Bab 19. Tak Selamanya Bersembunyi

1005 Words
“Lacak ponselnya!” perintah Sebastian pada Lefrant yang duduk di sebelahnya. Lefrant mengangguk dan masih sibuk mencari melalui ponsel. Titiknya belum berubah dan masih tertinggal di kantor Moulson. Itu berarti ponsel Cindy sudah mati. Lefrant menarik napas panjang dan menoleh pada Sebastian yang tampak sangat resah. Sebastian mengepalkan tangan mengetuk-ngetukkan ujungnya pada ujung bibirnya menunggu jawaban yang diinginkannya dari Lefrant. “Mungkin dia pulang ke tempat orang tuanya,” celetuk Lefrant. Sebastian mendengus lalu menoleh. “Bukannya rumahnya sudah dijual?” Lefrant mengangguk dan kembali sibuk melacak ponsel Cindy. Ia menggeleng tak lama kemudian. kali ini semua seperti mengalami jalan buntu. “Dia belum menyalakan ponselnya. Apa dia tahu kalau ponselnya disadap?” Lefratnt kembali menyeletuk. Sebastian makin mendengus resah dan cemas. Jika Cindy kembali hilang, maka ia bisa makin mengamuk. Napas Sebastian makin cepat tersengal tanda jika amarahnya bisa meledak sewaktu waktu. “Ah, b******k!” gerutu Sebastian begitu kesal. Ia tidak peduli dengan kebakaran yang menimpa rumah Melvin dan Cindy. Pikirannya yang ingin menemukan Cindy secepatnya. “Kalau dia ketemu, bawa dia ke tempatku. Jangan sampai dia lepas lagi! Kalau perlu ikat saja kakinya.” Sebastian mengomel memberikan perintah dengan kegeraman yang terselip dari balik nada bicaranya. “Kita gak bisa melakukan itu. Bagaimana jika ada yang tahu? Kamu bisa dituduh penculik.” Lefrant masih menjawab dengan tenang. “Biarin! Aku gak peduli!” Lefrant menghela napas panjang lalu mengangguk. Sebastian memang pria keras kepala. Ia harus segera menemukan Cindy sebelum Sebastian mengamuk dan malah menghancurkan segalanya. Amarah Sebastian bisa tidak terkendali gara-gara hal seperti ini. Sementara itu, Cindy menikmati makan siangnya dengan tubuh lebih segar serta wangi sabun dan shampo di kamar Naomi yang sederhana. Cindy memakai dress daster sederhana kepunyaan Naomi yang dipinjamkan untuknya. Ia tidak mau pulang agar tidak bertemu Sebastian dan malah dikurung lagi. “Sekarang aku jadi kontributor lapangan untuk NN. Jadi kalau aku punya berita yang menggemparkan, wah aku bisa naik banyak level jadi reporter yang lebih senior!” celetuk Naomi begitu semringah. “Oh ya? Apa kamu sudah pernah mendapatkan berita yang menggemparkan?” tanya Cindy sambil menyelesaikan sisa makannya. Naomi menggeleng seraya mengerucutkan bibirnya. “Idealnya sih kalo aku gak dapet berita yang bener-bener bisa bikin viral, karierku bakalan mandek atau malah dipecat.” Naomi sedikit mengerucutkan bibirnya meski ia kemudian tersenyum. Cindy juga ikut tersenyum lalu mengangguk. “Apa kamu kerja lagi sekarang? Aku lihat kamu berdiri di dekat tower Moulson?” tanya Naomi dengan santainya meremas bungkusan ketoprak yang akan ia masukkan ke dalam kantung plastik. Cindy tertegun sekaligus menelan ludahnya. “Apa Moulson itu perusahaan terkenal?” Cindy malah bertanya. Naomi sedikit tertegun menatap Cindy lalu ia juga mengernyitkan keningnya. “Loh kok kamu tanya begitu. Memangnya kamu gak tahu?” Cindy menggelengkan kepalanya. “Itu salah satu perusahaan yang berasal dari Amerika. Kabarnya sih mereka melakukan investasi untuk proyek-proyek strategis nasional juga. Pemiliknya orang Indonesia yang uda lama di luar negeri. Belum lama juga mereka buka kantor di sini, baru beberapa tahun.” Naomi menjelaskan Naomi menjelaskan panjang lebar tentang apa yang ia ketahui soal Moulson pada Cindy. Cindy menelan ludah dengan pandangan tertegun. Ia tidak tahu apa yang sudah membuatnya terlibat pada CEO Moulson, Sebastian Arson. “Ada apa, Cin? Kok kamu malah melamun?” Cindy terkesiap lalu tersenyum menggeleng. Jantungnya masih belum normal berdegup kencang. Setelah disekap oleh Sebastian selama tiga hari meski atas dasar sakit, tetap saja Cindy merasa cemas dan ketakutan. “Kamu belum jawab pertanyaanku. Sebenarnya kamu kerja di mana?” Naomi bertanya lagi. Cindy masih tersenyum. “Aku gak kerja. Tadi aku kebetulan saja berdiri di sana sedang menunggu taksi. Mau pesen online tapi ponselku mati ... eh, iya. Aku belum cas hapeku.” Cindy baru ingat jika ponselnya sudah mati dan ia seharusnya segera menyalakannya. Cindy berdiri dan mengambil tas tangannya. “Kamu punya charger gak, Nao?” tanya Cindy masih sambil merogoh ponsel di dalam tasnya. “Punya, di atas meja, ambil aja ya. Aku mau bereskan piring ini dulu.” Naomi pun segera bangun hendak membereskan piring bekas makan siang mereka. “Eh, biar aku aja yang cuci piringnya, Nao!” celetuk Cindy menawarkan. “Gak apa. Kamu cas hape saja dulu terus istirahat.” Naomi pun keluar dari kamar membiarkan Cindy mengecas ponselnya. Cindy menemukan ponsel dan mengecek. Ia berbalik mencari-cari cas ponsel yang disebutkan oleh Naomi. Saat menemukannya, tangan Cindy sudah siap memasukkan ujung kabel pada port ponselnya. “Cin, ada kebakaran!” teriak Naomi tiba-tiba. Cindy kaget dan tidak jadi mengecas. Ia meletakkan begitu saja ponsel yang belum tersambung pada catu daya. Bergegas, Cindy keluar menemui Naomi yang berlari masuk kamar. Mereka sampai bertabrakan. “Ahk, maaf!” pekik Naomi karena sama-sama bertubrukan dengan Cindy. “Ada apa, Nao? Di mana kebakaran!” Cindy bertanya langsung panik. “Di rumah mewah jalan Angkasa! Ada rumah pengusaha yang terbakar. Apinya berkobar gede banget. Aku harus ke sana sekarang buat liputan. Kamu tolong jaga rumah ya?” ucap Naomi terburu-buru. Naomi dengan sigap bergerak. Ia menyambar tas ransel yang berisi seluruh peralatan tempurnya dan secepat kilat memakai sepatu. Cindy yang terperangah mendengar jika rumah mewah di jalan angkasa terbakar, langsung melotot. Tangannya segera menarik tangan Naomi sebelum temannya pergi. “Tunggu! Aku ikut!” pekik Cindy dengan wajah kaget. “Hah? buat apa!” Naomi balas memekik. “Mungkin ... mungkin itu rumahku!” Naomi makin melotot. “Apa!!” Tak sampai setengah jam, Naomi dan Cindy yang menumpang ojek tiba di lokasi kebakaran. Naomi bergerak masuk untuk bertemu dengan kameramen yang sudah siap mengambil gambarnya. Dengan cekatan, ia melaporkan secara live tentang kebakaran besar itu tanpa menyadari jika Cindy mencoba mendekat untuk mencari tahu rumah yang terbakar. “Oh Tuhan, itu ... “ Cindy menutup mulutnya melihat asap hitam membumbung tinggi menghanguskan rumahnya dan Melvin. Cindy melihat di sekitar sudah sangat kacau. Pemadam kebakaran berjibaku memadamkan api di rumah yang memang cukup besar tersebut. Sedangkan makin banyak warga yang melihat. “Mas ....” Cindy sampai tak tahan dan akhirnya malah pingsan di tengah jalan di antara kerumunan orang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD