Saat pintu ruang CEO terbuka, seorang pria masuk dan berhenti di dekat pintu. Saat itulah, Sebastian yang sedang mencekal Cindy lantas berpaling dan melepaskan cengkeramannya. Cindy seperti tak punya tungkai, ia jatuh ke lantai terduduk begitu saja.
Pria itu melirik pada Cindy dengan tatapan dingin lalu kembali pada Sebastian yang menahan amarah dan geraman pada rahangnya.
“Maaf mengganggumu, Pak,” ujar pria tersebut. Sebastian tidak menjawab dan kembali melihat pada Cindy yang sedang terengah meraih udara ke paru-parunya.
“Kenapa kamu diam sekarang?” hardik Sebastian. Cindy tidak mau menjawab. Air matanya terus tumpah dari sudut matanya. Ia merasa dirinya begitu kotor saat ini, disentuh berkali-kali oleh pria yang tidak ia kenal. Padahal dirinya adalah seorang istri dari pria terhormat.
“Masih gak mau liat aku?” gumam Sebastian dengan nada rendah yang sama. Sebastian berdiri angkuh di depan Cindy yang menarik pelan ujung blazernya agar menutupi tubuh depannya lagi. Pandangan matanya mulai naik melihat pada Sebastian yang menyeringai jahat.
“Jangan bilang kamu gak menyukaiku, Cindy. Aku tahu kamu menikmatinya.” Sebastian dengan seenaknya melecehkan Cindy. Ingin sekali Cindy memukul wajah pria itu, seolah yang sudah ia lakukan tidak berarti apa pun.
“Kamu menjijikkan!” ekspresi Sebastian langsung berubah kesal. Mata Cindy yang basah air mata beradu dengan mata Sebastian yang menyiratkan ekspresi yang tidak dimengerti. Sebastian seperti sedang terluka. Rahang Cindy mengeras menahan emosinya dan Sebastian hanya terus memandang dengan ekspresi marah.
Sebastian berbalik lalu memperbaiki jasnya dan kembali ke meja kerjanya seolah tidak terjadi apa pun. Sedangkan pria yang masuk tadi lalu mendekat dan mengulurkan sebelah tangannya untuk membantu Cindy berdiri. Cindy menggeleng dan menolak.
“Jangan pernah berpikir untuk kabur atau lapor polisi. Kamu gak akan pernah bisa lolos,” ujar Sebastian dengan nada datar dengan suara yang cukup bergema di ruangan besar itu. Pria yang hendak menolong Cindy pun kemudian memilih berdiri lalu berjalan ke arah Sebastian.
Cindy yang masih terduduk di lantai dalam keadaan kacau sudah tidak sanggup lagi menangis bahkan berteriak. Seluruh tubuhnya rasanya sakit dan sulit untuk bergerak. Rasanya ingin berdiri saja ia butuh sesuatu untuk berpegangan. Cindy mencoba merangkak mendekat kembali ke dinding dan berpegangan untuk berdiri. Perlahan sambil menahan sakit di beberapa bagian tubuhnya, Cindy mencoba berdiri.
Masih dalam posisi berpegangan dan bersandar ke dinding, Cindy menarik napas berkali kali mencoba mengatur tenaganya kembali. Tak ada gunanya menangis, ia sudah terjebak pada situasi yang ia belum mengerti. Apakah masih mungkin melaporkan pada polisi atau meminta bantuan Melvin? Setelah mengetahui Sebastian dan utang yang dimiliki oleh Melvin, rasanya orang seperti Cindy akan dengan gampang disingkirkan olehnya. Melapor dan memproses kasus pelecehan yang dialaminya hanya akan sia-sia.
“Ngapain lagi kamu masih berdiri?” hardik Sebastian memanggil Cindy. Dengan kekuatan yang belum sepenuhnya pulih dan seluruh kancing blazer yang terbuka, Cindy berjalan ke arah pintu hendak keluar. Sebastian masih diam saja memperhatikan Cindy yang berjalan separuh menyeret kakinya keluar dari ruangannya.
“Pastikan dia kembali ke ruangannya. Jangan sampai dia kabur atau mencoba lapor polisi!” perintah Sebastian pada pria berkaca mata yang sedari tadi berdiri di depannya.
“Baik, Pak.” Pria itu berbalik pergi untuk menjalankan perintah Sebastian. Ia berjalan keluar ruangan CEO langsung menuju ruangan sekretaris eksekutif yang ditempati Cindy.
Cindy yang sampai ke ruangannya, langsung mengambil tas tangannya untuk mencari ponsel. Dengan tangan gemetar, Cindy hendak menelepon Melvin─suaminya. Sambungan itu langsung terjadi tepat saat pria suruhan Sebastian ikut masuk ke ruangan Cindy dengan tenang tanpa suara.
“Mas, tolong aku! tolong jemput aku sekarang!” isak Cindy meminta tolong pada Melvin. Melvin terdengar kaget.
“Kamu kenapa, Cin? Ada apa sama kamu?” Cindy langsung menangis mengira jika pertolongan akan datang padanya.
“Bos itu ... Sebastian Arson. Dia ....”
“Dia kenapa? Dia apain kamu?” Melvin makin mencecar Cindy yang terus menangis.
“Dia orang jahat, Mas. Kenapa kamu malah nyuruh aku untuk bekerja di perusahaannya? Tolong jangan tinggalin aku di sini, Mas. Jemput aku sekarang!” pinta Cindy makin terisak lebih keras. Melvin tidak lagi menjawab dan malah jadi mencari alasan. Cindy masih bisa mendengar jika suaminya hanya mendeham tak jelas.
“Aduh, gimana ya? Kamu baik-baikin lah Pak Sebastian. Dia baik kok orangnya,” jawab Melvin malah membela Sebastian. Cindy membesarkan matanya tak percaya.
“A-Apa, Mas? Mas, dia adalah orang yang sudah masuk ke kamarku waktu di hotel itu!” Cindy membalas dengan suara sedikit memekik.
“Iya, tapi ....”
“Mas, aku mohon jemput aku sekarang. Aku mau pulang!” tukas Cindy menahan isaknya terengah karena sang suami ternyata tidak memiliki rasa empati padanya.
“Ah, a-aku ada meeting sebentar lagi. Kamu di sana aja, oke!” Melvin yang pengecut langsung mematikan sambungan telepon tersebut. Cindy membeku tak percaya. Ia mencoba kembali menghubungi Melvin.
“Mas, halo? Mas?”
Tidak ada jawaban lagi dan itu membuat Cindy kecewa. Ia menelan ludah dengan berat lalu menatap nanar pada ponselnya. Melvin tidak bertanggung jawab meninggalkannya begitu saja.
“Nona Cindy?” Cindy terkesiap kaget dan langsung berbalik saat seseorang memanggilnya. Pria yang tadi hendak menolongnya berdiri sudah masuk ke ruangan Cindy entah kapan.
“Siapa ....” pria itu mendekat dan mengulurkan tangannya.
“Perkenalkan, namaku Lefrant Emir. Aku adalah pengacara Bapak Sebastian Arson. Bisa kita bicara?”