Vania bangun lebih pagi dari biasanya. Ia pun tampak tergesa-gesa untuk bersiap ke suatu tempat. Bahkan, ia nyaris lupa menyisir rambutnya. Ketika Vania membuka pintu, ia dikagetkan oleh kedatangan seorang pria.
"Oh astaga! Paman!" geram Vania. Lelaki itu tersenyum kemudian menyerahkan sebuah kantung pada Vania.
"Ini susunya, mbak. Jangan lupa, lusa jatah bayar s**u bulanannya ya!" ujarnya sembari tersenyum. Vania menerima kantung berisi s**u itu kemudian menundukan kepala ramah.
"Wah.. iya. Makasih ya, Paman sudah mengingatkan dan setia mengantar s**u ke kos saya." Vania.
"Siap, mbak. Kan sudah tugas saya. Saya permisi, mbak, mari." pamit paman pengantar s**u itu.
Vania melirik arlojinya. Di satu sisi, perutnya terus meronta minta diisi, karena memang Vania belum sempat sarapan tadi. Tapi di sisi lain, waktu sudah menunjukkan pukul 07.18, padahal dia ada janji dengan seseorang pukul 07.30 tepat.
"Huh, bawa saja deh, daripada Helen keburu berangkat." gumamnya.
Vania berjalan cepat keluar dari gang sempit di area kosnya. Setelah itu, ia menyebrang jalan dan terus berjalan menyusuri keramaian Kota. Sepuluh menit kemudian, ia sampai di depan sebuah mini market. Seorang perempuan yang ia kenali tengah memperhatikannya dengan tatapan kesal. Vania pun segera menghampirinya.
"Astaga, Van, selalu saja telat. Aku bisa dimarahi bosku kalau sering-sering nelat buat nungguin kamu gini." kesal gadis berpakaian hitam-putih itu
"Ya maaf. Lagian, aku mau ke rumahmu tadi malam saja nggak boleh," Vania.
Gadis bername tag Helen Elena itu menghela napas panjang kemudian menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan pada Vania.
"Tambahin seratus deh, Len." desak Vania
"Nggak ada, Van. Ini kan akhir bulan, aku juga belum gajian." Helen.
"Yah.. mana cukup uang segini buat aku makan sampai gajian nanti." keluh Vania.
"Elah Van, hutangmu bulan lalu aja belum kamu bayar. Enam ratus ribu loh Van, darimana aku bisa punya uang lagi coba kalau uangku saja di kamu semua." Helen.
"Lagian, kamu ini dokter, aku cuma penjaga mini market, masak iya kamu minjem uang ke aku? Harusnya aku yang bisa minjem ke kamu." tambah Helen.
"Ya kan aku baru pegawai magang, gaji nggak seberapa, bayar kos mahal, listrik, air, terus..."
"Iya Van, iya. Udah itu terima saja dulu. Dicukup-cukupin deh! Aku mau kerja dulu." potong Helen sembari melangkah melewati sahabat yang ia kenal sejak SMA itu
"Yah, Len inikan..." Vania.
"Udah sana kamu juga mau kerjakan? Udah mau jam 8. Bye, Van".t eriak Helen yang kemudian masuk ke mini market tempatnya bekerja. Vania menghela napas kemudian menatap nanar dua lembar uang berwarna merah di tangannya.
"Hmmm...harus cukup! Pokoknya harus cukup, Van. Kamu harus lebih hemat lagi." gumamnya. Sadar akan waktu, Vania bergegas memasukan uang itu ke dalam tasnya kemudian berlari ke tempat kerjanya. Beberapa orang sampai heran dengan yang dilakukan gadis itu. Banyak orang yang memperhatikan, bahkan berbisik tentangnya. Tapi Vania tak peduli, karena yang terpenting baginya saat ini hanyalah sampai di rumah sakit secepatnya, sebelum Andrea menyadari keterlambatannya yang entah sudah keberapa kalinya.
"Huh...huh..." Vania mengatur kembali napasnya sembari membungkuk, kedua tangannya memegang lutut. Rambut panjang yang tadi sudah ia tata kini sudah tak berbentuk lagi. Kusut dan acak-acakan.
"Gila.. huh... untung cuma telat delapan menit." ujar Vania . Setelah cukup tenang, Vania menegakkan kembali tubuhnya, dan tatapannya langsung tertuju pada sosok bermata tajam itu. Andrea Wira Sakti.
"Mampus..." lirihnya.
Andrea tak bergeming dari tempatnya. Ia memperhatikan penampilan Vania dari atas hingga bawah, kemudian menggelengkan kepala. Sudah dapat dipastikan, melihat gadis itu di sekitarnya selalu bisa memainkan emosinya. Kali ini Andrea tidak mau kalah dari emosinya. Ia memilih pergi dan berpura-pura tidak menyadari keberadaan gadis yang tampak bodoh namun bergelar dokter itu.
Tak peduli dengan apapun, Vania menghela napas, ia lega bahwa keterlambatannya hari ini tidak mengundang masalah antara dirinya dan Andrea lagi.
"Untung cuma telat delapan menit, aman." Gumamnya. Baru saja Vania hendak melangkah, sebuah suara menahannya.
"Dokter Vania!" panggilan itu memaksa Vania untuk menoleh
"Astaga, Dok! Kenapa penampilan Anda seperti ini? Tadi di jalan ada badai ya?" tanya orang itu yang tak lain adalah Christy. Vania menggeleng cepat.
"Tidak. Aku hanya habis berlari untuk datang kemari." Vania.
"Dan kau tahu, Chris? Dokter Andrea tidak memarahiku hari ini," tambahnya.
Christy menggeleng keheranan. Merasa terlalu banyak keanehan dengan perempuan di hadapannya itu, Christy meneliti sekali lagi dari atas sampai bawah. Dan...
"Astaga, Dok! Kenapa Anda memakai sendal seperti itu?" kaget Christy. Vania mengikuti arah pandangan Christy yang melihat ke arah bawah. Vania melongo tak percaya melihat sepasang kaki yang ia yakini adalah miliknya mengenakan alas yang berbeda. Kaki kanannya menggunakan flat shoes resmi, sementara kaki kirinya beralaskan sendal spons bulu rumahan. Vania menoleh ke kanan dan kiri, dan ternyata penampilannya saat ini cukup menjadi perhatian orang-orang di sekirarnya.
"Dokter Vania kok hari ini dandanannya aneh?"
"Dok, lupa belum sisiran ya?"
"Eh, Dok sendalnya kok lucu gitu?"
"Dok, tadi buru-buru ya sampai kelihatan kacau gitu?"
Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa Vania balas dengan ringisan kecil. Ia sungguh malu sekarang. Vania merebut masker yang ada di tangan Christy kemudian memakainya. Setelah itu, ia berjalan cepat meninggalkan keramaian.
"Eh, Dok! Mau kemana? Ini sudah waktunya untuk visit loh." teriak Christy sembari mengikuti langkah Vania. Vania menghentikan langkahnya di kamar mandi. Christy pun ikut masuk.
"Kok gini sih? Duh Chris, gimana dong? Apa sebaiknya aku pulang dulu ya?" bingung Vania.
"Eh..jangan! Nanti Anda semakin telat. Kalau atasan pada tau nanti Anda kena masalah lagi." Christy.
"Lalu bagaimana?" Vania. Christy terdiam dengan pikirannya yang tengah bekerja. Sementara Vania berjalan kesana-kemari bolak-balik di toilet yang hanya dapat menambah beban pikiran Christy.
"Dok, Anda tenang dulu ya! Saya sedang berpikir ini." Christy.
"Loh, kan dari tadi aku diam," Vania.
"Nah..." ujar Christy sembari menyentikkan jarinya.
"Apa? Kamu ada ide?" tanya Vania penasaran.
"Pinjam sendal saja, Dok ke pegawai lain," Christy.
"Siapa?"
"Saya lihat, Dokter Andrea punya sendal karet yang bisa Anda gunakan. Ya..walau terkesan kurang sopan dan rapi, tapi setidaknya antara kanan dan kiri sama lah, Dok." Christy.
Vania melengos. Keputusannya untuk pulang sudah bulat pasca mendengar saran dari Christy yang tidak mungkin dapat ia lakukan. Meminjam barang milik Dokter Andrea? Sama saja ia membuang nyawanya secara percuma.
"Nggak, nggak. Maksud kamu aku harus pinjam ke Dokter Andrea? Yang ada gajiku dipotong lagi. Kamu tahu kan, dokter Andrea itu judes, pelit, matanya kalau ngomong sampai mau copot, yang ada ntar aku di giling hidup-hidup!" teriak Vania frustasi
'Tok..tok..tok'
Vania menghela napas. Ia ingat betul bahwa toilet yang ia masuki adalag toilet khusus pegawai wanita, tidak seperti minggu lalu ketika ia salah masuk ke toilet pria. Untung saja saat itu Dokter Fajar yang datang dan menegurnya. Jadi Vania hanya dapat teguran ringan.
'Tok..tok..tok'
"Dasar. Nggak sabaran banget sih. Pasti perawat jaga IGD." tebak Vania sembari mengusap wajahnya kasar. Tak ingin berlama-lama, Christy membuka pintu toilet itu tanpa seizin Vania.
"Se...selamat pagi, Dok!" sapa Christy gagap. Vania yang mendengar kegugupan Christy pun segera menoleh ke belakang dan.... Matanya melotot seketika.
"D...dok...dokter Andrea?" kagetnya.
'Oh astaga! Toilet ini kedap suara kan? Hmm..kalaupun tidak, ku harap dia sedang memiliki gangguan pendengaran.' batin Vania.
"Dok, telinga dokter sedang sehat atau bermasalah?" tanya Vania pada Andrea. Christy menepuk keningnya sendiri. Ia prihatin dengan kelakuan atasannya itu. Sementara Andrea, dia masih mempertahankan ekspresi datarnya. Ia benar-benar tidak tahu harus bicara apa dengan perempuan berstatus juniornya itu.
"Hehe...Dok, sepertinya telinga Anda benar-benar sedang bermasalah ya?" Vania.
"Oh iya, Dok kali ini saya benar loh. Ini toilet cewek kok, kok Anda kesini?" tambahnya sembari menunjuk sebuah sticker yang ada di pintu. Christy mengikuti arah pandangan Vania. Dan benar saja, mereka tak salah masuk toilet.
Andrea menyodorkan sesuatu ke arah Vania. Vania menyerit bingung.
"Pakai! Setidaknya ini tidak terlalu terlihat memalukan." ujar Andrea. Ragu, Vania menerima kantung berwarna coklat itu, kemudian melihat isinya.
"Oh my...." pekiknya kaget. Ternyata isi kantung itu adalah sebuah sendal karet yang baru saja dibicarakan Christy.
"Ada apa, Dok?" bisik Christy.
"Oh ya. Telinga saya sehat. Cukup sehat untuk mendengarkan teriakan orang di toilet yang sedang menghina atasannya. Terima kasih sudah memperhatikan kesehatan telinga saya." tambah dokter Andrea sebelum ia pergi.