Survival 38

1383 Words
"Yeona!" Iyan dan yang lain berlari menghampiri mayat bison itu, kemudian dengan tenaga mereka berempat menariknya menjauh dari celah kecil tempat salah satu rekan mereka berada. Yeona merangkak keluar dan menghela napas lega, tangan dan kakinya masih bergetar, jadi dia memilih untuk duduk hingga perasaannya bisa lebih tenang. "Bison biasanya hanya hidup di wilayah padang rumput atau lembah, sangat jarang masuk ke hutan rindang kecuali mengejar sesuatu." Iyan menatap dua pria yang membawa Bison itu ke arah mereka dengan tajam. "Dan lagi, mereka hidup berkelompok, tidak mungkin radar kalian tidak menyadari sekelompok monster di sarang mereka kan? Jadi katakan, bagaimana bisa monster ini mengejar kalian?" Melihat dari cara mereka yang terus berlari hingga ke hutan dan baru memanjat pohon setelah melihat kelompok Iyan memanjat, dapat ditebak bahwa dua penyintas ini masih baru. Dua penyintas itu saling meliarik lalu menunduk. “Seseorang memberitahu kami bahwa daging monster bison bisa dimakan, jadi saat kami melintasi lembah dan melihat seekor bison muda, kami berencana untuk menangkapnya. Tapi tidak menyangka bahwa induknya akan datang.” Kelima anggota tim Yeona menatap kedua pria itu dengan aneh, bahkan mereka yang juga masih penyintas barupun tahu, jika melihat binatang muda di habitat mereka, sudah pasti di sekitar situ ada induknya. Hal ini sudah membuktikan bahwa mereka memang penyintas baru yang tidak tahu apa-apa namun dengan berani, atau lebih tepatnya bodoh keluar dari dinding tanpa riset dan pemandu senior. Iyan menghela napas dan memilih untuk mengabaikan mereka, berjalan mendekati mayat bison yang masih tergeletak dan menarik semua anak panah milik Yeona yang menempel di tubuhnya, satu yang dicabut dari dahi bison itu membawa sebuah kristal berwarna abu-abu di ujungnya. “Apa itu?” Pria berkacamata di tim mereka bernama Nathan, bertanya mewakili rasa penasaran semua orang. “Ini adalah inti kristal, orang di dalam dinding menyebutnya kristal nukleus. Sebuah inti baru yang tercipta setelah tubuh bermutasi akibat virus yang pecah dua ratus tahun yang lalu.” Iyan membilas nukleus itu dari sisa darah dan memeperlihatkannya di bawah sinar matahari. “Benda ini terlihat begitu kecil dan cantik, namun sebenarnya adalah sumber energi dari semua makhluk hidup yang berhasil bermutasi, termasuk manusia yang menjadi Spem dan Mutan.” Yeona membelalak. “Tapi bukankan nukleus itu juga seperti kelemahan? Dan aku tidak pernah melihat kristal di tubuh Ben maupun Cathy.” Iyan tersenyum. “Nukleus binatang ini bisa terlihat karena dia adalah monster tingkat rendah, jika kau bertemua monster tinggak menengah ke atas, bahkan jika kau mencari dengan memeriksa seluruh tubuhnya, kau tidak akan menemukannya, begitupun dengan Spem dan Mutan.” “Maksudmu, monster tingkat tinggi bisa menyembuntikan kristal nukleus mereka?” Iyan mengangguk dan menghampiri Yeona, kemudian meberikan kristal nukleus itu padanya. “Ini hasil buruanmu. Selamat, kau sudah mendapatkan kristal nukleus pertamamu.” Yeona memandang cahaya yang terpantul dari nukleus itu dengan takjub. “Cantik.” “Itu hanya kristal nukleus monster tingkat rendah.” Yeona menatap Iyan penuh tanya. “Apakah tampilan kristal nukleus berbeda sesuai tingkatan pemiliknya?” “Ya, semakin tinggi tingkat kekuatan pemiliknya, maka semakin jernih kristal nukleusnya, selain itu untuk monster, Spem ataupun Mutan yang berhasil membangkitkan kekuatan, kristal nukleus mereka akan berwarna sesuai dengan kekuatan mereka, misalnya merah untuk kekuatan api.” Yeona seolah merasa pengetahuan diperluas lagi, karena selama ini informasi tentang empat tipe manusia dan monster sangat terbatas. Saat pulang dari misi, Yeona berencana mengunjungi perpustakaan kota, sepertinya distrik seratus satu tidak membatasi pengetahuan penduduknya tentang dunia di luar dinding. Di dalam tim mereka ada seorang remaja yang tingginya tidak berbeda jauh dari Yeona, jika tak salah dia bernama Piere, pemuda aktif yang memegang pedang seperti Iyan. Pemuda itu mendekati Yeona dan mengeluarkan kotak P3K. “Kita harus mengobati lukamu,” ujarnya. Saat diingatkan, barulah Yeoan sadar bahwa dahinya memang sedang terluka, untungnya hanya berupa goresan ringan. Mereka masih belum saling mengenal dengan baik, terlebih ketika semua anggota tim sudah tahu tentang trauma Yeona, jadi saat Piere mengobati gadis itu, tangannya terus bergetar karena takut menyentuhnya. Yeona merasa tersentuh dengan sikap respect mereka dan tersenyum tipis. “Sentuh saja, tidak apa-apa.” Dia bersuara dengan pelan. “Aku ingin menyembuhkan traumaku, jadi aku akan sangat berterima kasih jika kalian mau bekerja sama” Setelah mendapatkan persetujuan seperti itu, Piere akhirnya menghela napas lega dan merawat luka Yeona lebih leluasa. "Ini pertama kalinya aku melihatmu tersenyum dan itu terlihat sangat cantik," bisiknya, wajah mudanya bahkan tidak bisa menyembunyikan semburat merah yang muncul di pipinya. Senyuman? Yeona bahkan tidak sadar bahwa dia tersenyum, tapi masih melontarkan ucapan terima kasih untuk pujian yang remaja itu ucapkan. Di sisi lain, Ralph, Pria yang membawa tongkat ganda melirik dua pendatang baru yang membawa masalah pada mereka. “Apa yang akan kita lakukan dengan mereka?” tanyanya pada Iyan. “Abaikan saja, dia bukan urusan kita,” jawab Iyan. Keputusannya bukan karena dia tidak punya rasa simpati atau kasian. Tapi membawa dua orang asing, terlebih yang tidak tahu apa-apa hanya akan menambah beban timnya yang juga mayoritas penyinta baru. Sedangkan beban di dalam misi seperti ini bisa membahayakan nyawa. Iyan lebih memilih bersikap kejam kepada orang lain dibandingkan membahayakan nyawa anggota timnya. Saat mendengar itu, dua pria yang dibahas langsung panik dan memohon-mohon untuk diikutkan dalam tim mereka, namun meski Iyan selalu terlihat ramah di guild, saat dalam misi, Yeona bisa melihat bahwa dia selalu serius. Saat dua pria itu bergerak mendekati Iyan dengan wajah penuh permohonan, Homi, anggota tim Iyan yang paling pendiam merentangkan sabit panjangnya ke salah satu leher pria itu. “Jika ingin leher kalian putus, mendekat saja.” Dia menyeringai lebar dengan tatapan yang sangat tajam, jelas tidak main-main. Yeona memang sempat mendengar bahwa Homi ini pembunuh bayaran. Setelah diancam, kedua pria itu akhirnya dengan sangat terpaksa meninggalkan mereka. “Mereka tidak akan mudah menyerah.” Iyan melirik melalui ekor matanya. “Jika melihatnya mengikuti kita secara diam-diam, bunuh saja.” Homi, Piere, Nathan dan Ralph mengangguk dengan cepat, namun Yeona perlu ditatap penuh tanya dulu baru menyanggupi. “Jangan merasa kasihan apalagi tidak tega. Jika tidak, kau hanya akan menempatkan dirimu dalam bahaya.” Yeona menunduk. “Aku mengerti.” Yeona mungkin sudah membunuh tiga orang sekaligus, namun saat itu dia terdorong oleh perasaan dendam yang sangat dalam, jadi saat ini dia belum bisa benar-benar beradaptasi dengan cara berpikir para narapidan yang menganggap nyawa manusia itu sangat mudah untuk dihilangkan. Setelah Piere selesai merawat luka Yeona, mereka kembali ke tempat semula untuk memetik ginseng secukupnya sebelum naik mobil lagi dan menuju ke tempat tanaman herbal selanjutnya biasa tumbuh. Jika saat memetik ginseng mereka menelusurui hutan yang lebat, kali ini Iyan membawa mereka ke sebuah pemukinam warga yang sepertinya dulu mayoritas penduduknya seorang petani. Untungnya, setelah insiden serangan bison hari itu, tim mereka tidak medapatkan serangan dari monster lagi. Satu-satunya masalah kecil adalah dua pria sebelumnya. Seperti perkiraan Iyan, keduanya benar-benar membuntuti mobil mereka dan bahkan sempat mencuri dua buah roti sebelum ditemukan oleh Ralph. Saat tahu, Iyan mengeksekusi mereka tanpa memberikan keduanya kesempatan untuk bersuara. Beberapa hari kemudian, mereka akhirnya hampir menemukan semua tanaman herbal yang ditugaskan dan sedang mencari tanaman terakhir, yang ternyata jauh lebih sulit ditemukan karena hidup tersebar. Hingga malam menjelang, mereka hanya menemukan beberapa yang jumlahnya masih jauh dari kata cukup. Jadi, malam itu untuk pertama kalinya tim mereka tidur di alam liar, karena biasanya Iyan selalu bisa menemukan reruntuhan untuk tepat beristirahat. Seperti biasa, dua orang bergiliran menjaga dua atau tiga jam selagi yang lain tidur. Dan malam itu Yeona memilih untuk tidur terlebih dahulu karena lelah. Sedangkan yang menjaga pertama adalah Piere dan Nathan. Namun, di tengah malam dia terbangun oleh suara panggilan Iyan yang keras. “Yeona, bangun!" Awalnya, Yeona berpikir sudah gilirannya untuk bangun berjaga, tapi begitu merasakan tanah bergetar dan bau amis darah yang kental, Yeona membungka mata dan bangkit dengan penuh kewaspadaan. Lalu tiba-tiba saja cairan memercik ke wajahnya. Dan karena lampu di tengah-tengah mereka terlempar jauh, pandangan Yeona sangat terbatas. Namun, sosok besar dihadapan Iyan masih terlihat. Menggoyang-goyangnkan mulutnya dengan suara kunyahan yang basah, lalu Yeona melihat sesuatu jatuh menggelinding, kebetulan sekali membentur lampu yang tergeletak di sisi pohon besar. Saat Yeona melihat itu, matanya langsung membelalak dengan sangat lebar, karena benda yang menggelinding itu adalah kepala dari remaja yang beberapa hari yang lalu mengobati luka-luka Yeona. Piere! Sedangkan di bawah kaki monster itu, ada Nathan yang sudah tidak berdaya lagi. Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD