Slice 1
Seorang pemuda berparas tampan dengan tubuh tinggi menjulang, baru saja keluar dari ruang gelap. Wajahnya terlihat pucat, tersirat ketakutan pula di sana. Sudah satu bulan lebih sejak ia turun dari gunung Lembu. Tapi wanita itu masih terus mengikutinya sampai sekarang.
Brasta Kala nama pemuda itu. Seseorang yang memiliki bakat sejak lahir. Bakat bisa melihat dan berinteraksi dengan dunia gaib beserta seisinya. Bakat yang kadang membuatnya merasa diberkati. Kadang juga membuatnya merasa terkutuk.
Wanita itu kadang muncul dengan paras yang sangat cantik. Namun kadang juga muncul dengan raut yang begitu buruk rupa. Seperti apa yang baru saja Brasta lihat di kamarnya tadi. Membuat Brasta sangat terkejut. Ia mencoba berkomunikasi dengan Brasta. Tapi siapa yang tidak takut jika ia muncul dengan wajah seburuk itu. Wajahnya hancur hingga bola matanya menyembul keluar dan hampir jatuh. Hidungnya terbelah, dan bibirnya robek begitu lebar.
Meski pun bakat Brasta itu sudah ada sejak ia lahir, tetap saja ia ketakutan jika melihat makhluk gaib dengan bentuk yang terlalu buruk.
"Maaf aku bikin kamu takut. Ini karena salah kamu sendiri. Harusnya kamu mau menuruti apa perintahku. Bukannya malah menghindar setiap kali aku mencoba berkomunikasi."
Brasta menengok ke kanan dan ke kiri. Mencoba mencari di mana letak sumber suara itu. Suara tanpa wujud.
Brasta dikejutkan oleh kemunculan sosok itu secara tiba - tiba tepat di depan matanya. Meski ia tidak berada dalam wujud mengerikan seperti tadi. Namun Brasta tetap saja terkejut. Makhluk astral itu kini kembali dalam wujud yang cantik.
Ia tertawa melengking khas tawa bangsa kuntilanak. "Kena kamu!" Ia seperti sangat puas sudah membuat Brasta terkejut setengah mati.
"Sudah aku bilang, aku nggak mau melakukan hal itu. Karena aku yakin, yang kamu ceritakan itu dusta. Aku nggak mau menyampaikan dusta pada khalayak ramai. Nambah - nambahin dosa aja. Dosaku udah cukup banyak, asal kamu tahu aja."
Ia kembali tertawa keras. "Atas dasar apa kamu menuduh aku berdusta? Bukan kah itu juga termasuk fitnah? Bukannya menurut kepercayaan kamu, fitnah adalah sesuatu yang bahkan lebih kejam dari melenyapkan nyawa orang lain?"
Brasta terdiam sembari menatap tajam makhluk itu. Sial, apakah setan juga sekolah ngaji? Kenapa ia bisa tahu tentang ayat itu?
"Yang aku tahu, bangsa kalian adalah pendusta besar. Bahkan itu tertulis dalam kitab suciku. Jadi aku mengatakan kamu pendusta, itu bukan tanpa sebab." Brasta lagi - lagi menjawab dengan penuh rasa percaya diri.
"Terserah kamu, deh, Ganteng." Makhluk itu tersenyum, kemudian menyentuh dagu Brasta dengan tangannya yang begitu dingin. "Terlepas dari cerita yang akan aku sampaikan dusta atau bukan, kamu hanya perlu mendengarnya, dan menulisnya kembali. Bukan kah itu akan menguntungkan kamu juga. Kamu akan terkenal jika menulis cerita fantastis seperti ini."
Brasta masih menatap kuntilanak itu dengan tajam.
"Stop, Brasta. Jangan kamu sebut aku dengan kuntilanak terus menerus. Meski hanya dalam hati, aku bisa dengar. Aku memang sosok kuntilanak, tapi aku punya nama. Bukan kah aku sudah pernah katakan, namaku adalah Kenanga." Ia kembali tertawa keras nan melengking. Membuat telinga Brasta hampir jebol gendangnya.
"Stop ... berhenti ketawa kayak SDGJ! Oke ... oke ... terserah kamu. Kalau kamu mau cerita ya cerita aja. Yang penting berhenti ketawa sekarang juga!"
Wanita itu pun akhirnya berhenti tertawa. Selain karena ia senang sebab Brasta sudah setuju membiarkan ia bercerita ... juga karena ....
"Apa itu SDGJ, Ganteng?" Rupanya ia penasaran tentang apa itu SDGJ.
Brasta kini sedang mati - matian menahan tawa. "Beneran mau tahu?"
Kenanga nampak geram. Kini tatapannya menjadi dingin, dan aura horornya menjadi kental. "Ganteng, ayo cepat katakan apa itu. Atau aku akan mengubah wujud seperti saat pertama aku menemui kamu tadi!" Ia memberikan ancaman yang Menurut Brasta sangat menakutkan.
"Ah ... oke - oke ... akan aku katakan. Tapi tolong ... jangan berubah wujud kayak tadi, ya. Udah gini aja cantik." Brasta memang paling bisa mengeluarkan jurus kesempatan dalam kesempitan. Saat ia kepepet diacam sesosok kuntilanak, ia lebih memilih untuk menggombalinya. Tidak apa - apa menggombali demit asal selamat.
Kenanga pun kini kembali tersenyum. Bahkan tersipu - sipu karena gombalan dari Brasta. "Kalau gitu ayo cepat katakan ... apa itu SDGJ, Sayang?"
Brasta menarik napas dalam, bersiap untuk mengatakan yang sebenarnya. Dan Kenanga juga mempersiapkan diri untuk mendengar apa yang akan dikatakan oleh Brasta.
"SDGJ adalah ...."
Brasta menatap Kenanga takut - takut.
"SDGJ adalah ...."
"Apa, Sayang?" Kenanga tampak sudah tidak sabar.
Brasta mundur satu langkah ... dua langkah ....
"SDGJ ... Setan dalam Gangguan Jiwa!" Brasta mengatakan hal itu lebih cepat dari kekuatan cahaya.
Terang saja Kenanga langsung naik pitam. Kenanga tidak lagi tertawa melengking, namun berteriak melengking penuh amarah. Brasta menutupi kedua telinganya dengan telapak tangan.
"Berani - beraninya kamu ngatain aku setan dalam gangguan jiwa!" Kenanga marah besar seperti setan. Tunggu ... dia memang setan betulan.
"Aku nggak ngatain. Aku hanya bilang seperti SDGJ. Bukan SDGJ beneran!" Brasta coba membela diri. "Makanya jangan ketawa kenceng - kenceng kalau nggak mau dikatain gila. Eh, dalam gangguan jiwa, ding. Kalau ngatain kayak orang gila, nanti takut kena somasi. Apa lagi kalau yang bikin somasi bangsa dedemit. Ih takut." Brasta mengakhiri ucapannya dengan tertawa cekikikan.
Kenanga masih nampak begitu marah meski ia sudah tak lagi berteriak keras seperti tadi.
"Awas aja kamu, aku akan ngadu ke pacarku, biar kamu diteror!" ancam Kenanga.
Entah kenapa setelah diancam begitu, Brasta langsung membayangkan sosok tinggi hitam nan berbulu -- Genderuwo. Karena dalam fantasi liarnya sejak dulu, Kuntilanak itu adalah pacarnya Genderuwo.
Padahal kan belum tentu juga. Bisa terjadi sebuah plot twist. Ternyata Kuntilanak adalah pacarnya Tuyul. Bisa jadi, kan? Selera orang kan masing - masing. Eh, tapi Kenanga kan bukan orang.
"Aih ... jangan ngambek dong. Udah ... udah ... tenang. Kamu mau lanjut ngambek, atau mulai cerita sama aku tentang apa yang ingin kamu sampaikan tadi?"
Brasta langsung menyelimur. Sebenarnya ia takut juga kalau sampai dipanggilkan sosok pacar sk Kenanga yang entah wujudnya seperti apa.
"Huff ... oke deh kalau gitu." Kenanga mencoba menahan emosi dengan menarik napas dalam melalui mulut, lalu melepaskan lewat mulut.
"Oke, aku milih untuk cerita aja sama kamu." Rupanya keinginan Kenanga untuk bercerita jauh lebih besar dibandingkan keinginannya untuk marah.
"Oke, cerita bisa dimulai." Brasta tampak sudah sangat siap untuk mendengar cerita Kenanga.
Tapi apa yang terjadi selanjutnya?
Kenanga justru menjentikkan jari di depan muka Brasta. Dan seketika itu juga, Brasta kehilangan kesadaran.
***