Empat

1871 Words
Jam dua dini hari. Adam mengendap-ngendap dan berjalan dengan kaki berjinjit. Namun sayang, ada hal yang belum Adam ketahui jika semua pamannya itu bukan manusia biasa. Jangankan nafas, baunya saja akan dengan mudah mereka ketahui. Ceklek. Lampu menyala. "Dari mana saja kamu?" tegur Samuel. Sial, batin Adam. Ia langsung menghadap ke arah pamannya. Dengan wajah menunduk. "Mengapa pula wajahmu." Adam hendak beralasan. Namun tangan pamannya sudah menangkup wajahnya dan menariknya kehadapannya. "Kau berkelahi? Jangan bilang kau berbuat onar." bentak Samuel. Suaranya menggema di seantero rumah. "Bukan urusanmu," sahut Adam seraya menampik tangan pamannya kasar. Ia tidak suka diatur. Ia sudah merasa tertekan. "Itukah balasanmu kepadaku Adam. Aku sudah merawatmu sejak kecil__" "Cukup paman. Aku sudah tahu. Aku sudah bukan anak kecil lagi. Aku juga ingin seperti yang lain. Bermain, punya teman, jalan-jalan dan menikmati masa remaja mereka," bantahnya. Iris mata Samuel memerah mendengar ucapannya. Adam terkesiap melihat mata merah pamannya. Ia mundur perlahan. "Kau harus menurut. Dasar manusia susah diatur," bentak Samuel lagi. "Tapi paman. Dari dulu hingga kini aku jarang keluar. Apa salahnya jika aku keluar dan jalan-jalan." Entah mengapa meski ia takut pada mata merah pamannya. Tetap saja ia menyahut. Seolah itu adalah ledakan jiwanya yang selama ini ia redam. "Beraninya kau terus menentangku." Kali ini Samuel benar-benar marah. Taringnya mencuat. Dan hal itu tak luput dari penglihatan Adam. "Si-siapa kau?!?" ucapnya gugup. Kakinya gemetar melihat wujud Samuel. "Kau pasti hantu. Kau bukan Samuel. Pergi!" teriak Adam. Ia melempar vas yang tak sengaja diraihnya di atas meja. Sayang, meleset. Menyadari ketakutan Adam dengan wujudnya. Akhirnya Samuel tersadar harusnya ia bisa menahan emosi. Ia telah berbuat kesalahan dengan memperlihatkan wujud aslinya. "Pergi! Jangan mendekat." Adam meraih samurai yang terpajang di dinding. Ia siap menghadapi makhluk dihadapannya. Setidaknya ia pernah bergabung diam-diam dengan club taekwondo di sekolahnya yang lama. Meskipun belum begitu mahir, setidaknya Adam menguasai beberapa tehnik dasarnya dengan baik. Namun… Bugh. Seseorang memukul tengkuknya hingga ia pingsan. "Apa yang kau lakukan," ucap Brian kepada Samuel. Beruntung ia terbangun dan menemukan pertengkaran keduanya. "Aku lepas kontrol. Rasanya lebih susah mendidiknya ketimbang ayahnya," sahut Samuel yang sudah kembali ke wujud semula. Brian mendesah. "Kau harus sabar. Dia masih belum mengenal dirinya sendiri. Lagipula ini jaman modern. Bukan lagi jaman dulu. Jadi jangan samakan dia dengan tuan Druf," ucap Brian. Brian segera meraih telepon rumah untuk menelpon Frans agar segera pulang dari kliniknya. Setelah memberitahu Adam melihat wujud Samuel ia menutupnya kembali. Dengan sabar direngkuhnya tubuh Adam. Sekali meloncat ia sudah sampai di lantai dua. "Prince. Sebenarnya aku juga tak sabar menunggumu," ucap Brian setelah menyelimuti Adam di kasurnya.   ***   Hari ini sekolah bebas. Guru-guru sedang rapat dadakan. Seperti biasa Adam duduk di bawah pohon. Tempat itu sudah jadi tempat favorit baginya. Selain anginnya yang sejuk. Ia juga bisa melihat kegiatan siswa lain. Basket, sepak bola, dan lain sebagainya. Adam merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. Kedua tangannya ia silangkan menjadi bantal kepalanya. Ditatapnya dedaunan yang bergoyang diterpa angin. Sesaat telinganya mendengar kembali suara cicit burung di tempat yang sama seperti kemarin. Matanya ia tajamkan ke arah di mana suara itu berasal. Perlahan namun pasti matanya bisa melihat induk burung sedang menjaga anak-anaknya. Adam mengucek matanya. Rasanya itu tidak mungkin ia lakukan. Rasionya, mata kecilnya tidak akan mampu melihat burung itu di antara rimbunan pepohonan yang tinggi. Entah kenapa ia selalu berhalusinasi. Bahkan tadi malam kata Frans ia juga berhalusinasi melihat hantu hingga pingsan. Benarkah itu hantu? "Ternyata elu di sini Brow," sapa sebuah suara membuyarkan lamunannya. "Gue dari tadi nyari elu," ucapnya lagi. "Trus?" "Ya kagak ada, kan gue janji mau jadi temen lu," ucap Hari tulus. "....." Hari ikut tiduran di samping Adam. Ia sama sekali tak keberatan walaupun Adam tak menggubrisnya lagi. Ting. Tong. Sebuah chat masuk. Adam memeriksanya. +62897×××××: Hay Sayang...... Sebuah nomer baru. Siapa yang punya nomernya. Sepertinya ia mencurigai seseorang yang juga sibuk memegang ponselnya. Adam menatap wajah Hari yang tengah pura-pura tak tahu. Entah kapan ia memiliki id line-nya. "Jangan dihapus. Kali aja nanti elu kangen ma gue." Adam hendak men-delete. "Atau setidaknya ketika elu kesepian kan ada gue." Adam tercenung. Tangannya mengambang di atas layar. Sesaat ia berpikir dan memutuskan untuk tidak menghapusnya. Selama ini ia memang belum pernah punya teman. Segala aturan yang dibuat pamannya begitu mengekangnya. Sehingga ia menutup diri dari pergaulan. Dan melewati hari-hari yang di lalui dalam kesendirian. Tapi mungkin paman Samuel lupa kalau dia saat ini sudah dewasa. Ia sudah bisa menjaga diri. "Nih." Adam menyodorkan bekal makanannya. Melihat itu Hari tertegun, kemudian menyemburkan tawanya. Adam mendelik. "Maaf Dam, bukan maksud gue nertawain elu. Tapi hari gini. Bawa bekal?? Udah gak jaman tahu," ucapnya dengan tawa yang masih belum mereda. "s**l lu," umpat Adam dengan sedikit senyum di ujung bibirnya yang sexy. Hari melihat itu, ia merasa bangga bisa membuat teman barunya itu sedikit tersenyum. Ia kembali teringat pesan seseorang yang menemuinya malam itu...... Hari kelelahan setelah berlarian ke sana ke mari mengekori Adam. Buset dah, anak itu kelewat dingin. Padahal jika orang lain pasti sudah ngakak mendengar guyonannya. Nah, ini si Adam bercanda apapun, selucu apapun dia sama sekali tak tertawa, batinnya. Shuutttthhhhh. Eh,apaan tuh. Hari menengok kiri-kanan halaman rumahnya. Tidak ada siapapun. Apa Cuma perasaannya saja seperti ada orang lewat. Mendadak bulu kuduknya berdiri. "Nak." Sebuah suara mengejutkan Hari. Bayangan seorang laki-laki berdiri di kegelapan. Tubuhnya tinggi tegap. Wajahnya tidak jelas. Tapi dari sepasang matanya Hari bisa melihat jelas jika mata laki-laki itu berwarna biru. Mirip mata Adam. "Si...siapa itu." Mendadak Hari jadi waspada. Ia tidak mau malam ini ia dipukuli untuk kedua kalinya. "Aku mau minta tolong." Orang itu mendekat. Lampu depan langsung menyinari wajahnya yang tampan. "Ah, tentu saja boleh," ucap Hari lega. Setidaknya ia bukan Ramon dan genk-nya. Ataupun hantu muka gosong atau penyok yang kehilangan satu bola matanya. "Jadilah teman Adam. Jangan tinggalkan dia apapun yang terjadi. Selama ini ia selalu sendirian tanpa seorang teman. Buatlah ia tersenyum." Hari mengernyit. Dia apanya Adam mengapa bicara begitu, batinnya. "Anda siapa__" Pertanyaannya menggantung di udara. Karena sosok laki-laki itu sudah lenyap dari hadapannya. Suasana horor langsung terasa olehnya. Dengan langkah berat Hari langsung masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat. Sampai detik ini Hari tidak yakin siapa orang itu sebenarnya. Entah hantu atau manusia. "Dam, boleh main kerumahmu ?" ucap Hari "Gak." "Gue pengin ketemu ibu ma bapak elu. Ngenalin gue kek. Sahabat elu." "Gak." Adam bangkit dan berdiri. "Ayolah." rengek Hari sambil menarik ujung lengan baju seragam Adam. Adam mendelik. Hari melepas pegangannya sambil cengengesan. Adam meninggalkannya menuju kelas. "Jangan galak gitu Dam. Ntar lu gak punya cewek lagi," teriaknya. Tapi Adam sudah menghilang di tikungan. "Oiiii, tungguin gue!" teriaknya lagi seraya mengejar Adam. Ramon muncul menghadang Adam. Melihat itu Hari langsung berdiri di belakang Adam. "Dam, bagaimana ini?" bisiknya. Adam tak menyahut. Ia sibuk beradu tatapan tajam dengan Ramon. "Urusanku dengan cecunguk di belakang lu itu belum selesai. Gue harap lu gak mencampuri urusanku kali ini," tegas Ramon. Hari menyembunyikan wajahnya di belakang Adam. Ia memang takut dipukuli lagi. "Gue benci k*******n. Karena itu katakan, kesalahan apa yang dia perbuat?" tanya Adam. Ramon menatap Adam tak suka. Ia maju selangkah. Menipiskan jarak antara Adam dengannya. "Dia merebut Siska, pacar gue," bisik Ramon di telinga Adam. "Benarkah itu Hari?" tanya Adam. Hari menggeleng. "Tidak, kau salah paham. Dalam foto itu, yang bersama Siska bukan gue. Coba lihat lebih teliti. Di leher bagian belakangnya ada tanda hitam. Itu jelas bukan gue Ramon," ucap Hari memperjelas kesalahpahaman yang terjadi. Ia tidak sempat menjelaskan sebelumnya, karena malam itu Ramon dan genk-nya langsung main pukul tanpa memberinya kesempatan membela diri. Ramon terkejut. Ia meminta temannya untuk memeriksa foto itu kembali. Dan benat, foto cowok yang membelakangi kamera dan sedang berpelukan dengan Siska memiliki tanda hitam. Ramon lansung menarik leher Hari. Tanda itu tidak ada. "s****n!" umpat Ramon. Ia nampak kecewa dan mengajak seluruh anggotanya meninggalkan Hari dan Adam. Melihat hal tersebut Hari bernapas dengan lega. "Terima kasih Dam," ucapnya. Adam tak menyahut. Ia telah meneruskan langkahnya yang sempat tertunda.   ***   Wanita yang masih seperti gadis meski usianya sudah tua menatap foto di handphone-nya. Foto yang bisa mengobati kesepian hidupnya dan mengobati kerinduannya. Ia bisa melihat mata itu mirip sekali dengan ayahnya. Wajahnya justru wujud pencampuran keduanya. Anaknya sangat tampan. Dan ya, mungkin benar. Candu Ayahnya akan menurun padanya. Air mata mengalir di kedua pipinya. Ia sangat menyayanginya. Sejak bayi ia sama sekali tidak diizinkan menyentuhnya. Derita mana lagi yang lebih berat daripada seorang ibu yang tidak diizinkan menggendong dan menyusui anaknya secara langsung. Setiap hari ia menangisi kondisinya. Keadaan membuatnya bahkan tak bisa memberikan air susunya kepada anaknya. Sementara yang merawat adalah ketiga pamannya Dia sendiri hanya bisa melihatnya dari jauh. Dengan alasan tragedi itu takut terjadi lagi. Ia dipisahkan dari anak kandungnya sendiri. Seolah tidak cukup penderitaan memisahkan dirinya dari suaminya. Anak yang seharusnya dapat menjadi obat baginya justru jauh dari jangkauannya. Air mata kembali mengalir dari kedua matanya. Setahun yang lalu usia anaknya sudah menginjak tujuh belas tahun. Di hari ulang tahunnya itu ia di beri hadiah handphone oleh pamannya. Tentu saja agar ia bahagia dan bisa bicara dengan ibunya. Sayangnya anak itu hingga saat ini belum pernah menghubunginya, meskipun jelas nomernya sudah tersimpan di sana. Bisa jadi anak itu membencinya. Mungkin ia tidak menerima keadaan ini. Kenyataan bahwa mereka berdua tinggal serumah, namun belum pernah bertemu sama sekali. Sedangkan ia sendiri sebagai ibunya, merasa takut tiap kali akan mengirim sms atau menelponnya. Ia takut anak itu menolaknya. Karena jujur, ia sudah tidak sanggup merasakan sakit yang lain lagi. Diraihnya pigura yang terpajang di atas meja. Foto anaknya yang diambil sebulan yang lalu. Ia sungguh sudah dewasa. Wajahnya terlihat datar. Tidak ada senyuman sama sekali di sana. "Nyonya Elena." Frans datang membawa segelas darah. Ia memperhatikan wajah istri tuannya yang penuh dengan penderitaan. "Bagaimana kabarnya hari ini ?" tanyanya seperti biasa. Frans menyodorkan segelas darah ke hadapannya seperti biasa. Wanita itu langsung meminumnya. "Seperti biasa nyonya," sahut Frans setelah menerima gelas kosong dari wanita yang kini berdiri menghadap beranda kamarnya. "Tapi tadi malam aku mendengar Samuel memarahinya. Apa kalian tidak terlalu keras padanya? Dia melewati semua masa sulit ini dengan wajah datarnya. Aku belum pernah melihatnya tertawa. Mungkinkah dia kesepian dan menderita Frans?" "Tidak akan nyonya. Bukankah ada kami bertiga." "Bukan begitu maksudku. Takdirnya membuatnya berbeda dari yang lain. Tapi haruskah kita mencuri masa remajanya. Anak seusianya biasanya melewati masa ini dengan banyak teman. Apa kau tidak merasakan apa yang kurasakan? Ia sangat kesepian dan menderita. Ia butuh sentuhan cinta dan kasih sayang." Elena menangis lagi. Ia sangat menghawatirkan perkembangan psikologis Adam. Frans tak bisa berkata apa-apa. Karena apa pun yang dikatakan Elena ia juga merasakannya. Bahkan mungkin, ia, Brian dan Samuel terlalu posesif pada anak itu. Mau bagaimana lagi. Seorang anak harusnya berada dalam kasih sayang ibunya. Tetapi Adam justru di asuh tiga laki-laki. Yang mengasuhnya layaknya penjaga keamanan lingkungan. Jangankan mengasuhnya dengan penuh kasih sayang. Yang ada hanya kekangan aturan. "Apa ia menunjukkan tanda kalau dia." Elena diam sejenak, "vampire," lanjutnya kemudian. "Tidak nyonya. Kemarin saja ia mengamuk karena Samuel memberinya botol berisi darah untuk dibawa ke sekolah," terang Frans. Elena terdiam. Jika boleh memilih ia berharap anak itu menjadi manusia. Karena ia tahu betul menderitanya menjadi seorang vampir. Seperti dirinya kini, yang tak sengaja menjadi vampir demi menyelamatkan nyawa Adam ketika lahir.                                                                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD