Viona menyilangkan kedua tangannya, langkahnya berhenti sampai di anak tangga yang terakhir.
Pemandangan ini tak pernah ia lewatkan selama kehidupan terakhirnya. Setelah menjalani kehidupan kedua kalinya, rasanya tidak mungkin kalau mereka akan jatuh cinta.
Perhatian Liliana pada Jaxon seperti seorang ibu kandung yang sangat menyayangi anaknya. Apa lagi Jaxon sangat dekat dengan Liliana dan setiap harinya Liliana akan membuatkan bekal dan mengatakan harus di makan siang, harus hati-hati dan segalanya dia perhatikan.
"Aku jadi kasihan kalau seandainya Liliana akan menangis dan kehidupan ini sama dengan kehidupan selanjutnya." Mungkin saat ini bagi Lilliana masih ada harapan, tapi ketika Beliana sudah datang Liliana pasti akan menangis. "Aku berharap kau bahagia Liliana, anggap saja aku masih berbaik hati pada mu agar dirimu tidak seperti ku."
Viona melihat ke bawah, tangan kanannya mengetuk dagunya seakan dia berpikir keras.
"Aku harus mengatakan pada pengawal belakang, dia kan pengawal papa Ardey."
Tanpa sadar kedua netra seorang pria menatapnya. Pria itu mengakui kecantikan Viona, tubuh mungil dan langsing, mengunakan dres berwarna maron selutut, membingkai tubuhnya itu. Wajahnya yang bersih dan halus dengan polesan make up sederhana, menambah kesan elegan dan kecantikan yang natural.
Dia memikirkan apa? Apa benar dia memikirkan Jaxon, tapi kenapa dia tidak kesini dan mengantarkan Jaxon batin Frank
"Ehem."
Tidak ada kesadaran pada Viona, dia masih mengetuk dagunya.
"Ehem."
"Vi.." Papa Ardeey memegang pelan pundak Viona. Sontak Viona menoleh dan tersenyum.
"Kamu kenapa melamun?" Tanya papa Ardey. "Apa perasaan mu tidak nyaman?" Imbuhnya lagi.
Viona menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia tidak berani menatap Daddy Ardey. Selama ini, dialah yang menyusahkan sang Daddy mertua. Ia merasa, Daddy Ardey selalu memberikan nasihat padanya dan Frank. Namun nasihatnya sama sekali tidak berfungsi untuk Frank.
Di kehidupan ini ia akan berbaik saja pada ayah mertuanya selagi ia belum pergi. "Aku baik saja Dad. Apa Daddy juga akan mengantarkan Jaxon?"
"Tidak, Daddy ingin bersantai di sini dulu." Daddy Ardey mengusap pucuk kepala Viona. "Apa kau ingin mengantarkan Jaxon?"
"Tidak Dad."
Daddy Ardey mengangguk, ia paham kalau menantunya dan putranya belum bisa menjadi pasangan suami istri seperti yang lainnya.
"Vi, tadi aku melihat betapa sayangnya Liliana pada Jaxon. Jaxon anak mu, sekarang kamu juga berhak memberikan perhatian. Apa lagi kamu adalah ibunya, jadi kamu juga berhak pada Jaxon."
Ingin sekali Viona mengatakan kalau dia ingin bercerai. Dia tidak ingin terjatuh ke dalam jurang lagi. Dia harus mempersiapkan masa depannya.
Maafkan aku Vi, aku harus mengikat mu dengan pernikahan putra ku. Karena aku yakin kamu akan menjadi ibu dan istri yang baik. Kamu orang yang sangat penyayang Vi. Semenjak aku bertemu dengan mu yang pertama kalinya. Keyakinan itu langsung muncul. Hanya waktu, waktu kebersamaan mu akan membuat mu mencintai putra ku dan cucu ku.
Jaxon menunduk dalam, sekali dia melirik Viona. Dia sangat takut pada mama tirinya itu.
Viona berjongkok, dia menatap kedua netra Jaxon. "Bolehkah mama ikut mengantar mu?" Tanya Viona. Setidaknya di kehidupan ini dia berbuat baik pada Jaxon sebelum dia bercerai.
Jaxon mengangkat wajahnya dengan mata terbuka lebar. Dia merasa pendengarannya sedang bermasalah.
Viona mengelus kepala Jaxon. "Bolehkah Mommy ikut dengan mu?"
"I-iya," ucap Jaxon. Kedua pipinya bersemu merah. Baru kali ini dia sedekat ini dengan Viona. Menatap dengan baik wajah sang ibu tiri. Ia akui, wajah mama tirinya sangat cantik melebihi kecantikan ibu kandungnya. Dia juga merasa Viona tidak terlalu buruk menjadi ibunya.
Dia langsung menyetujuinya karena merasakan kehangatan di setiap ucapan sang mama tiri tanpa ada ancaman.
"Cucu ku tersayang, kamu belajar dengan rajin ya," ucap Daddy Ardey sambil mengelus pucuk kepala Jaxon.
"Ya sudah, ayo berangkat! Nanti kamu telat Jaxon!"
Frank menengah, dia melirik Viona yang tersenyum. Jantungnya semakin berdebar-debar, kedua telinganya memanas. Dia pun melangkah pergi, meninggalkan Jaxon dan yang lainnya.
Sialan! Apa mau Viona? Dia berusaha mendekati tuan Frank
Viona membuang wajahnya keluar jendela. Kadang ia menggigit jarinya karena sedang memikirkan sesuatu. Sebelum pergi dia mengatakan pada pengawal belakang agar mengikutinya untuk mengawal Jaxon.
Hal itu jelas di larang keras oleh Frank, namun papa Ardey malah mengiyakannya. Papa Ardey justru mendukungnya. Viona membuktikan kalau dia memiliki sisi keibuan.
"Semua yang kau lakukan akan sia-sia. Kami ayah dan anak tidak akan berterima kasih." Frank merasa jengkel dengan Viona.
Viona merasa jengah, ia tidak memperdulikan laki-laki yang tengah berbicara di depannya itu.
Sedangkan Jaxon diam tak berkutik dan melirik Viona.
"Apa kamu pikir semuanya akan mengikuti mu?"
"Tidak! Kami tidak membutuhkan mu. Bagi kami sudah biasa hidup tanpa orang lain apa lagi orang asing."
Pura-pura tidak mendengar, namun sama saja telinganya mendengarkan perkataan Frank yang membuat gendang telinganya meledak.
"Aku tidak membutuhkan mu, tapi aku berusaha tidak merusak kepercayaan Daddy Ardey, terserah dirimu percaya atau tidak. Kita memang tidak saling membutuhkan." Tegas Viona. "Aku juga melakukannya bukan untuk mu, tapi untuk Jaxon. Setidaknya jika Beliana kembali dia akan berterima kasih pada ku."
"Apa Mommy akan meninggalkan ku?" Tanya Jaxon. Dia menatap nanar ke arah Viona. Dia di tinggalkan oleh ibunya, sekarang dia juga akan di tinggalkan lagi. "Apa Mommy sebegitu inginnya meninggalkan ku?"
"Iya," jawab Viona yang membuat Frank geram.
"Viona sebaiknya kau keluar kalau kau ingin membuat Jaxon menangis dan mulai saat ini kau tidak perlu ikut mengantarkan Jaxon."
"Sudah Dad, biarkan saja Mommy melakukannya." Jaxon menengah, ia pikir sang Mommy hanya ingin melakukannya saja. Namun ada rasa senang di hatinya, ibu tirinya kini perlahan melihatnya sekalipun ia harus mendengarkan ucapan yang menyakitkan.
Kalau sudah Jaxon yang berkata, Frank tidak akan berdalih lagi. Dia selalu menuruti apa perkataan Frank.
Drt
Drt
Frank mengangkat handphone yang berdering itu. Wajahnya langsung berubah geram, anak buahnya telah menghubunginya. Apa yang di katakan oleh Viona ternyata benar.
Dia meminta pada pria di seberang sana untuk melakukan pengawalan ketat. Kali ini bagi seorang Frank terkecoh, ia tidak menyangka bisa kecolongan.
Frank melirik Viona yang fokus ke arah luar jendela. Rasanya tidak mungkin seorang Frank berterima kasih, bisa-bisa menurunkan harga dirinya.
Mobil hitam itu berhenti di sebuah Taman Kanak-kanak. Viona langsung turun dan melihat keadaan sekitar. Ternyata sudah ada beberapa anak buah Frank yang menyebar. Sudah pasti kedua anak buah Derix itu di ringkus.
Jaxon menghampiri sang ayah, dia berpamitan sebelum memasuki gedung anak-anak itu.
Frank mencium pucuk kepala putranya, dia mencium kedua pipi gembulnya. "Ayah sangat menyayangi mu."
Jaxon mengangguk, dia beralih pada Viona. Keduanya saling memandang. Viona tersenyum, dia mencium pucuk kepala Jaxon. "Belajar yang rajin ya sayang."
Jaxon mengangguk, secepat kilat dia mencium pipi kanan Viona dan langsung berlari.
Viona tercengang, kemudian tersenyum. Di kehidupan lalunya, Jaxon memang anak yang penurut. Dia merogoh tasnya dan mengangkat handphonenya.
Viona mematikan handphonenya sesudah mengatakan keberadaannya. Dia melihat sebuah mobil berhenti dan Viona menyebrang jalan.
"Tunggu, kamu mau kemana?" Tanya Frank. Entah keberanian dari mana? Dia menanyakannya pada Viona.
"Aku mau keluar sebentar dengan teman ku."
"Biar aku yang mengantarkan mu," tawar Frank. Anggap saja sebagai balasan rasa terima kasihnya tadi.
"Tidak perlu, o iya ini terkahir kalinya aku mengantarkan Jaxon." ucap Viona dengan nada ketus. Viona kembali melanjutkan langkah kakinya. Dia menyapa teman wanitanya itu. Memasuki mobil putih itu dan tidak menoleh pada Frank.
Apa aku keterlaluan padanya? Apa yang di katakannya memang benar, aku belum mengucapkan terima kasih.
"Nanti aku tanyakan saja pada Liliana. Dia kan wanita, mungkin dia tahu kesukaan seorang wanita." Gumam Frank.
Dia memasuki mobilnya kembali dan tersenyum tipis.
Sedangkan Viona, hatinya merasa lega telah menolong Jaxon. Hanya tersisa sedikit waktu lagi dia akan berpisah dengan mereka.
"Gimana Fi? Kamu bahagia gak dengan pernikahan mu ini sudah tiga bulan?"
"Bagaimana dengan pacar mu? Dia pasti sedih, kemarin dia menghubungi ku, katanya kamu tidak mengangkat panggilannya." Sebagai seorang teman, ia tidak ingin melihat temannya sebaik Viona harus terjebak pada pernikahan yang tidak bahagia. Layaknya burung yang berada di dalam sangkar emas.
"Entahlah, yang jelas aku akan bercerai dengannya. Beliana pasti akan kembali. Aku percaya itu."
"Vi, kamu tidak bahagia kan? Kamu mengatakan pada ku tentang Frank yang bersikap dingin pada mu."
"Bagaimana kalau kamu berhubungan lagi dengan pacar mu? Lagi pula kan kamu hanya terpaksa, sama saja dengan Frank dia juga terpaksa."