Setelah pulang dari taman hiburan. Anggara mengantar Nayla untuk pergi ke rumah sakit. Dia memang sengaja ingin ke rumah sakit untuk menemani ibunya yang masih terbaring belum sadarkan diri di rumah sakit.
Diperjalanan mereka saling tersenyum bercanda seakan rasa dendam dan benci hilang sesaat dalam diri mereka. Diganti dengan rasa nyaman yang membuat mereka semakin dekat.
"Masuklah," ucap Anggara, tersenyum tipis memegang helm miliknya. Dua masih duduk santai di atas motor. kedua tangan di atas helm miliknya. Kedua mata menatap wajah Nayla yang terlihat sangat lelah.
"Makasih!" ucap lirih Nayla.
"Apa? Kamu tadi bilang apa?" tanya Anggara pura-pura tidak mendengarnya.
"Makasih!" ucap Nayla lagi sedikit mengeraskan suaranya.
"Aku masih tidak dengar!" goda Anggara.
Nayla menghela napasnya. Mencoba untuk tetap tenang menghadapi Anggara. "TERIMA KASIH!" ucapnya keras. Disambut dengan tawa kecil dari Anggara.
"Mimpi apa kamu me ucapkan kata terima kasih padaku?" Anggara menarik salah satu alisnya. Dengan badan sedikit menunduk ke depan.
"Kalau tidak mau ya, sudah!" geram Nayla.
"Udah, masuklah! Aku mau pulang dulu. Kamu jangan lupa jaga kesehatan juga."
"Jangan sok peduli. Lagian kamu bukan suamiku yang bisa atur-atur kehidupan ku."
Anggara terdiam seketika. Menelan ludahnya susah payah. Ucapan Nayla seketika menusuk sampai ke jantungnya. Sakit tetapi tidak berbekas.
"Sudah pulang sana" pinta Nayla jutek.
"Memang aku mau pulang!"
"Hati-hati," Nayla tersenyum tipis. Melihat senyum manis Nayla membuat Anggara teringat sesuatu janji di taman hiburan tadi.
"Kamu lupa?" tanya Anggara mencoba mengingatkan.
Nayla mengerutkan keningnya bingung.
"Lupa apa?"
"Soal tadi,"
"Apa?"
"Janji kita?"
Nayla memutar bola matanya, mencoba mengingat janji apa yang dikatakan dia tadi.
"Oo..." gaya Nayla sok ingat.
"Apa? Kamu ingat, kan?" Anggara sontak antusias.
Nayla hanya nyengir, menggelengkan kepalanya. "Gak ingat," ucapnya tanpa rasa bersalah.
Anggara menghela napas berat. "Ya, sudah. Tapi kamu punya janji, aku akan tagih janji itu kapanpun kamu siap," kata Anggara, yang mulai memakai helm full face miliknya lagi.
"Memangnya tadi kita janji apa?" tanya Nayla penasaran.
"Pikir saja! Jika kamu lupa, besok aku akan memberitahumu." ucap Anggara.
"Muach!" Anggara memberikan kiss bye pada Nayla.
Nayla memutar matanya malas, dan segera beranjak masuk ke dalam rumah sakit. Dia berjalan dengan wajah berseri-seri penuh dengan kebahagiaan. Entah kenapa hari ini dia merasa sangat senang.
Disetiap langkah, Nayla terus mengingat Anggara. Hari ini adalah hari membahagiakan baginya. Meski dalam hati dia masih merasa bingung dan pusing memikirkan ibunya. Bingung gimana cara bayar rumah sakit. Dan, takut dengan keadaan ibunya.
Nayla yang sedari tadi dia terus melihat ke bawah. Langkah Nayla terhenti di saat dia melihat seseorang dengan setelan jas hitam, dengan pakaian yang begitu rapi. Dan seorang laki-laki lagi berdiri di samping ranjang ibunya. Nayla yang semula mau masuk, dia mengurungkan niatnya untuk masuk. Dengan langkah ringan wanita bersembunyi di balik tembok, memasang pendengaran tajamnya, untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
Berbagai pertanyaan muncul di kepala Nayla tentang laki-laki seumuran ibunya itu
Ternyata ibu sudah sadar? Dan siapa laki-laki itu? Apa mereka teman ibu? Tetapi, ibu tidak pernah cerita jika punya teman orang kaya.
"Gimana keadaan kamu?" tanya laki-laki itu.
"Aku baik-baik, saja. Sekarang kepalaku masih pusing." ucap ibu Nayla memegangi kepalanya yang masih terasa sakit. "Aku boleh bicara padamu,"
"Bicara saja," laki-laki itu memegang tangan ibu Nayla, membuat Nayla yang melihat dari kejauhan merasa bingung. Siapa sebenarnya laki-laki itu.
"Jagalah Nayla, aku harap jika aku tidak ada nanti. Kamu mau menjaga dia. Aku titipkan Nayla padamu," Ibu Nayla tidak terasa meneteskan air matanya, dengan tangan kiri menggenggam erat tangan laki-laki di depannya.
"Baiklah, aku janji padamu. Tapi jangan bicara lain-lain. Aku yakin kamu juga pasti bisa sembuh. Dan aku akan bantu kamu mencari obat yang terbaik, agar kamu bisa sembuh."
"Tidak usah, karena aku merasa tidak mungkin bisa sembuh." ibu Nayla mencoba tersenyum.
"Tapi...."
"Sudahlah, aku mohon padamu. Dan jangan bicarakan ini pada Nayla, aku takut dia nanti akan terluka."
"Iya, aku janji padamu."
"Ada satu hal yang ingin aku katakan lagi, padamu." ibu Nayla memegang tangan laki-laki itu sembari memohon.
"Aku takut saat aku tidak ada nanti. Nayla tidak punya siapa-siapa lagi. Aku ingin melihat dia bahagia, aku harap kamu mau menjaga anakku." ucap Andini.
Laki-laki itu menarik napasnya dalam-dalam. Dia terlihat sangat gugup. Dan, berat mengungkapkan satu hal.
"Baiklah! Kamu tenang saja. Aku akan menjaga dia." ucap laki-laki itu, meski terasa sangat berat jika benar akan kehilangan dirinya.
"Jagalah dia, semoga dia atau nikahkan dia dengan anak kamu. Setelah aku tidak ada, aku ingin dia bahagia." Mandiri menundukkan kepalanya. Perlahan jemari tangannya mulai melepaskan tangan Anggara.
"Dan maafkan kesalahan ku dulu."
"Aku sudah melupakan itu semua, dan tidak masalah bagiku. Meski dulu aku sempat kecewa dan sakit hati kamu tiba-tiba pergi meninggalkan ku." ucap laki-laki asing itu.
Mereka mulai mengenang masa lalu. Meski Nayla mendengarnya. tetapi, tetap saja tidak paham dengan masa lalu mereka.
Nayla yang berdiri di balik tembok pintu masuk ruang rawat ibunya. Dia terdiam kaku, antara bingung dengan apa yang harus dia katakan. Ingin rasanya menangis. Tetapi air mata seakan tak mau keluar dari kerangkanya.
Kenapa ibu bilang hidupnya tidak lama? Apa maksudnya?
Nayla mencoba menahan kesedihannya. Dia menguatkan dirinya lagi untuk mendengarkan pembicaraan mereka lagi.
---
"Makasih," ucap Andini.
"Tapi ada hal yang ingin aku bilang juga," kata laki-laki itu.
"Apa?"
"Aku ingin kamu dan Nayla bisa tinggal di rumahku. Dan semoga saja dia dan anak aku bisa dekat,"
"Aku akan bilang pada Nayla, jika dia mau aku akan beritahu kamu." jawab Andini.
Nayla yang sudah tidak mau lagi bersembunyi. Dia segera menyiapkan dirinya untuk berjalan masuk menghampiri ibunya.
"Ibu," ucal Nayla, memotong pembicaraan mereka, kemudian melangkahkan kakinya berjalan masuk ke ruangan ibunya.
Semua menoleh ke arah Nayla.
"Sepertinya aku harus pergi dulu," ucap laki-laki itu mencoba menghindar. "Anak kamu sudah pulang!" lanjutnya.
"Baiklah," kata Andini.
"Apa anda tidak mau saya antar?" tanya Nayla ramah.
Balas laki-laki itu tersenyum ramah.
"Tidak usah, Saya sama asisten saya."
"Makasih sudah jaga ibu saya tadi. Sekarang saya akan antar anda sampai depan rumah sakit." Nayla mencoba berbuat ramah.
"Tidak usah! Kamu jaga ibu kamu." ucap laki-laki itu, mengusap lembut ujung kepala Nayla. Hati Nayla mulai tersentuh.
"Kenapa?"
"Sudah tidak usah,"
"Baiklah! Hati-hati," kata Nayla, sedikit menunduk memberi hormat padanya.
"Gadis yang manis," ucapnya.
#Back Anggara.
Anggara yang baru sampai di rumah, dia berjalan dengan senyum manis terukir di bibirnya. Membuat pembantunya merasa sangat aneh padanya. Dia mengerutkan keningnya, berjalan mendekati majikannya mencoba memastikan apa yang terjadi.
"Maaf, tuan. Apa lagi ada masalah?" tanyanya ragu-ragu.
Anggara mengerutkan keningnya. "Gimana kamu bisa bilang kalau aku ada masalah?" tanya Anggara heran. "Bukanya kamu tahu kalau aku tersenyum. Ini pertanda kalau aku sedang bahagia,"
Anggara terus tersenyum, entah kesambet setan apa, dia tidak berhenti untuk tersenyum.
"Apa anda benar-benar tersenyum?" tanya pembantunya tak percaya.
"Iya," Anggara melangkahkan kakinya menaiki anak tangga. Dan dia terpeleset tepat di saat salah satu kakinya mau merangkak naik.
"Aw---"
"Eh.. tuan, jangan terlalu bahagia," ucap Bi Ijah.
"Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?" tanya Anggara.
"Karena tidak ada hal yang patut di banggakan." suara lembut seorang perempuan, membuat Anggara terdiam. Mendongakkan kepalanya ke depan.
"Kenapa kamu di sini?" tanya Anggara. Dan Bi Tuti seketika langsung pergi meninggalkannya.
"Aku kesini mau bertemu denganmu." ucap Sella, berjalan mendekati Anggara.
"Untuk apa. Aku tidak mau melihatmu." tegas Anggara. "Lebih baik pergilah! Ini sudah malam." lanjutnya.
"Aku ingin melihat senyummu," ucap Sella. "Siapa yang bisa membuat kamu tersenyum bahagia seperti ini selain kamu." ucap Sella tanpa rasa canggung.
Anggara menyertakan rahangnya. Bukanya Senang dengan gombalan Sella. Anggara merasa semakin kesal dengannya.
Wajah yang semula penuh dengan kebahagiaan, perlahan senyuman itu hilang. Wajahnya kini terlihat sangat dingin menatap wajah Sella tanpa rasa malu itu.
"Sella. Pergilah! Kamu itu teman aku, jadi tolong jangan rusak pertemanan kita dengan cinta kamu yang tidak penting itu."Anggara beranjak berdiri, ia mulai merasa risih dengan kehadiran Sella yang tiba-tiba tanpa permisi lebih dulu.
"Kamu mau kemana?" Sella mencoba mencegahnya.
"Jangan ikuti aku, jika kamu masih ikuti aku. Jangan anggap aku teman lagi." tegasnya.
"Ke kamar,"
Sella berlari, memeluk tubuh Anggara dari belakang, dia merekatkan pelukannya di pinggangnya. Mencegah dia pergi jauh darinya.
"Jangan pergi," ucap Sella memohon. "Kau tidak peduli kamu menghalangi aku dimanapun. Tapi, aku tetap saja tidak bisa membohongi perasaanku."
"Apa katamu?" Anggara mencoba melepaskan tangan Sella dari pinggangnya.
"Aku ingin seperti ini. Aku ingin selalu ada disampingmu." ucap Sella mempererat pelukannya.
Anggara menghela napas beratnya. "Pergi atau tidak! Ini sudah malam Sella. Jagalah harga diri kamu. Jangan buang-bilang harga diri kamu hanya untuk membuat seorang laki-laki suka denganmu. Ini malam, tidak baik wanita datang ke rumah laki-laki malam-malam seperti ini." ucap Anggara sok bijak.
"Aku tidak mau pergi, aku mohon! Aku ingin bicara dengan kamu, hanya satu kali saja. Aku menginap disini."
Merasa tidak bisa lagi menahan amarahnya. Anggara menghembuskan napasnya kesal. Anggara menarik kasar tangan Sella. Dia memutar tubuhnya cepat, memegang kedua lengannya. "Apa yang kamu inginkan?" tanya Anggara.
"Aku ingin bersama denganmu, apapun yang terjadi jangan putuskan persahabatan kita. Aku ingin terus bersamamu,"
"Tergantung," jawab jutek Anggara memalingkan pandangannya berlawanan arah.
Sella mengernyitkan wajahnya. "Apa yang kamu bilang? Kenapa kamu bisa seperti itu?" tanya Sella.
"Tergantung, sifat kamu nantinya. Atau tergantung perasaanku nanti,"
"Oke.. Aku tahu sekarang. Kamu pasti mulai suka dengan wanita yang baru tertarik padamu kemarin kan? Aku tahu jika kamu mulai suka."
"Bukan urusan kamu," ucap Anggara. "Sekarang kamu cepat pergi," Anggara meninggikan suaranya. Rasa capek yang membuat Anggara tidak bisa lagi mengontrol emosinya.
"Oke. Aku akan pergi," ke dua kata Sella merembak, menahan air mata yang sudah ingin sekali keluar. Dia berlari pergi meninggalkan Anggara, dengan air mata terus keluar.
"Dasar wanita tidak guna," umpat Anggara, melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamarnya, dia tidak perdulikan Sella yang kini menangis tersedu-sedu di buatnya.
Bagi laki-laki dingin seperti dia. Merasa tidak senang jika menyakiti wanita.