Masakan untuk Om Akram

1148 Words
‘Karena kita adalah dua keterasingan yang saling membutuhkan.’ Allah Jodohkan Kita ~Thierogiara *** Pagi-pagi sekali Haura sudah sibuk di dapur memasak sarapan untuk orang rumah, semenjak bundanya tak lagi bisa berjalan, Haura sebagai anak perempaun di rumah itu mau tak mau harus mengambil alih segala pekerjaan bundanya. Haura masih menggongseng nasi gorengnya saat Akram melewati dapur begitu saja menuju pintu samping. “Eeeh Om! Mau berangkat kerja?” tanya Haura, usianya sudah 22 tahun, namun tetap saja masih memanggil Akram dengan sebutan Om dan selalu kepo dengan apa yang Akram lakukan. “Iya,” jawab Akram singkat, sebisa mungkin dia selalu meminimalisir interaksi dengan Haura. Akram sangat tahu dirinya, dia lebih memilih menghindar dari Haura daripada ribet dengan perasaannya sendiri. Sepuluh tahun yang lalu seorang gadis dua belas tahun datang ke rumahnya sebagai keponakan, kecantikan alaminya selalu membuat Akram merasa tertarik, ketertarikan itu semakin menjadi tatkala Haura memutuskan menutup auratnya. Semuanya bukan lagi tentang paras, namun tentang kecintaan gadis itu dengan Allah, entahlah entah itu yang menjadi alasan atau malah ada alasan lain namun sampai saat ini rasanya Akram tak pernah tertarik dengan wanita lain. “Ih sarapan dulu, Haura udah mau selesai kok bikin sarapannya,” ujar Haura menahan kepergian Akram. “Nggak bisa Ra.” Akram sedikit bersikeras, sebenarnya pekerjaan tak pernah menuntutnya harus tepat waktu mengingat dia adalah bosnya, namun tetap saja sekali lagi Akram harus meminimalisir interaksinya dengan Haura, semua ini demi perasaannya sendiri. “Bohong! Papa dulu nggak sering buru-buru kayak om! Om nggak suka ya sama masakan Haura?” tanya Haura menampilkan mimik muka sedih. Padahal usianya sudah dewasa, dia juga sedang menempuh pendidikan S2, kenapa selalu semanja itu? Akram sungguh tak kuasa untuk tak merasa gemas. “Beda Ra, sekarang kan cabang udah di mana-mana, aku harus ekstra kerja keras,” ujar Akram masih berusaha bernegosiasi. “Sebentar aja Om, sebentar aja tunggu masakan Haura selesai,” pinta Haura sedikit memohon. “Aku bisa sarapan di kantin kantor, udah ya, aku berangkat dulu,” pamit Akram. Akram memutuskan mengambil alih perusahaan Fadli saat papa Haura itu meninggal dunia, Akram memutuskan untuk keluar dari dunia kedokteran demi bisnis yang selama ini memang sudah ia cita-citakan. Menjadi dokter sebenarnya adalah cita-cita orang tua angkat Akram. Karena memang dia hanya seorang anak angkat, Akram jadi sungkan menolak, alhasil dia tetap sekolah kedokteran, tetap bekerja di rumah sakit setelah itu meminta restu Rani untuk meneruskan bisnis Fadli saat suami dari Rani itu meninggal. Akram tak semata-mata mendapatkan begitu saja perusahaan besar yang Fadli tinggalkan, sebelum memutuskan benar-benar terjun, Fadli meminta Akram sering-sering ke kantornya untuk belajar. Fadli tak memiliki anak lain selain Haura, dia juga merupakan anak tunggal sebelumnya, maka segala harta warisan jatuh ke tangan Akram sebagai pewaris yang namanya tertulis dalam surat wasiat yang sudah Fadli buat. Yang tak Haura tahu adalah Akram juga tertulis sebagai seseorang yang harus menjadi sumianya. Haura hanya mendengus melihat Akram mengendarai mobil meninggalkannya. Selalu seperti itu, Haura kadang jadi serba salah tak tahu harus bagaimana bersikap dengan Akram. Karena semakin mereka dewasa Akram sudah tak lagi mau mengajaknya naik motor keliling kompleks, Akram sudah tak lagi mau membelikannya es krim, pokoknya Akram selalu sok sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Haura lantas kembali masuk ke dalam rumah, gadis itu mendengar suara bundanya terbatuk-batuk, langsung saja Haura menyambar segelas air putih dan membawanya ke kamar bundanya. Semenjak kepergian papanya, bundanya itu jadi sering sakit, sekarang bahkan sudah duduk di kursi roda, Haura selalu meminta sang bunda untuk tak lagi memikirkan soal papanya, namun ya namanya cinta, siapapun tak akan bisa melarang orang yang sedang jatuh sangat dalam, dalam mencintai. “Bun...” Haura membantu Rani meminum air putih yang ia bawakan. “Makasih sayang,” ucap Rani dengan suara seraknya. Haura mencium punggung tangan Rani. Rani sendiri langsung membelai puncak kepala anaknya itu, mereka memang tak ada hubungan darah, namun ternyata hubungan yang papa Haura ciptakan di antara mereka berdua malah jauh lebih kuat dari sekedar hubungan darah. “Kamu nggak kuliah?” tanya Rani. “Nanti Bun, Haura baru ada kelas jam sepuluh,” jawab Haura mengelus tangan bundanya, dia tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu karena mamanya pergi meninggalkan papanya saat umurnya masih 3 tahun, jadi kehadiran Rani memberi warna tersendiri dalam hidup Haura. Rani mengangguk. “Haura kesel banget deh sama om Akram, emangnya masakan Haura senggak enak itu ya Bun? Sampe-sampe om Akram selalu ngehindar buat makan masakannya Haura,” adu Haura. Rani tersenyum. “Masakan kamu enak kok, enak banget malah, mungkin memang Akram lagi nggak bisa sarapan di rumah, dia kan udah sibuk sekarang,” jelas Rani. Haura memanyunkan bibirnya, tetap saja rasanya kesal yang sarapan pagi di rumah mereka biasanya hanya Akram dan Bunda, kalau sampai Akram absen, yang akan menghabiskan seluruh nasi goreng siapa? “Gimana kalau makan siang aja?” tanya Rani. “Maksudnya?” tanya Haura tak mengerti. “Nanti makan siang kamu kirim makanan ke kantor Akram, pasti dia senang,” usul Rani. Haura mengangguk, benar juga. “Tapi kalau ternyata om Akram nggak suka gimana?” tanya Haura. “Akram itu nggak rewel, dulu waktu Bunda baru belajar masak walaupun masakannya nggak enak Akram tetap bilang enak dan selalu mau makan setiap Bunda coba masak menu baru,” jelas Rani, dirinya dan almarhum suaminya sudah memiliki rencana jauh sebelum hari ini. “Okey deh, nanti dicoba, biarin aja om Akram kecanduan makanan Haura, kan emang setelah ini bakalan Haura terus yang masak di rumah ini,” ujar Haura percaya diri. Rani mengangguk, memang tak ada asisten rumah tangga yang bertugas memasak di rumah itu, dari dulu Rani berusaha masak untuk orang rumah, semenjak sakit orang rumah selalu makan di luar atau membeli sayur masak. Sekarang Haura yang sudah belajar memasak yang menyiapkan makanan di rumah. “Ya udah Haura mandi dulu ya Bun,” pamit Haura, gadis itu sudah enggan melanjutkan nasi gorengnya, lebih baik bundanya ia belikan bubur ayam depan kompleks yang sudah terjamin kalau soal rasa. *** Haura benar-benar membeli seluruh bahan-bahan untuk memasak, gadis itu langsung menyibukkan diri di dapur selepas pulang kuliah. Hari ini seharusnya ada dua kelas, namun kelas terakhir dosen tak masuk, jadi Haura memutuskan untuk pulang saja dan memasakkan makanan untuk Akram. Lidah Akram harus dibiasakan dengan masakannya agar tak kebiasaan makan di luar. Haura dengan cekatan membersihkan udang dan kerang yang ia beli dari pasar, rencananya dia ingin memasak udang saus Padang. Haura sudah memantau cara memasak makanan tersebut dari tiga hari lalu, hari ini sepertinya dia sudah mantap untuk memasaknya. Haura juga memasak nasi dengan pandan, selain itu dia juga memotongkan beberapa buah-buahan. Setelah semuanya selesai, Haura membungkusnya ke dalam tas kecil kemudian memesan go-send untuk mengirim makanan tersebut ke kantor Akram. Tak lupa pula Haura menuliskan pesan di sebuah note. ‘Selamat menikmati om Akram ganteng, cepet-cepet cari tante buat aku biar nggak nyusahin, bercanda nyusahin wkwkwkw.’ ~Haura ponakanmu tercantik se-Indonesia Raya   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD