Slice 4

1077 Words
Adi berjalan gontai menuju tempat peristirahatan itu. Bayang - bayang kejadian tadi masih terputar terus dalam otaknya. Rasa bersalah juga kian menghantuinya. Semakin dekat dengan tempat peristirahatan, Adi berpikir keras. Bagaimana caranya mencari alasan, supaya nanti saat teman - temannya bertanya di mana Kenanga, ia bisa menjawab dengan masuk akal. Adi menengok ke belakang. Bagaimana dengan tubuh Kenanga? Apakah ia sudah berhenti tertarik gravitasi bumi karena tersangkut dahan pohon. Atau justru sudah sampai di dasar jurang? Adi terus melangkah. Ia menarik napas dalam. Ini bukan salahnya. Ia hanya terbawa suasana. Bukan kah begitu? Seandainya Kenanga tidak menggila sampai melucuti seluruh pakaiannya, Adi pasti juga tidak akan melakukan perbuatan tak bermoral itu. Dan ia juga pasti tidak akan nekat sampai membuang tubuh Kenanga seperti itu. Lagi pula bukan Adi, kan, yang melenyapkan nyawa Kenanga? Gadis itu sudah meninggal sesaat setelah dirinya melucuti seluruh pakaiannya sendiri. Adi membuangnya hanya karena ia tidak ingin dituduh sebagai tersangka kematian Kenanga. Karena memang bukan ia yang membunuh Kenanga. Adi hanya ingin melindung dirinya sendiri, apa itu salah? Ketika Adi sampai di tempat peristirahatan semula, ia melihat tas milik Kenanga yang tergolek menyandar pada sebuah pohon. Salah satu dari sekian banyak pohon yang menjadi saksi bisu atas kejadian tadi. Seketika Adi merasa bahwa semua pohon itu kini tengah menghakiminya. Tengah menyalahkan dirinya. Adi merasa bahwa pohon - pohon itu tengah memperolok dirinya. Memaki - maki dirinya. Sampai - sampai Adi harus menutup rapat kedua telinganya supaya tidak lagi mendengar suara - suara itu. Suara - suara yang sebenarnya tidak ada. Kemudian Adi mendengar suara langkah - langkah kaki yang mendekat. Langkah kaki yang awalnya juga Adi anggap sebagai halusinasi semata. Tapi semakin lama langkah kaki itu semakin menjadi jelas. Hingga ia mendengar suara teman - temannya. "Mas Adi ... Mas Adi kenapa?" Adi mengenali itu sebagai suara Maria. Salah satu rombongan mendaki yang berangkat bersama dirinya serta Kenanga. Seketika Adi mengangkat kepalanya. Melepaskan kedua tangannya dari telinga. Benar. Ternyata memang bukan hanya sekadar imajinasi. Tapi memang kenyataan. Teman - temannya semua sudah kembali dari summit attack. Atau pendakian menuju puncak gunung. Melihat raut wajah khawatir teman - temannya. Adi merasa dunianya berputar. Kejadian - kejadian tadi kembali ia ingat. Namun kini otaknya telah menemukan sebuah cara. "Mas Adi ... Mas Adi baik - baik aja, kan? Kenanga ke mana? Kok nggak ada?" Kini gantian Fajar yang bertanya. Salah satu yang ikut dalam rombongan mendakinya pula. Adi yang tadinya nampak begitu terpukul. Nampak begitu gelisah. Kini telah bisa berdiri dengan tegak. Namun ia masih mempertahankan raut sedih dan juga khawatirnya. Meski kenyataannya ia tidak merasakan demikian lagi. "T - tadi ...." Adi bertingkah seolah - olah dirinya benar - benar khawatir dan bingung. "Tadi ... Kenanga tiba - tiba nggak sadarkan diri. Aku sudah berusaha membuat dia hangat, sudah berusaha membuat dia kembali sadar, tapi dia nggak kunjung bangun. Aku akhirnya cari pertolongan. Mau telepon orang di base camp bawah tapi nggak ada sinyal. Terus aku nekat jalan sekiranya ada pendaki lain. Tapi ternyata nggak ada sama sekali. Aku mikir untuk nyusul kalian ke puncak aja. Supaya kalian cepat turun dan nolongin aku. Tapi ternyata ... ternyata ... setelah aku kembali ke sini setelah mencari pertolongan tadi ... Kenanga ... dia sudah nggak ada." Para pendaki yang mendengar penjelasan Adi, seketika merasa khawatir, kasihan, dan juga bingung. "Astaga ... Mas Adi ... Mas Adi pasti bingung banget tadi menghadapi kondisi Kenanga yang nggak sadar. Maaf ya Mas Adi ... kami meninggalkan kalian berdua saja di sini. Harusnya kami juga segera kembali setelag summit attack. Tapi tadi kami istirahat dulu cukup lama di puncak. Maaf ya Mas, Adi." Fajar terlihat sangat menyesal. Ia mewakili semua pendaki yang merasa bersalah. Mereka kemudian sepakat untuk mencari Kenanga bersama - sama. Sementara Adi diminta untuk beristirahat dulu untuk menenangkan diri, ditemani oleh Maria. Mereka semua melakukan pencarian selama kurang lebih tiga jam. Karena merasa mereka tidak akan mampu mencari tanpa bantuan masyarakat dan tim SAR, mereka akhirnya sepakat untuk turun dulu mengabari orang - orang di base camp. Perjalanan turun yang seharusnya ringan dan penuh canda tawa, kini justru terada begitu suram. Semua orang sedih dan khawatir. Tentu saja kecuali Adi. Hari sudah hampir gelap ketika mereka akhirnya sampai di base camp. Orang - orang di base camp yang mendengar tentang hilangnya Kenanga dan rentetan kejadian sebelum gadis itu hilang, tentu saja terkejut. Tapi mereka juga tidak bisa melakukan pencarian saat itu juga. Karena hari sudah gelap. Dan itu akan membahayakan para pendaki sendiri. Pencarian pun dilakukan keesokan harinya. Sekitar 100 orang warga setempat menjadi relawan untuk mencari Kenanga. Juga anggota tim SAR yang tidak sedikit jumlahnya. Jangan lupakan Adi, Fajar, dan anggota pendaki laki - laki lain yang rela naik gunung sekali lagi untuk menemukan Kenanga. Semuanya tulus ingin membantu. Tentu saja kecuali Adi yang ikut naik lagi supaya ka dipandang sebagai sosok yang bertanggung jawab oleh semua orang. Ketika sampai ke arah jurang yang ia gunakan untuk membuang mayat Kenanga, ia sekejap menatap ke bawah. Di bawah sana begitu rimbun pepohonan sampai - sampai dasarnya tak terlihat. Tentu saja tubuh dan barang - barang Kenanga juga sudah tak terlihat. Sekejap Adi seperti mendengar suara minta tolong. "Tolong ... tolong ...." Tapi Adi segera menampar dirinya sendiri. Merasa bahwa suara itu hanya lah khayalannya. Hari berganti dengan minggu. Genap 2 minggu pencarian yang dilakukan, namun tidak membuahkan hasil. Berbagai cara telah ditempuh. Baik dengan cara yang masuk akal atau pun tidak. Tapi semua urung menemukan jawaban yang tepat. Orang tua Kenanga tentu saja sangat merasa kehilangan. Ketika akan berangkat, mereka sudah melarang gadis itu. Karena mereka tahu, gunung adalah tempat yang tidak aman. Terlebih Kenanga sangat minim pengetahuannya tentang pendakian. Namun Kenanga merengek, berhasil merayu mereka untuk memberikan izin. Kini yang tersisa hanya lah sesal. Jika tahu akan begini, mereka pasti tidak akan pernah membiarkan putri kecil mereka pergi. Mereka juga telah genap dua minggu menginap di base camp gunung Lembu. Meski pencarian akhirnya telah dihentikan, rasanya mereka masih tak rela meninggalkan gunung Lembu, tempat putri mereka kini berada. Dan jika beruntung, bisa jadi putri mereka masih bernapas. Sedang menangis ketakutan di dalam rimba gunung itu. Mana tega mereka pergi? Hingga mereka dipanggil oleh seseorang. Namanya Mbah Samijan. Ia adalah mantan juru kunci gunung Lembu yang telah menyerahkan posisi kuncen pada putranya. Awalnya Mbah Samijan enggan dilibatkan dalam pencarian Kenanga. Tapi, karena iba dengan orang tua gadis itu, Mbah Samijan pun akhirnya turun tangan. Bersedia untuk membantu pasangan suami istri yang sudah hampir kehilangan harapannya itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD