Bab 14. Pembalasan

1011 Words
Cindy membuka matanya perlahan dengan demam yang sudah turun. Ia sedikit menyampingkan tubuhnya seperti baru saja menggeliat dari tidur. “Apa ini?” Cindy menaikkan tangannya saat melihat ada katup infus yang terpasang di tangannya. Semakin lama Cindy sadar semakin ia menyadari jika dirinya ada di ruang rahasia Sebastian Arson. Cindy makin kaget saat melihat sebuah lengan melingkar di pinggangnya. Ternyata Sebastian ikut tidur di ranjang yang sama dengan kemeja terbuka di bagian depan. Dengan sisa tenaga, Cindy menolak tangan Sebastian yang masih tidur. Gara-gara gerakan tersebut, Sebastian bangun. Dia langsung menarik Cindy pada pinggangnya sampai Cindy kaget. Sebastian kembali memeluk Cindy dengan sebelah lengan yang sama. “Bagaimana ini ... apa yang terjadi?” ucap Cindy mendesah pelan. Ia kaget dan takut melihat Sebastian yang tiba-tiba tidur dengannya. “Kamu sudah bangun, kan? Sekarang cium aku karena aku sudah jagain kamu seharian.” Sebastian menaikkan kedua alisnya dengan nada nakal menggoda Cindy. Cindy mengernyit bingung lalu menggeleng cepat. Ia sadar jika Sebastian sedang memeluknya. Cindy pun mendorong pundak Sebastian dengan tenaga yang sangat tidak seberapa. “Enggak. Lepas, Pak.” Cindy masih melawan meski dirinya sangat lemah. Sebastian yang tidak suka setiap kali Cindy menolaknya kemudian memaksa memeluk. Lengannya melingkar erat pada Cindy yang terus melawan. “Lepas ....” Cindy mendesah pelan. “Diam. Jangan banyak bicara!” ancaman Sebastian membuat Cindy terpaksa berhenti. Ia sendiri tak punya tenaga sekaligus lapar. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perutnya dan itu membuat Cindy lemas. KRIUKK – perut Cindy berbunyi tiba-tiba. Sebastian yang sempat kesal lantas perlahan tersenyum mengejek Cindy. “Kamu lapar ya? Ck ....” Cindy menaikkan pandangannya sedikit pada Sebastian yang makin menyeringai kemenangan. Cindy terpaksa diam saja membiarkan Sebastian berbuat padanya kali ini. Jika ia punya tenaga nanti, ia akan melawan. Untuk beberapa saat, Sebastian menatap Cindy tanpa berkedip. Entah mengapa Cindy jadi merona. Ia seperti sedang mengalami sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Sebastian langsung canggung dan seperti merasa aneh. Ia pun lantas melepaskan Cindy setelah lima menit kemudian. Sambil menarik napas agak panjang, Sebastian mengambil nampan makanan untuk Cindy dan dirinya yang sudah dipersiapkan. “Aku membawakan ini karena kamu sedang sakit dan diinfus. Besok, kamu yang harus membawakanku makanan kayak dulu,” ujar Sebastian masih berusaha mengancam dengan sikap yang ketus. Cindy pun bangun perlahan dengan kening mengernyit aneh sikap Sebastian. Cindy lalu duduk sambil bersandar di tempat tidur. Tanpa bicara, Sebastian lalu menyuapi Cindy yang masih bingung sekaligus bengong. Makanan yang disuapi pun adalah bubur sumsum sapi yang masih hangat. Ternyata sebelum Cindy bangun, Sebastian meminta Lefrant untuk mencari bubur yang bisa menyembuhkan penyakit Cindy. Oleh karena Cindy menderita tipes, Lefrant menyarankan agar Sebastian memberikan bubur yang terdiri dari rempah dan sumsum sapi yang dimasak berjam-jam. Meski terbilang mahal, Sebastian tidak ragu mengeluarkan koceknya demi memberikan perhatian pada Cindy. Sesuatu yang sesungguhnya ingin ia hindari. Ia datang untuk membalas Cindy atas perbuatannya bukan malah memberikannya perhatian. Akan tetapi, rasa cinta yang terkubur itu perlahan menemukan ruang lebih. Sebastian ingin menyiksa tapi tidak tega. “Kenapa Bapak melakukan ini?” tanya Cindy setelah beberapa kali suapan dari Sebastian untuknya. Sebastian menaikkan pandangan dengan sikap sinis. Ia meletakkan mangkuk bubur begitu saja di atas nampan. “Kalau kamu sakit, maka pekerjaan kamu akan terbengkalai. Dan aku gak suka itu, apa kamu tahu?” hardik Sebastian meski dengan nada menggeram rendah. Cindy akhirnya hanya menundukkan kepalanya dan tidak menjawab. Sebastian masih akan terus memanfaatkan situasi. Tentu saja yang dilakukannya bukanlah sebuah empati, begitu pikir Cindy. “Kamu masih bertanya untuk apa? Kamu itu adalah jaminan utangnya Melvin. Kalau kamu sakit dan tidak bekerja untukku. Gimana caranya kamu bisa bayar utang dia? heh?” sambung Sebastian lagi makin menyakitkan. Ia akan terus mengucapkan hal-hal yang membuat Cindy patah hati. lagi-lagi, Cindy harus menelan lagi pil pahit itu. Ia belum bisa menerima jika Melvin berhutang pada Sebastian dan Cindy yang harus menjual dirinya demi menyelamatkan keuangan pria itu. Tanpa menjawab, Cindy memilih mengambil sendok dan meneruskan makan. Ia menyuapi dirinya sendiri menghabiskan makanan yang sudah separuh jalan. Sebastian menatap kesal pada reaksi diam yang ditunjukkan Cindy. Wanita itu membuatnya mati kutu. “Kamu memang pintar membuat aku marah, Cindy.” Sebastian menggeram dengan kesal. Cindy berhenti lalu menaikkan pandangannya pada Sebastian. Sebastian mengangguk pelan dan berdiri dari tempat tidur. “Selesai makan minum obat kamu dan langsung tidur. Kalau besok kamu gak sembuh juga, aku akan ikat kamu di sini!” Sebastian mengancam dengan kesal dan marah. ia menunjuk wajah Cindy yang hanya bengong tak tahu harus berbicara apa. Ia bingung pada sikap Sebastian yang selalu saja tiba-tiba marah tanpa alasan. Sebastian mendengkus kesal lalu berbalik pergi meninggalkan Cindy yang masih memegang sendok. Ia sampai membanting pintu yang terkunci otomatis. Cindy masih terperangah tak mengerti. Ia masih terlalu lemah untuk melawan meski demamnya sudah turun. Sebastian yang marah keluar lalu dengan kesal menepis keras salah satu hiasan kristal di atas meja kerjanya sampai terpental jatuh dan pecah. Ia berkacak pinggang menghadap dinding kaca di ruangan CEO yang menampilkan suasana malam kota Jakarta dari ketinggian. Napasnya tersengal karena adrenalin yang naik. “Sampai kapan sih kamu gak mengerti aku?” gerutu Sebastian begitu kesal. Ia sudah menunjukkan perasaannya pada Cindy dengan menyuapinya makanan tapi wanita itu malah bertanya apa yang dilakukannya. Hal itu seolah membuat harga diri Sebastian terusik. “Aku akan membalas kamu, Cindy. Jangan pikir kamu bisa pura-pura tidak mengingatku!” geram Sebastian lagi bernapas cepat lalu mendengkus kesal. Belum apa-apa, Cindy sudah membuatnya kesal. Cindy yang tak mengerti sikap Sebastian lalu meneruskan sisa makanan sebelum membereskan nampan. Tangannya masih gemetaran dan kepalanya juga berat. Cindy benar-benar sakit tapi ia harus segera pulang. Hari pasti sudah sore. Tidak ada jendela di kamar itu sehingga Cindy tidak tahu sudah berapa jam ia berada di sana. “Ke mana tasku?” gumamnya pelan mencari-cari tas untuk mengambil ponsel. Beberapa saat kemudian Cindy baru ingat jika ia masuk ke ruangan Sebastian hanya membawa laporan saja. “Aduh, bagaimana ini?” Cindy bergumam lagi. Ia menengok pada pintu. Apa jika ia mengetuk pintu, Sebastian akan membuka dan membiarkannya pergi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD