Bab 12. Dalam Cengkeraman Iblis

1107 Words
Melvin menyeret Cindy ke pintu depan di mana taksi online sudah menunggu. Ia tidak peduli pada kondisi Cindy yang pucat meski ia sudah sedikit membubuhkan make up. “Ayo berangkat. Kamu sudah terlambat.” Melvin separuh menghardik dengan membuka pintu mobil taksi. “Kenapa gak kamu saja yang nganterin aku, Mas? Kepalaku pusing. Kalau aku pingsan di jalan bagaimana?” ujar Cindy meminta sedikit rasa kasihan dari Melvin. Melvin malah makin jengah dan kesal. Ia berkacak pinggang balik memarahi Cindy. “Kamu manja amat sih! Uda masuk ke dalam sana!” Melvin separuh mendorong Cindy yang terpaksa masuk ke dalam mobil karena ia tidak memiliki tenaga untuk melawan Melvin. Pada akhirnya, Cindy harus pasrah menerima nasib. Entah apa yang akan terjadi padanya saat bertemu Sebastian nanti. Tangan Cindy makin dingin sedangkan demamnya makin naik. Pandangannya sesekali kabur sesekali terang. Untuk menghemat tenaga, Cindy menyenderkan kepalanya dan menutup mata sejenak. Mungkin jika ia bisa tidur maka ia bisa jauh lebih kuat saat turun dari mobil. “Terima kasih,” ucap Cindy pelan pada sopir taksi yang sudah mengantarkannya. “Sama-sama, Bu. Cepat sembuh.” Cindy tertegun beberapa detik sebelum kembali tersenyum meski lemah. Bahkan sopir taksi pun memiliki empati padanya. Setelah turun, Cindy berjalan pelan dan berusaha tetap fokus. Sayangnya kepalanya jadi makin sakit. “Nona Cindy!” Cindy berhenti saat ia dihampiri oleh Edward Harsa yang menunggunya dari tadi. “Anda sudah terlambat lebih dari dua jam.” Edward langsung menegur Cindy dengan raut wajah tak senang. Ia tidak suka dengan pegawai baru yang terlalu banyak masalah seperti Cindy. “Maaf, Pak Edward. Tapi saya sedang sakit,” jawab Cindy dengan wajah pucat. “Itu bukan alasan. Anda sudah menandatangani kontrak. Salah satu klausul mengatur soal kehadiran dan pegawai dilarang mengambil cuti termasuk sakit. Anda masih baru jadi tidak semestinya libur.” Edward membalas dengan memarahi Cindy. Cindy pun hanya bisa diam saja. Ia tidak memiliki tenaga untuk melawan. “Sekarang ikut aku. Pak Sebastian sudah menunggu dari tadi.” Edward berbalik dan berjalan lebih dulu. Cindy menelan ludah dengan berat dan terpaksa berjalan di belakang Edward untuk mengikutinya. Sesampainya di depan pintu masuk ke ruangan Sebastian, Cindy berhenti. Ia mengeratkan tangan pada tali tas yang sedang ia sedang ia cangklongkan di bahu. Edward berhenti di depan pintu dan membukanya. Ia menoleh ke belakang lalu menegur Cindy yang tidak bergerak. “Nona Cindy!” Cindy terpaksa berjalan lagi dan akhirnya masuk lebih dulu dari Edward. Edward tidak masuk dan malah menutup pintu. Cindy yang berhenti di depan pintu setelah masuk sedikit berbalik seperti hendak kembali. Napasnya jadi tersengal. Rasanya sakit itu belum selesai dari kemarin. Kini ia harus menghadapi Sebastian lagi. Cindy kembali berbalik pada Sebastian dan menelan ludahnya lagi. Cindy berjalan pelan untuk menemui Sebastian yang sudah melecehkannya kemarin. “Kamu baru datang? Apa kamu tahu hukumannya jika terlambat apalagi absen?” pungkas Sebastian tanpa melihat pada Cindy. Ia sedang sibuk pada tabletnya di atas meja tapi mengetahui saat Cindy masuk. “Maaf, Pak. Saya sedang sakit. Saya ingin mengambil cuti untuk hari ini ....” Sebastian menaikkan pandangannya dengan dingin menatap Cindy. Cindy tampak pucat dan memang terlihat sakit. Sepertinya Cindy tak berbohong. “Apa kamu pikir kamu bekerja di sini sama seperti pegawai lain? biar aku ingatkan Cindy. Kamu bekerja untuk melunasi utang-utang Melvin karena kamu adalah jaminannya. Mengerti?” Sebastian mengolok keberadaan Cindy dan permintaannya untuk libur. Cindy tidak menjawab. Ia tidak mungkin