatir?”
“Nggak bisa begitu, Nin. Dia, ‘kan papa anak-anakmu.”
“Lha, dia sudah nggak mau tanggung jawab lagi, gimana?”
“Kamu tuh ya, harusnya nuntut harta gono gini kayak si Nunik. Coba, akhirnya berhasil toh bagi dua?”
“Aku nggak mau pusing, Bu Cokro.”
Bu Cokro geleng-geleng kepala mendengar alasan Nindya yang enggan menuntut harta perceraian yang seharusnya bisa dia miliki. Lagi pula, Nindya sudah mendapat uang seratus juta dari Harja, dan dia harus pandai mengaturnya untuk keseharian dan kebutuhan anak-anaknya.
Bu Cokro duduk di atas bangku papan di halaman dekat pagar rumah Nindya. “Kok bisa setega itu ya Harja. Apa mungkin kamu pernah buat salah besar, Nin?” tanyanya.
Bersambung