Yeona tidak pernah menyangka bahwa, setelah penghianatan Owen dan pelecehan yang dia alami, dia bisa menyukai seorang pria lagi, tapi di saat yang sama juga merasa itu wajar jika orangnya adalah Qiu Shen.
Karena sejak awal, jika bukan karena Qiu Shen, entah sudah berapa kali Yeona putus harapan?
Qiu Shen mungkin terlihat sangat dingin dan tak bisa mengekspresikan emosinya sebaik orang lain, tapi bagi Yeona, Qiu Shen adalah kehangatan terakhir yang bisa dia dapatkan setelah semua hal mengerikan yang pernah dia alami.
"Sebelum bulan baru terlihat lagi, aku akan kembali."
Saat ini bulan baru sudah muncul dan berbentuk sabit yang masih sangat tipis, jika Qiu Shen mengatakan dia akan kembali sebelum bulan baru muncul lagi, maka setidaknya dia akan pergi setidaknya tiga minggu lamanya.
Untuk perjalanan jauh yang biasanya hanya bisa ditempuh setengah jalan dengan kendaraan, petualangan penuh bahaya dan perjuangan di tempat yang tidak diketahui, perkirakan waktu Qiu Shen itu bisa dibilang sangat cepat.
Tapi mendapatkan kepastian seperti itu jauh lebih baik dari pada harus menunggu tanpa waktu yang jelas.
"Bagaimana kalau terlambat?" tanya Yeona.
Saat ini keduanyanya sedang berada di tengah-tengah stadion, berbaring terlentang menatap bintang.
Qiu Shen menoleh. "Tetap di dalam dinding."
"Bagaimana jika aku keluar menjalankan misi saat itu?"
"Aku akan mencarimu."
Yeona berbaring miring dan menopang kepalanya dengan telapak tangan. "Kau yakin bisa menemukanku?"
Qiu Shen mengangkat alis. "Kau meremehkanku?"
Yeona menahan senyum. "Tapi kau sendiri yang bilang, tidak ada kepastian yang mutlak di dunia ini."
" ... Kau berani menentang ucapanku?"
"Tapi seperti itulah percakapan dilakukan? Jika aku diam saja, itu artinya kau hanya bicara pada diri sendiri."
Qiu Shen diam, hanya melempar tatapan tajamnya ke Yeona, yang dibalas dengan tawa renyah gadis itu.
"Dan sekarang, kau berani menertawaiku?"
Ucapan bernada ancaman itu justru membuat tawa Yeona semakin keras.
Keesokan harinya, Yeona dan Qiu Shen datang ke basecamp bersama-sama hingga membuat banyak orang melongo. Meskipun banyak yang sudah menduga hubungan mereka, tapi ini adalah pertama kalinya sejoli itu menunjukkan kedekatan mereka secara terang-terangan.
Lihatlah itu, Qiu Shen yang biasanya sangat dingin bahkan terkadang menampakkan senyum meski sangat tipis ketika Yeona mengatakan sesuatu padanya.
"Saat pulang, aku harus punya kekasih juga." Ben mengalihkan tatapannya dari Qiu Shen dan Yeona.
"Maaf, tapi aku belum pernah menemukan mutan beruang wanita di distrik ini," ujar Cathy selagi mengikis kukunya.
"Kau mengolokku!" raung Ben kesal.
"Tidak, hanya memberitahu kebenaran."
Karen menghela napas lelah. "Hentikan, tidak bisakah sehari saja kalian akur seperti Qiu Shen dan Yeona?"
"Amit-amit."
"Never!"
Cathy dan Ben menjawab bersamaan, saling memandang lalu membuang muka di saat yang sama juga.
Karen memijat kepala dan menggeleng pelan. Entah kapan dua sahabatnya ini bisa akur. "Oke, kita harus berangkat sekarang."
Yeona mengigit pipi bagian dalam demi menahan raut enggan yang hampir lolos dari wajahnya dan mengantar Qiu Shen hingga ke pintu gerbang.
"Saat aku kembali, aku akan memberitahumu sesuatu."
"Huh? Apa?"
"Aku bilang akan memberitahumu saat pulang."
"Lalu kenapa memberitahuku sekarang tentu itu? Kau hanya membuatku semakin penasaran!" sahut Yeona sebal. Padahal jika Qiu Shen tidak memberitahunya seperti ini, dia bisa tidur nyenyak dan fokus menunggu, sekarang dia pasti akan tersiksa karena rasa penasaran.
Seolah tanpa rasa bersalah, Qiu Shen hanya tersenyum tipis dan menepuk kepala Yeona sebelum pergi.
***
Karen membawa hampir setengah anggota guild bersamanya, sehingga ketika datang ke basecamp untuk latihan, Yeona merasa tempat itu agak sepi karena kebanyakan yang datang ke Basecamp itu memang hanya anggota senior, sedangkan yang baru masuk seperti Yeona lebih banyak menghabiskan waktu di basecamp yang lain.
Tapi, datang di saat Karen, Ben dan Qiu Shen tidak ada sepertinya adalah keputusan yang salah, karena tempat itu jadi seperti daerah kekuasaan Raya, sedangkan Cathy sibuk mengurusi mutan anak macan tutulnya.
"Oh dia datang." Begitu Yeona masuk, Raya and the gang sudah duduk di sofa ruang tamu dan langsung melempar tatapan remeh kepadanya. "Bagaimana rasanya ditinggal tiga orang yang selalu mendukungmu? Pasti sangat tidak aman kan?"
Yeona mengabaikan mereka dan bejalan langsung ke ruang latihan. Lagi pula, setelah Yeona berhasil mengalahkan Raya, mereka semua hanya berani mengejek.
Tapi, begitu Yeona berupaya membuka pintu, dia menyadari pintu ruang latihan terkunci. Dan yang menguncinya?
Tidak perlu bertanya, Yeona sudah tahu siapa.
Dia menoleh ke arah rombongan gadis-gadis itu dan memang melihat Raya sedang memutar-mutar kunci di jari telunjuk.
"Kau mau membukanya atau tidak?" tanya Yeona.
"Buka atau tidak?" Raya mengejek dan tertawa. "Jika tidak, bagaimana?"
"Lalu jangan buka." Yeona berbalik dan berjalan ke pintu lagi. Dari pada ribut, Yeona lebih memilih menyewa ruang latihan hingga Karen kembali dari misi.
"Yeona."
Tapi sebelum Yeona keluar, suara halus Mila terdengar.
Sejak tadi, Yeona tidak melihatnya diantara teman-teman Raya, dan melihat apronnya, Yeona menebak gadis itu baru saja dari dapur.
"Ada apa?"
Mila menggosok tangannya yang basah ke apronnya. "Bisakah kita bicara sebentar?"
"Mila. Apakah sarapannya belum siap?" Raya tiba-tiba bertanya dengan suara yang besar.
"Sebentar lagi." Mila menoleh dengan senyum lebar. "Aku akan bicara dengan Yeona sebentar."
Yeona mengerutkan kening dan mengajak Mila keluar dari rumah.
"Yeona, apakah benar kalau yang memukul Iyan itu kamu?"
Itu adalah kejadian beberapa hari yang lalu, Yeona heran kenapa Mila baru bertanya padanya meski mereka sering bertemu di basecamp.
"Ya," jawab Yeona.
"Kenapa? Kupikir hubunganmu dengannya cukup baik. Kau tahukan, alasan kita bisa mendapatkan kesempatan untuk masuk ke guild ini adalah karena rekomendasinya."
"Karena aku memukulnya, aku tentu punya alasan."
"Alasan apa?"
"Kenapa kau tidak bertanya langsung pada Iyan?"
Mila meremas ujung apronnya. "Dia tidak mau memberitahuku, akhir-akhir ini dia sering marah."
"Lalu, kau tidak perlu tahu."
Mila mendongak dengan mata merah. "Yeona, aku tahu kalian pasti bertengkar karena suatu alasan, tapi aku tidak mengerti mengapa kau harus memukulnya? Dia sudah banyak membantu kita! Kau tidak akan bisa masuk ke guild jika bukan karena Iyan!"
"Lalu?"
"Apa?"
"Jika memang Iyan yang membantuku masuk ke dalam guild, haruskah aku melayaninya seperti tuan dan menuruti semua keinginannya?"
Mila tergagap. "Bukan seperti itu, hanya saja ...
"Mila, sekarang aku tanya." Yeona memandangi gadis itu dari atas ke bawah. "Apakah alasan mengapa kau bisa bertahan hidup di distrik ini sendirian karena kau selalu bergerak mengikuti arus, tidak peduli di tangan siapapun kau berada, kau akan selalu menuruti mereka?"
Mila diam, tapi air matanya sudah mengalir sedangkan bibirnya bergetar.
"Perlihatkan tanganmu." Yeona mengulurkan tangan untuk meraih tangan Mila, tapi gadis itu mundur beberapa langkah menghindarinya.
Tapi hal itu justru membuat Yeona semakin gencar mengejarnya, lalu ketika Yeona berhasil menyingkap lengan baju gadis itu, napasnya tercekat begitu melihat banyaknya luka-luka di kulit gadis itu.
"Apakah Iyan benar-benar teman masa kecilmu?"
Yeona sudah merasa kebetulan untuk bertemu teman masa kecil di distrik penuh narapidana ini adalah sesuatu yang mustahil.
Jawaban yang Yeona terima adalah tangisan dalam diam dari Mila. Dan itu seolah membuat amarah di kepala Yeona meledak.
Tidak ada yang paling menyeramkan dari pria bertopeng kebaikan namun nyatanya busuk di dalam.
Yeona melepaskan tangan Mila dan masuk ke dalam rumah kembali, melintasi rombongan Raya di ruang tamu dan berjalan terus hingga ke halaman belakang basecamp.
Begitu melihat Iyan sedang tertawa diantara anggota guild lain, Yeona berjalan lebih cepat ke sana.
"Ini adalah urusanku dengannya." Yeona memberitahu semua pria yang ada di sana, sebelum melayangkan tinjunya ke hidung Iyan yang masih diperban.
Bersambung ...