Tiga

1958 Words
Brian D' Jandru Tulisan itu terpampang besar di depan sebuah galery mewah. Tiara menarik nafas. Mengingat ia telah memecahkan celengan, dan menarik seluruh uang di rekening tabungannya. Jika kedua orang tuanya tahu. Ia pasti di marahi. Saat ini jika ada seseorang yang harus ia benci. maka dia-lah orangnya. Adam. "Gimana ?" tanya Rani yang sama enggannya masuk ke galery tersebut. Meski mereka berdua anak orang kaya. Berbelanja baju berkelas di tempat seperti itu bukanlah pilihan yang tepat. Karena bagaimanapun juga, mereka hanya numpang uang kedua orang tuanya. Lagipula, hanya orang yang super sangat kaya yang pantas belanja di tempat itu. "Ayo," ajak Tiara mantap, setelah terdiam cukup lama. Rani mengangguk. Saat keduanya melangkahkan kaki ke dalam ruangan itu. Rasa sejuk dari AC ruangan langsung terasa. Wangi bunga langsung menggelitik hidung mereka. "Ada yang bisa dibantu adik-adik?" tanya seorang wanita yang memakai jas warna merah kombinasi hitam. Wajahnya sangat cantik dengan rambut di biarkan terurai di kanan-kiri bahunya. "Kami mencari ini." Tiara menjulurkan seragam Adam kepada wanita itu. Sejenak wanita itu memandang keduanya. "Tunggu di sini ya," ucapnya. Tiara dan Rani mengangguk. Mereka segera duduk di sofa empuk yang tersedia. Sambil menunggu Tiara melihat beberapa baju yang dipajang. Semuanya bagus-bagus. Terlihat mewah, elegant. Bahkan ada baju yang dibiarkan menjuntai saja kelihatan cantik. Entah karena modelnya atau bahan kain yang digunakannya. Atau karena perancangnya yang terlampau brilliant.  Sehingga harga yang tertera di baju itu cukup untuk membayar biaya sekolahnya sampai lulus. "Maaf, seragam ini hanya dibuat tiga saja. Dan hanya perancangnya sendiri yang tahu di mana keduanya berada. Sayangnya tuan Brian sudah pulang barusan. Bagaimana?" What??? Tiara dan Rani saling pandang. Se-kaya apa Adam sampai seragamnya saja edisi limited edition. "Kalau boleh tahu kira-kira kisaran harga seragam ini berapa?" tanya Rani penasaran. "Entahlah, mungkin sekitar 8 juta atau 10 jutaan." ucap wanita itu. Rani menganga lebar saking terkejutnya. Hanya seragam sekolah sampai berharga jutaan? Gila. "Terima kasih Kak. Kami pamit dulu." Pamit Tiara dengan sopan. Diambilnya seragam Adam sebelum melangkah pergi. Sesampainya di luar ia memberi kode kepada sopirnya untuk menjemputnya. Setelah keduanya masuk. Tiara memberikan alamat rumah yang ditinggalkan Adam kepada sopirnya. "Kalau boleh tahu, gimana ceritanya sih, elu sampai berurusan sama dia?" tanya Rani. Tiara pun menceritakan kejadian yang terjadi akibat kecerobohannya. Sejak ia terlambat dan tanpa sengaja menubruk Adam hingga terjatuh. "Elu tau nggak sih, baru kali ini gue belajar nyuci sama bi Iyem. Dan baju pertama yang gue cuci ya seragam ini." tunjuknya pada seragam yang terlipat rapi dan telah di beri bungkus transparan. "Buat apa elu sampe nyuci tuh baju!" teriak Rani tak terima mendengar sahabatnya melakukan itu. "Yah buat jaga-jaga, jika ternyata gue gak mampu beli tuh seragam," sahut Tiara. "Gue penasaran deh, harga seragamnya aja segitu. Kira-kira harga segitiga dalamnya berapa ya," ucap Rani menerawang. "Ngomong apaan sih, kumat lagi lu ah." Rani tertawa. Dan tawanya terhenti ketika mobil Tiara berhenti di sebuah rumah bertingkat tiga. Rumah tersebut cukup besar dengan desain unik campuran gaya Eropa dan Asia. Tiara dan Rani menatap rumah itu tak percaya. "Astaga," gumam Rani, “Ini rumah apa hotel bintang lima.” Setelah mengecek lokasi rumah itu dan alamat di kertas sesuai. Tiara dan Rani masuk ke dalam agak ragu. Hingga sampailah keduanya di depan pintu besar berukiran entah khas mana. Tiara memencet bel di samping pintu sebanyak tiga kali. Agak lama keduanya menunggu. Hingga pintu pun terbuka dan muncul seorang pemuda tampan tersenyum ke arah mereka. "Maaf, mencari siapa ya?" tanya pemuda itu ramah. Menerima sambutan hangat seperti itu. Rasa takut dan sungkan yang dirasakan Tiara dan Rani mendadak sirna. Apalagi wajah pemuda di hadapannya seperti tak asing bagi keduanya. "Ehm, benar ini rumah Adam?" tanya Tiara. Pemuda itu tertegun sejenak. Kemudian memandang Tiara dan Rani bergantian. "Oh, iya benar. Apa kalian teman sekolahnya?" Tanya dia balik. "Iya Kak," sahut Tiara. "Baguslah, Ayo silahkan masuk." Tanpa sungkan keduanya masuk. Mereka berasa berada di bagian negara lain saat memasuki ruang tamu. Desainnya mirip ruang tamu film istana negara eropa. "Duduk di sini ya,"  ucapnya tersenyum lagi. "Emm, kalau boleh tahu kalian ingin bertemu Adam ada urusan apa ya ?" Rani menyikut lengan Tiara agar langsung bicara. "Saya mau minta maaf Kak, karna sudah membuat baju Adam kotor. Tapi saya beneran gak sengaja. Dan minta maaf juga saya gak punya uang buat beli baju gantinya. Soalnya harganya mahal. Jadi bajunya yang kotor kemaren, sudah saya cuci dengan tangan saya sendiri." Tiara menyerahkan baju itu dan langsung diterima. Ia memeriksanya, kemudian tertawa sambil bergumam sendiri. "Dasar Adam. Tuh anak ada-ada saja." Pemuda itu menatap kedua remaja cantik di hadapannya. "Oh, iya, kita kenalan dulu. Nama saya Brian De Jandru. Panggil om Brian saja." ucapnya sambil menjulurkan tangan. Keduanya terkejut. Tak menyangka desainer ternama dunia ada di hadapan mereka. Mereka kini mulai paham mengapa seragam Adam tidak dijual bebas. "Sa-saya Tiara," ucap Tiara gugup. "Saya Rani." Keduanya menyalami Brian. Setelah itu muncul di antara mereka seorang pemuda yang juga tampan sedang membawa minuman. "Wah, ternyata tamunya gadis-gadis cantik ya. Silahkan di minum," haturnya. Tiara dan Rani tersenyum mengangguk. Tak urung keduanya merasa melayang di katakan cantik oleh pemuda tampan di hadapannya. Ia memakai setelan baju dan celana putih yang dilapisi lagi outer panjang berwarna putih. "Kalau dia namanya Dr.Frans. panggil om Frans saja." Tiara dan Rani kembali menyalami pemuda itu sambil menyebutkan nama masing-masing. Tiara dan Rani merasa berada di surganya orang-orang tampan. "Oh iya Kak, Adam mana?" tanya Tiara. "Dia__" kalimat Brian menggantung saat seorang pemuda melintas hanya mengenakan handuk dan mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah. Perut sixpack-nya dapat dilihat oleh Tiara dan Rani dengan jelas. Air yang menetes kesana kemari dari rambutnya membuat ketampanan Adam semakin menggila. Tiara dan Rani terpaku di tempat. Menatap tak berkedip ke arah Adam. "Frans, susuku mana!" teriaknya tak menyadari banyak orang di ruang tamu. "Kak Frans, Kamu dimana?" teriaknya lagi. Frans berdeham, membuat Adam menoleh dan melihat semua orang menatapnya terutama dua gadis yang mematung di sana. "Shitt!" umpatnya. Ia berlari tergesa menaiki tangga menuju