melawan. Jalan satu-satunya adalah diam saja. “Sekarang siapkan analisis untuk proyek yang akan dikerjakan. Minta bahannya sama Edward. Harus siap dalam dua jam. Kamu sudah terlambat dua jam, jadi kamu harus selesai sebelum makan siang. Paham?” jelas Sebastian memaksa Cindy untuk bekerja. Cindy sedikit menarik napas lega. Setidaknya hal yang diberikan padanya sekarang adalah pekerjaan yang sebenarnya bukan seperti kemarin. “Baik, Pak.” Cindy berbalik dan berjalan keluar dari ruangan Sebastian. Sebastian diam saja melihat Cindy yang tidak protes padanya. Cindy memang tampak pucat tapi sepertinya, ia baik-baik saja. Sebastian pun membiarkannya terlebih dahulu. Selama dua jam, Cindy mengerjakan semua tugas analisis yang diperintahkan oleh Sebastian sebaik mungkin. Rasanya kepalanya yang sakit harus dipaksa menyembuhkan dirinya sendiri. “Tuhan Yesus, tolong aku. Ah, kepalaku sakit.” Cindy kembali mengurut keningnya pelan. Ia sudah tidak kuat mengetik di laptop karena terus memandang layar. Entah sudah berapa tinggi demam Cindy sekarang, ia tidak peduli lagi. Setelah selesai, Cindy masih memiliki lima menit untuk menyerahkan laporan tersebut pada Sebastian sebelum waktunya habis. Cindy berjalan lebih cepat meski ia tak sanggup. Setelah mengumpulkan sisa tenaga terakhir, Cindy masuk ke ruangan Sebastian. “Pak, ini laporannya.” Cindy melapor. Ia hendak meletakkan laporan tersebut ke atas meja tapi tangan Sebastian langsung melintang. Cindy kembali menarik laporan tersebut. “Buatkan aku kopi!” perintahnya tanpa melihat pada Cindy. “Tapi laporannya?” “Nanti setelah kamu buat kopi.” Cindy menarik napas lagi dan mengangguk. Cindy berbalik masih membawa laporan tersebut ke pantri untuk membuatkan Sebastian kopi. Cindy menurut dengan patuh. Tak lupa setelah kopi dibuat, Cindy mengambil laporan tersebut untuk diserahkan bersama kopi yang sudah dibuatnya. “Ini kopinya, Pak. Dan ini laporannya ....” Cindy menyodorkan laporan tersebut setelah cangkir kopi diletakkan. “Kamu terlambat, Cindy!” Cindy diam terpaku. Ia mengernyit perlahan saat mendengar Sebastian malah mengatakan jika ia terlambat menyerahkan laporan. Bukankah Sebastian yang menyuruhnya membuat kopi? “Tapi, Pak, bukankah Bapak yang menyuruh saya membuat kopi?” tanya Cindy dengan kebingungan. “Memang. Tapi seharusnya itu bukan alasan untuk kamu terlambat mengerjakan tugas.” Sebastian menegaskan tanpa ampun. Jantung Cindy berdetak lebih cepat. Ia seperti akan mendapatkan hal buruk. “Pak, saya ....” “Kamu akan mendapatkan hukuman dariku, Cindy. Kemari!” Cindy tak bergerak saat diperintahkan oleh Sebastian dengan gerakan jarinya. Ia malah menggeleng. “Cepat. sebelum hukuman kamu makin berat. Apa ikatan yang kemarin kurang kuat? Mau mencoba hal yang lain?” sindir Sebastian mengingatkan Cindy pada hal buruk yang dilakukannya di ruang rahasia. Cindy makin takut dengan napas makin cepat. Ia terpaksa mendekat dan tangan Cindy ditarik tiba-tiba oleh Sebastian sampai ia terjatuh di pangkuan bosnya. “Ahhk!” Cindy memekik kaget. Wajahnya begitu dekat dengan Sebastian yang menahan senyuman. Mata Sebastian dengan tajam menusuk pandangannya pada mata Cindy yang indah. Cindy yang sempat tertegun lalu sadar dan hendak menarik diri. Sayangnya, Sebastian menarik kembali Cindy sampai benar-benar duduk di pangkuannya. “Pak, tolong jangan!” tolak Cindy mendorong pundak Sebastian yang makin mengeratkan pelukannya. Sebastian bahkan menyeringai jahat. “Aku akan melakukan apa pun yang aku mau padamu, Cindy. Jangan berharap untuk bisa mengelabuiku lagi. Sekali kamu tidak datang bekerja, aku akan memotong kepala Melvin di depanmu.” Mata Cindy langsung melotot ketakutan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD