Waktu menunjukkan pukul 15.50. Itu artinya, sepuluh menit lagi jam kerja Vania habis. Dokter muda itu baru saja tiba di depan sebuah ruang rawat khusus anak. Diintipnya dari jendela itu seorang gadis kecil yang tengah tertidur. Dia hanya sendiri. Dan di saat itulah hati Vania kembali merasakan perih.
'Aku yang punya orang-orang yang mencintaiku, malah berusaha menjauhi mereka. Tapi dia, bahkan di saat dia sakit dan membutuhkan keluarganya, tak ada seorangpun yang peduli padanya,' batin Vania.
"Kenapa tidak masuk?" Pertanyaan itu membuat Vania tergagap dan segera mengalihkan pandangannya. Andrea. Senior galaknya itu kini tengah menatapnya dengan datar.
"Eng- enggak, Dok. Saya tidak berniat masuk kok. Saya cuma mau lewat," elak Vania.
Dia menoleh ke kanan dan kiri seolah mencari seseorang yang bisa membawanya kabur dari hadapan dokter menyebalkan bernama Andrea itu. Pokoknya, apapun yang ia lakukan selalu salah di mata Andrea. Jadi lebih baik ia sadar diri untuk menjaga jarak dengan seniornya itu.
"Masuk dan periksa dia! Jam kerjamu masih tujuh menit lagi, dan saya rasa itu cukup," titah Andrea.
"Tapi- tapi, Dok-"
"Itu pekerjaan kamu, bukan?" potong Andrea.
"Saya akan menunggu di sini untuk mendengar hasil pemeriksaanmu terhadap Linzy," tambahnya.
Vania menghela napas. Ia tak dapat mengelak. Segera, ia langkahkan kakinya memasuki ruang rawat gadis kecil itu tanpa menutup pintunya. Ditatapnya wajah pucat gadis malang itu. Kemudian tangannya menyentuh kening gadis itu. Hangat. Vania bernapas lega. Suhu tubuh gadis itu ternyata masih terbilang normal.
Lalu tatapannya beralih ke layar Pasien Monitor yang ada di sebelah kiri bed Linzy. Vania mengamati garis itu satu persatu, mulai dari ECG (garis hijau), tekanan darah arteri (garis merah), SPO2 (garis kebiruan) hingga tingkat pernapasan (garis putih). Semua tampak hampir mendekati normal. Bahkan, detak jantung Linzy pun sudah terpantau baik.
Kemudian, perhatian Vania beralih pada infus set yang ada di dekatnya. Melihat kondisi Linzy yang sudah membaik, Vania mengatur infusion pumpnya menjadi lebih lambat.
"Cepat sembuh ya, gadis cantik!" ujar Vania sembari membelai rambut kusut Linzy. Setelah itu, Vania melenggang ke arah pintu ruangan yang masih terbuka, di mana Andrea menunggunya.
"Bagaimana kondisi Linzy?" tanya Andrea.
"Detak jantung dan suhu tubuh normal, tekanan darah arteri dan sistem pernapasannya juga sudah mendekati normal, Dok," lapor Vania.
"Kerja bagus. Mulai besok, kamu yang akan menangani Linzy dan bertanggung jawab tentangnya," ujar Andrea.
Vania terpengangah. Dia belum pernah diberi tanggung jawab sebesar ini sebelumnya. Sejak pertama bekerja, dia hanya menjadi dokter piket IGD, dan visit di beberapa bangsal pasien, tanpa resmi menjadi dokter penanggung jawab mereka.
"An- Anda serius, Dok? Tapi sebelumnya saya belum pernah melakukannya. Apalagi kasus kanker? Apa tidak sebaiknya tugas ini diberikan pada dokter spesialis kanker saja? Di rumah sakit ini ada dua dokter kanker setahu saya," ucap Vania. Baginya, tanggung jawab yang Andrea berikan cukup berat untuk ia jalani.
"Ini saatnya kamu belajar, Dokter Vania. Kamu bisa belajar dari mereka berdua tentang Linzy jika memang membutuhkannya," tegas Andrea.
"Ba- baik, Dok," jawab Vania pada akhirnya.
Andrea pergi tanpa sepatah katapun. Meninggalkan Vania dengan segala keterkejutannya pasca menerima tanggung jawab besar seorang dokter yang harus ia jalani. Sekali lagi, Vania menatap Linzy. Senyum tipis jelas tercetak di wajah dokter muda itu.
"Doakan aku agar bisa menjadi dokter terbaik buat kamu ya, Linzy," ujarnya.
*
Vania baru saja sampai di kos sederhana berukuran 3×3 meter yang sudah ia tempati sejak masa kuliah. Diletakkannya tas kerjanya pada sebuah kursi di sudut ruangan. Lalu ia mengikat ulang rambutnya dan menekuknya.
"Yah, s**u tadi pagi belum aku panasin gara-gara telat bangun. Pasti sudah basi," keluhnya.
Dan benar saja. s**u murni yang ada di atas meja itu sudah kurang baik kondisi fisiknya. Padahal, Vania selalu rutin minum s**u sehari dua kali untuk menjaga kondisi tubuhnya pasca bekerja seharian di rumah sakit.
Ia menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur kemudian mengetikkan sesuatu di ponselnya.
"Christy, kau tahu siapa perawat jaga di bangsal anak malam ini? Katakan pada mereka, jika ada sesuatu pada Linzy, segeralah hubungi aku, karena dia adalah pasienku sekarang!" Setelah mengirimkan pesan itu pada Christy, Vania beralih ke kamar mandi.
Waktu menunjukkan pukul 18.20. Vania berniat memasak makan malam. Tapi ternyata, persediaan makanannya sudah habis. Akhirnya, ia memutuskan untuk ke supermarket untuk berbelanja. Ia berjalan santai melewati gang-gang sempit menuju jalan raya yang berjarak sekitar 100 meter dari kosnya.
"Mana belum gajian lagi. Uang di ATM tinggal 400.000. Dan gajianku masih satu minggu lagi. Cukup nggak ya uangnya?" gumam gadis itu.
"Huft, gara-gara sering bangun ke siangan, jadi sarapan dan makan siang harus jajan di kantin. Boros deh," keluhnya.
Dia memang tidak seperti dokter pada umumnya. Dia masih berstatus sebagai dokter magang yang gajinya jelas berbeda dari dokter lain. Selain itu, dia juga harus membayar uang sewa kos yang tentunya tidak murah setiap bulannya. Belum lagi keperluan seperti makan, transportasi kos-rumah sakit, langganan s**u murni setiap pagi, dan yang lainnya.
Setelah membeli bahan-bahan masakan yang ia perlukan, Vania memilih duduk di kursi yang ada di teras supermarket itu. Ia membuka kaleng s**u putih yang tadi ia beli dan segera meminumnya.
Vania merasa membutuhkan waktu bersantai sejenak. Diambilnya ponsel dari dalam kantungnya, kemudian ia membuka salah satu aplikasi game di sana. Vania tampak acuh dengan keramaian di sekitarnya. Ia asyik dengan aktivitasnya sendiri hingga sebuah suara mengagetkannya.
"Yah, Kakak payah. Baru sampai situ saja sudah kalah." Vania memutar bola matanya malas.
"Ini itu susah, ya, Dek," balasnya.
"Ckk.. gitu doang. Kakak saja yang payah," ejek anak laki-laki itu lagi.
Vania menghela napas, berusaha untuk sabar. Ia menyodorkan ponselnya kepada anak laki-laki tadi.
"Kenapa, Kak? Handphone nya mau dikasih ke aku aja? Boleh. Nanti bisa ku jual buat beli jajan," oceh anak itu.
"Heh, enak saja. Cepat mainkan game itu! Aku akan melihat kemampuanmu." Vania. Anak laki-laki tadi kembali berdecak lalu menerima ponsel Vania. Seperti yang Vania minta, anak laki-laki itu memainkan game yang tadi Vania mainkan.
Dan benar saja. Kemampuan anak itu memang jauh di atas Vania. Dia berhasil melewati part-part dimana Vania gagal sebelumnya. Vania sampai menganga tak percaya sembari sesekali bertepuk tangan.
"Woaaa iya ke kanan ke kanan. Awas! Lari! Hebat!" teriak Vania kegirangan. Selang beberapa menit, anak itu mengembalikan ponsel Vania.
"Hebat juga kamu. Siapa namamu?" tanya Vania.
"Beno. Robeno Zulfikar," jawab anak itu
"Wah nice to meet you, Beno," Vania. Beno memasang senyum ramahnya, membalas senyum Vania. Kemudian, keduanya berbincang cukup lama hingga akhirnya Vania mengantar Beno pulang.
"Kapan-kapan kita main lagi ya, Beno!" ujar Vania.
"Siap, Kak! Tapi besok-besok beliin aku jajan juga ya!" balas Beno. Senyum Vania luntur seketika. Ia berbalik setelah Beno masuk kedalam rumahnya.
"Dasar. Anak kecil zaman sekarang pada matre ternyata," gumamnya.
***
Bersambung ...