‘Manusia memang kadang tidak sadar, kepedulian mereka menimbulkan rasa lain dalam hati seseorang.’
Allah Jodohkan Kita
~Thierogiara
***
Pagi ini Haura menyiapkan sarapan lebih pagi, dia tak mau lagi kehilangan kesempatan memasakkan dua orang penting dalam hidupnya sekarang. Sang bunda sedang tidak ingin makan di meja makan, jadi tadi Haura sudah mengantarkan makanan ke kamar bundanya dan kini hanya tinggal dirinya dan Akram di meja makan.
Akram berdeham karena Haura tampak sedang memperhatikannya.
“Ada apa?” tanya Akram tanpa mengalihkan pandangannya dari makanan, jadi sebenarnya dia dan Haura bukan mahram, sebisa mungkin Akram menjaga diri untuk tak zinah mata.
“Kita beda sepuluh tahun kan Om?” tanya Haura.
“Hmmm,” jawab Akram enggan membahas lebih soal umur.
“Berarti umurnya Om sekarang tiga puluh dua dong?” tanya Haura lagi.
“Hmmm.”
“Kok belum nikah sih?” tanya Haura heran, Akram tersedak, laki-laki itu langsung menyambar air minum di sebelahnya.
“Kenapa?” tanya Akram.
“Ish Om aku aja yang seumur ini udah kepikiran buat nikah, kok Om belum sih?” tanya Haura.
“Aku sibuk,” kata Akram kembali melanjutkan makannya. Bukan tak memikirkan hanya saja belum punya waktu untuk itu atau malah belum punya calon?
“Bohong banget, sesibuk-sibuknya pasti kepikiran juga, udah tua Om mau nunggu apa lagi?” tanya Haura heran, Akram itu saleh, ganteng, mapan bahkan pintar sangat pintar malah, tapi kenapa tak kunjung menikah?
Nunggu kamu, jawab Akram dalam hati.
“Mau aku kenalin sama temen aku? Yang salihah banyak loh temenku,” tawari Haura, dia ikut beberapa pengajian dan ya di sana banyak perempuan salihah yang sepertinya cocok dengan Akram.
“Nggak perlu,” tolak Akram singkat, sejauh ini dia memang tak banyak bicara, berbeda sekali dengan Haura yang ceriwis.
“Ish mau sampe kapan Om kayak gini?” tanya Haura.
“Bukan urusan kamu Haura, lebih baik fokus sama urusan kamu,” ujar Akram mengelap bibirnya sendiri dengan tisu.
“Padahal ganteng loh, emang nggak ada yang mau gitu?” tanya Haura.
“Nggak tau,” jawab Akram.
“Ngeselin banget!”
“Kamu aja duluan kalau mau,” suruh Akram dengan santainya.
“Yah nanti Om sendirian dong, yang ngurusin siapa?” tanya Haura, entahlah entah memang bawaan lahir atau memang karena dirinya naksir, tapi cara bicara Haura selalu tampak menggemaskan di hadapan Akram.
“Aku bisa urus diri sendiri.” Akram menatap Haura dengan mata sendunya, kini dia sudah menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
“Nggak akan ada yang ngurus Om sebaik bunda sama aku, jadi cari yang kayak kami,” pesan Haura dengan pedenya.
“Ya udah kamu aja,” kata Akram menantang. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi memfokuskan pandangan ke arah Haura.
“Hah gimana?” tanya Haura.
“Iya sama kamu aja.” Akram memperjelas semuanya.
“Sama aku?” tanya Haura bingung.
“Iya!”
Kemudian Haura tertawa kikuk.
“Datar banget sekalinya bercanda bikin deg-degan!” ungkap Haura, selanjutnya mereka berdua mendengar suara klakson motor.
“Haura kuliah dulu, jangan ngaco ya Om,” pamit Haura yang langsung berjalan cepat keluar rumah.
Akram menarik sudut bibirnya, apa ini yang namanya memulai? Selama ini dia tak pernah berani untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya.
Haura sama sekali tak tahu kalau Akram ikut melangkah dan kini memantaunya dari jendela, meski sudah berhijab Akram tahu kalau keponakannya itu butuh proses, dia tak akan meminta Haura untuk langsung menjaga jarak dari lawan jenis.
Entah kenapa hati Akram agak terusik melihat Haura pergi meninggalkan rumah dengan laki-laki lain. Ada banyak pertanyaan, termasuk bagaimana jika suatu saat dia benar-benar kehilangan kesempatan untuk memiliki gadis itu?
Haura cantik, Akram yakin ada banyak pasti laki-laki di kampusnya yang mengejar gadis itu.
“Mau sampai kapan Ram?” tanya Rani yang baru saja mengayuh kursi rodanya menuju dapur.
Akram menoleh selanjutnya menunduk.
“Kamu ada perasaankan ke Haura?” tanya Rani dan tak melesat apa yang Rani katakan benar sekali.
Akram tetap diam tak menjawab.
“Kita hanya saudara angkat, kamu dan kakak nggak ada hubungan darah, kamu bisa menikah dengan Haura,” ujar Rani tersenyum lembut, sebagai ibu sambung dia juga sangat menyayangi Haura lebih dari apa pun. Dia sudah kenal baik Akram, laki-laki itu sangat baik dalam hal apa pun, rasanya dia akan sangat percaya kalau Akram yang menjadi suami Haura.
“Nggak semudah itu Kak,” kata Akram.
“Kamu yang mempersulit semuanya sebenarnya, Haura di depan mata kamu kok, kamu nggak perlu melakukan apa pun untuk mengejarnya, dia ada di sini sama kamu,” jelas Rani.
Akram kembali diam, ada sesuatu yang hanya dia yang mengerti karena menyangkut soal perasaan.
“Sepuluh tahun tinggal bersama kayaknya kalian udah saling mengenal sekali, kamu juga menyaksikan perubahan Haura kan? Di luar sana sedikit kemungkinan akan ada lagi gadis sepertinya,” lanjut Rani menjelaskan.
“Aku ini omnya Kak,” ujar Akram masih berkutat dengan segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.
“Tapi papanya bahkan mau kamu yang jadi suaminya,” ujar Rani.
“Cobalah.”
“Tapi kalau ternyata semuanya nggak berjalan seperti yang diinginkan, terus aku dan Haura jadi asing?”
Rani terdiam tak tahu harus membalas apa lagi.
“Ya udah aku pamit berangkat dulu ya,” pamit Akram, dia mencium punggung tangan kakaknya, baru kemudian berjalan ke garasi.
Di mobil Akram malah terus memikirkan bagaimana cara memulainya? Dia tak mau hanya karena masalah menikah kemudian Haura menjauhinya, papa Haura telah banyak berjasa dalam hidupnya, Akram juga harus memperlakukan Haura dengan baik.
Akram mengurut jidatnya sendiri, pekara mengungkapkan perasaan ternyata bisa sangat semengganggu ini, rasanya dia ingin langsung mengatakan soal perasaannya di hadapan Haura. Tapi tentu saja Akram tak tahu bagaimana caranya.
***