Yeona baru terbangun saat cahaya matahari menyengat wajahnya, dan serigala itu masih berbaring di depannya, bahkan entah sejak kapan bergeser jadi lebih dekat. Tapi berkat itu, Yeona tidak merasa kedinginan semalaman.
Di bawah sinar matahari, Yeona akhirnya bisa melihat luka-luka yang diderita serigala itu, mulai dari kaki, punggung dan moncongnya. Padahal serigala itu langsung menyembuhkannya setelah bertarung, lalu mengapa tidak menyembuhkan diri juga?
Yeona meraba tali pinggangnya dan menghela napas lega ketika tas kecil yang dia gantung di sana tidak jatuh. Dari sana, dia mengeluarkan wadah kecil yang bulat, saat dibuka terlihat krim transparan yang agak padat.
Yeona menutupnya kembali dan mencoba untuk bangkit, tapi gerakannya justru membangunkan serigala itu.
Meskipun sudah diselamatkan, tidak mungkin Yeona tidak merasa takut di depan hewan buas yang jauh lebih besar darinya.
Tapi, serigala itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menyerang, justru meletakkan satu kaki depannya di lutut Yeona seolah mencegahnya kemana-mana.
"Aku hanya ingin mengambil air," kata Yeona, sembari mengarahkan telunjuknya ke sungai kecil yang terletak tak jauh dari sana.
Telinga serigala itu bergerak-gerak, lalu akhirnya menarik ekor dan kakinya dari Yeona. Tapi saat Yeona berdiri, dia juga ikut berdiri.
"Jangan bergerak dulu, kau masih terluka."
Serigala itu menggeram dan tak patuh, masih mengikutinya meskipun tertatih-tatih.
Sesampainya di tepi sungai, Yeona mencuci tangan dan menangkup air di kedua tangannya dan minum, sedangkan si serigala hanya duduk mematainya dari samping.
Yeona meliriknya, mengambil air lagi dan mengarahkannya ke serigala itu. Tapi si serigala hanya menatapnya, lalu berjalan melewatinya begitu saja dan minum langsung di sungai.
Benar. Jika ingin minum, si serigala bisa langsung minum saja di sungai, tidak perlu disediakan menggunakan tangan.
Yeona tiba-tiba merasa sangat bodoh.
Saat Serigala itu masih minum, Yeona sibuk memukuli kepalanya, tapi begitu dia menoleh lagi, dia melihat kalau si serigala sudah melihatnya tanpa berkedip dan tiba-tiba memberikan sensasi dejavu.
"Lukamu harus diobati." Yeona tertawa canggung selagi mengeluarkan sapu tangan bersih dari sakunya dan membilasnya dengan air sungai. "Kemari," panggilnya.
Yeona pun sadar bahwa sikapnya yang terus mengajak seekor binatang bicara sangat aneh, tapi Yeona selalu merasa kalau serigala ini mengerti ucapannya. Lihatlah, saat dipanggil tanpa gesture lambaian tangan pun, dia masih mendekat.
Yeona terlebih dahulu membersihkan semua luka serigala itu sebelum mengoleskan krim yang dia bawa.
Setelah melihat semua sikap patuh dan diamnya, Yeona perlahan-lahan meletakkan kewaspadaannya dan sepenuhnya tidak menganggap serigala itu ancaman.
Tapi, setelah lukanya selesai dirawat, beberapa saat kemudian si serigala berdiri dan berlari ke dalam hutan.
Bahkan jika Yeona masih ingin ditemani, dia tidak mungkin bisa menahan serigala itu jika ingin pergi, bagaimanapun, dia masihlah binatang buas.
Yeona kemudian menatap ke atas tebing, tempat dia terjatuh semalam dan tiba-tiba ingat dengan rekan satu timnya.
Piere dan Nathan sudah pasti mati, sedangkan Homi yang tidak Yeona lihat semalam masih tanda tanya. Sekarang, dia hanya berharap agar Iyan dan Ralph baik-baik saja. Kedua pria itu adalah Average yang kuat, seharusnya tidak akan mati hanya karena terkena kibasan beruang.
Semuanya seperti mimpi, padahal kemarin Piere terlihat masih bercanda bersama Nathan, merencanakan minum-minum alkohol di restoran saat pulang, tapi sekarang semuanya berakhir.
Yeona menoleh ketika mendengar suara geraman dan melihat si serigala yang tadinya pergi, kini kembali dengan membawa beberapa buah untuk Yeona.
"Untukku?"
Serigala itu menggeram dan mendorong semua buah itu ke hadapan Yeona.
"Terima kasih." Yeona mengulurkan tangan dan menyentuh kepala serigala itu. "Bolehkah aku memberimu nama?"
Yeona hanya merasa sangat sayang jika serigala sepintar ini tidak diberikan nama. Terlebih, jika boleh, Yeona mulai berharap bisa membawanya pulang ke distrik. Setidaknya dia tidak akan kesepian lagi di rumah sendirian.
Serigala itu menggeram dan menggerakkan kepalanya untuk mengendus pergelangan tangan Yeona. Sikap yang terlihat cukup intim, jadi Yeona menganggapnya sebagai persetujuan.
Yeona mulai berpikir. "Bagaimana kalau Moon?"
Serigala itu berhenti bergerak, menatapnya sejenak kemudian mulai mengabaikannya. Lebih memilih untuk duduk dan mengistirahatkan kepala di kedua kakinya sembari memejamkan mata.
Yeona tertawa. "Kau tidak suka? Baiklah kita ganti, Star? Sun? Cloud?"
Yeona tidak mendapatkan reaksi, namun telinga serigala itu yang berdiri membuktikan bahwa dia masih mendengarkannya bicara.
Selesai sarapan, Yeona mulai mencari jalan untuk naik ke tebing. Tapi tebing itu sangat tinggi dan curam. Tanpa peralatan, Yeona tidak mungkin bisa naik.
"Onix, apakah ada jalan pintas untuk naik?"
Onix adalah nama yang mendapatkan respon paling baik dari si serigala setelah Yeona menyebut banyak nama, namun dilihat dari gerakan ekornya yang malas-malasan, serigala itu seharusnya tidak begitu suka dan hanya setuju karena lelah mendengar semua nama yang Yeona rekomendasikan.
Onix merespon pertanyaan Yeona hanya dengan lirikan sebelum memejamkan mata lagi.
Jawabannya tidak.
"Bagaimana dengan jalanan memutar?" tanya Yeona lagi.
Onix membuka mata lagi dan menoleh ke arah timur.
Yeona menghela napas. "Baiklah, bisakah kau tunjukkan jalannya?"
Onix berdiri, menghampiri Yeona dan membungkuk di depannya. Yeona tidak mengerti dan menatapnya dengan bingung.
Onix menggeram, mendorong Yeona dengan moncongnya, kemudian menangkap tubuh gadis itu dengan punggungnya.
Barulah Yeona mengerti.
Onix ingin Yeona naik ke punggungnya.
Setelah virus pecah, semua binatang ternak dan tumbuhan juga terjangkit virus, sehingga beberapa tahun pertama The Disaster Era, manusia hanya berani makan makanan instan. Perlu puluhan tahun hingga ilmuwan bisa menemukan cara agar tanaman ternak dan tumbuhan bisa dikonsumsi tanpa mengakibatkan manusia menjadi zombie.
Jadi Yeona sebenarnya pernah menunggangi kuda, tapi tidak pernah menunggangi serigala. Jadi dia sama sekali tidak tahu harus meletakkan kaki dan tangannya di mana. Tapi, setelah Onix mempercepat larinya, Yeona secara refleks memeluk leher serigala itu dan menjepit perutnya dengan kaki agar tidak jatuh.
Jalan memutar yang Onix tempuh cukup jauh, karena tebing tempat Yeona jatuh ternyata sangat luas, sehingga menjelang malam hari, barulah Yeona tiba di tempatnya semalam diserang beruang.
Bekas pertarungan dan darah masih ada, namun Yeona tidak melihat siapapun di sana, bahkan kepala Piere yang dia lihat semalam sudah tidak ada lagi.
"Apakah mereka sudah pergi?"
Wajar sih, jika melihat kondisi Yeona yang menjadi objek amukan si beruang, pasti tidak ada yang akan menyangka dia masih hidup. Terlebih, tetap tinggal di tempat yang pernah terjadi keributan sangat beresiko mendapatkan serang dari binatang lain.
Iyan dan Ralph tidak mungkin tetap di tempat hanya untuk menunggunya.
Yeona menyandarkan diri ke tubuh Onix dan berbisik. "Apa yang harus aku lakukan?"
Ya, dia sekarang sendirian dan tidak tahu jalan pulang.
Onix mengangkat moncongnya dan mencium udara sekitar sebelum membungkuk lagi dihadapan Yeona.
"Mau ke mana?" Yeona bertanya, tapi sebenarnya tidak benar-benar mengharap jawaban, karena setelah itu dia langsung naik dan membiarkan Onix membawanya kemanapun.
Saat matahari benar-benar tenggelam, Onix membawanya ke dalam goa yang gelap gulita. Untungnya, Yeona masih membawa korek api dan bisa menyalakan api kecil di sana.
Malam itu, sekali lagi Yeona menghabiskan malam bersama seekor serigala, tapi kali ini dia berbaring langsung di atas tubuh binatang buas itu tanpa takut dan meraup kehangatan yang ditawarkan oleh tubuhnya yang besar.
Bersambung ...