kamarnya. Semoga Paman Sam tidak mengetahui kejadian ini. Apa yang harus ia lakukan. Dasar, gadis itu mau apa sih kemari, batinnya. Sejenak Adam lupa pada kenyataan jika dia sendiri yang telah mengundang Tiara untuk datang. Di ruang tamu Frans kembali mempersilahkan tamunya meminum teh hangat yang ia suguhkan. "Terima kasih," ucap Tiara dan Rani bersamaan. Baik Brian maupun Frans hendak meninggalkan keduanya di ruang tamu. "Sebentar om. Bolehkah kita foto bareng?" tanya Rani, membuat Tiara tersedak olehnya. Kedua pria tampan tersebut mengangguk. Rani langsung kegirangan. Ia segera meraih handphonenya. Tak ketinggalan mengajak Tiara. Jadilah mereka berempat ber-selfie ria bersama. "Apaan sih, memalukan," sungut Tiara ketika Frans dan Brian telah meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. "Lumayan buat nambah follower di i********:. Ntar kan bisa nyebut dia di bawah postingan. Gila. Keren banget," pekik Rani, “Gila. Tampan, pintar dan kaya gak ketulungan. Gue mau ngelakuin apa ja demi Adam." Lanjut Rani lagi yang langsung disikut Tiara. "Ngomong sembarangan. Dia galak dan kasar. Mau lu?" ucap Tiara. "Idih. Bilang aja lu cemburu," sahut Rani. "Sorry. Bukan tipe aku banget," sungut Tiara. "Elu juga bukan tipe gue. Ngapain kemari?" celetuk Adam yang sudah berdiri di hadapan keduanya. Ia memakai kaus sederhana, sedangkan tangannya dimasukkan ke dalam kantong celananya. Tiara terpana. "Woi bengung jangan di sini," tegur Adam lagi. "Aku mau ngembalikan bajumu. Sudah aku cuci," ucap Tiara sadar dari lamunan. "Gue gak mau baju bekas. Apalagi lo yang nyuci," sahut Adam. "Kumohon terimalah dan maafkan aku," pinta Tiara dengan wajah memelas. Adam mendengus. Mengambil baju dari tangan Tiara kemudian melemparnya ke tempat sampah yang tak jauh dari mereka. Rasanya Tiara ingin menangis melihat semua itu. Hilang sudah kerja kerasnya. "Pulang sana!" usir Adam kasar, kemudian berlalu dari hadapan Tiara dan Rani yang melongo tak percaya.   *** Ini yang membuat Adam malas berurusan dengan paman Samuel. Apalagi jika menyangkut perempuan. Sudah menjadi kewajiban baginya menceramahi Adam berjam-jam. Menjelaskan ini-itu yang menurut Adam sangat tidak masuk akal. Atau lebih tepatnya tak ada logika sama sekali. "Sudah paman katakan berulangkali. Tugasmu di sekolah hanya belajar. Hindari bergaul dengan teman yang gak penting. Dan jangan pernah atau bersentuhan fisik maupun nafas dengan wanita. Siapapun dia." ucap Samuel dengan penuh penekanan. "Tapi paman__" "Jangan menyela. Kau sedari kecil sudah paman rawat dengan kasih sayang. Jadi jangan membantah. Lakukan saja perintah Paman. Itu semua demi kebaikanmu" bentak Samuel. Adam jadi semakin malas untuk bicara. Jiwanya merasa tertekan. Di balik semua aturan dan tekanan yang Paman Samuel berikan. Ada banyak tanya yang ingin ia ungkapkan. Adam hanya bisa menyimpan semua kesalnya dalam hati. Ketika pamannya pergi. Ia masuk ke dalam kamarnya dan duduk di meja. Menatap sebuah foto di dalam figura. Foto yang konon katanya adalah ayah dan ibunya. Dadanya merasa sesak. Rasanya Adam tak tahan lagi ada di rumah itu. Di raihnya tas selempang kecil di dinding. Ia hanya memasukkan dompet dan handphone. Ia tidak akan lari dari rumah. Setidaknya ia ingin bernafas sejenak menghilangkan rasa sumpek yang sejak tadi mengganggunya. Adam mengendap-ngendap keluar rumah. Setelah berhasil keluar dari pintu ia masih harus melewati pos satpam rumahnya. Adam bersembunyi di antara taman. Diraihnya sebuah batu kemudian melemparnya ke sudut samping rumah. Bunyi lemparannya menarik perhatian sang satpam. Penjaga rumahnya itu langsung bergerak memeriksa tempat itu. Adam langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk keluar. Beruntung gerbang rumahnya terbuka sedikit sehingga ia leluasa untuk keluar. Adam berlari menjauh. Setelah dirasa aman ia mengatur nafasnya. Ini adalah kali pertama ia melanggar peraturan. Keluar rumah tanpa ijin. Tapi biarlah sekali ini saja. Dengan santai Adam berjalan kearah kemana pun kakinya melangkah. Malam telah larut namun suasana kota yang ramai tak pernah tidur. Ia langkahkan kakinya menelusuri g**g kecil. Kalau tidak salah di sekitar sini ada taman yang biasa di datangi warga. BUGH. BUGH. Suara pukulan dan lenguhan rasa sakit di tangkap telinga Adam. Arahnya datang dari depan. Ia segera menajamkan pandangannya. Menyisir g**g sempit yang gelap. Dilihatnya tiga orang pemuda sedang mengeroyok seseorang yang kini tersungkur di kaki mereka. Ia sebenarnya tak peduli dan ingin menjauh. "To... Tolong aku." Suaranya terdengar parau. Tapi Adam tak peduli. Ia sedang kesal. Dipasangnya earphone dan melewati mereka. Namun entah mengapa kepalanya terkena salah satu pukulan mereka yang meleset dan tak sengaja mengenainya. Sehingga ia berhenti dan balik menatap para b******n itu. Tiga orang itu menoleh, "Jangan sok jadi pahlawan ya." "Lo, bukannya itu murid baru di sekolah kita." Adam kini paham siapa orang-orang di hadapannya itu. Jika mereka mengenalnya berarti mereka adalah siswa di sekolah yang sama dengan Adam. "Sana pergi. Gue gak mau wajah tampan lu itu bonyok di tangan gue," hardiknya kasar. "Lu sudah mukul gue," ucap Adam. "Lantas, lu mau apa?" tantangnya. Bugh. Satu pukulan Adam langsung mengenainya. Tiga pemuda di hadapannya mendelik marah. "Serang dia!" ucap salah seorang di antaranya. Kemungkinan, dialah pimpinannya. Mendapat serangan tiga orang sekaligus bukanlah hal yang mudah bagi Adam. Ini kali pertama ia berkelahi. Pelanggaran kedua yang ia lakukan malam ini. Beberapa pukulan mengenainya juga wajahnya. Namun akhirnya ia bisa memenangkan perkelahian tersebut. Meski sudut bibirnya terluka. "Makasih Dam," ucap pemuda yang tadi tersungkur dan kini ia sudah bangkit menjulurkan tangan ke arahnya. Adam tidak menanggapinya ia berbalik dan segera meneruskan langkahnya ke tujuan semula. Namun pemuda itu mengejarnya. "Gue Hari. Anak Ipa juga, cuma beda kelas denganmu." Sekali lagi Adam tak menanggapi. Ia tetap meneruskan langkahnya dengan diikuti Hari di belakangnya. Saat penerangan lampu menerpa wajahnya. Terlihat jelas memar di sudut bibirnya. "Ngapain ngikutin gue. Sana pulang," usir Adam. Langkahnya yang tiba-tiba berhenti membuat Hari membenturnya. "Nggak. Gue pengin jadi teman lu." "Gue gak mau," tolak Adam. Mana mungkin ia berteman dengan orang yang secara teori telah mendorongnya melakukan pelanggaran kedua. "Gue mau." Hari tetap ngotot. "Nggak." "Nggak nolak kan, makasih," ucap Hari sekenanya. "GAK-MAU!" Dan teruslah Hari mengekor di belakangnya kemana pun Adam melangkah malam itu. "Lu rese," umpat Adam. Namun Hari tak peduli.                        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD