6 - The Mansion

1695 Words
“Ada apa Selena ?” Grissham mengernyit heran dengan cengkeraman Selena di lengannya. Selena tidak melepaskan pandangannya pada mata lukisan Sir Tramonde. “Ma... matanya melihat ke arahku...” gumam Selena sambil meneguk ludah. Ia benar-benar yakin sekali bola mata itu bergerak dan menatapnya. Grissham memandang mata lukisan itu dan mengernyit.             “Matanya juga melihat ke arahku. Kalau kau perhatikan setiap mata pada lukisan, tentu saja akan terlihat seperti mata itu melihatmu.” Grissham menggeleng-geleng melihat wajah sahabatnya pucat pasi. Selena hanya mengangguk kecil dan mengalihkan pandangannya dari lukisan itu. Ia meneguk ludah beberapa kali untuk menenangkan hatinya.             “Saya sudah menyampaikan semuanya dan anda sudah diperbolehkan mencari cincin itu atau melakukan apapun sesuka anda di rumah ini. Selamat malam dan jangan lupa untuk tidak terlambat saat jam sarapan besok.” pesan Isabelle sebelum ia akhirnya pergi meninggalkan mereka menuju kamarnya sendiri.             Mereka otomatis melihat ke arah jendela dan baru menyadari bahwa hari sudah malam semenjak kedatangan mereka di pulau itu. Para pria langsung berjalan ke kamarnya masing-masing sambil meregangkan badan karena letih. Selena dan Grissham juga berjalan ke kamar mereka sambil menguap.             Grissham sudah berbaring di ranjangnya hanya dengan melepas jaket yang dikenakannya tadi. Rasanya ia begitu malas untuk bangun dan merapikan semua barang-barangnya. Selena hanya menggeleng melihat temannya tertidur pulas. Ia bangkit dari ranjangnya setelah mengambil handuk dari dalam tas. Selena ingin mencuci wajahnya setelah perjalanan yang melelahkan itu.             Baru saja kakinya melangkah menuju pintu, ia baru teringat bahwa Isabelle tidak memberitahunya dimana kamar mandi tadi dan seingatnya ia tidak melihat pintu lain menuju kamar mandi. Mungkin aku harus bertanya pada Isabelle, pikir Selena dan ia langsung keluar dari kamarnya.             Selena sedikit tersentak melihat semua lorong telah gelap. Hanya ada cahaya dari obor di dinding yang membuat rumah itu remang-remang. Memangnya ini zaman batu ??? Sampai harus pakai obor... decak Selena dan ia berjalan menyusuri lorong ke arah kamar Isabelle.             Saat Selena melintasi lukisan Sir Tramonde, matanya melirik mata lukisan itu dan lagi-lagi ia tersentak karena mata itu bergerak ! Kali ini Selena memaksakan dirinya untuk melihat lebih jelas. Ia baru bisa menarik napas lega setelah mengetahui bahwa gerakan mata itu disebabkan oleh cahaya obor yang tertiup angin.             Selena langsung berjalan menghiraukan lukisan itu menuju kamar Isabelle. Diketuknya pintu itu pelan-pelan agar tidak membangunkan yang lain. Tidak ada jawaban. “Isabelle ?” panggilnya sambil mengetuk sekali lagi. Masih tidak ada jawaban. Apa sudah tidur ? Pikirnya dan Selena kembali berbalik menjauhi kamar Isabelle.             Ia berniat untuk mencari sendiri kamar mandi di rumah itu. Pasti tidak jauh dari kamar tidur, pikir Selena dan ia kembali ke koridor kamarnya. Dihitungnya pintu di lorong itu dan tidak ada pintu lainnya selain kamar mereka semua dan satu kamar kosong lagi. Selena kembali berjalan ke arah ruang bersantai dan mengamati sekeliling tempat itu yang lebih gelap karena tidak ada obor sama sekali. Hanya cahaya dari jendela yang membuat ruangan itu sedikit remang-remang.             Masih tidak ada pintu di sana dan Selena otomatis berbalik meninggalkan ruangan itu. Baru beberapa langkah ia keluar dari ruang bersantai, sebuah suara membuatnya terdiam di tempat.             Krieet... krak... krieet... krak...! Bunyi kursi goyang yang pelan membuat Selena tertegun. Ia berbalik dan memandang arah kursi goyang yang ada di sudut ruang bersantai itu. Tidak bergerak sama sekali. Mungkin cuma perasaanku saja... gumam Selena dalam hati sambil berusaha membesarkan hatinya.             Ia kembali berbalik meninggalkan ruangan itu dan langkahnya lagi-lagi terhenti.             Krieeett... krak... krieett... krak...             Bunyi kursi goyang itu lagi ! Jantung Selena tiba-tiba berdegup kencang dan ia meneguk ludah dengan gugup. Selena berbalik perlahan untuk memeriksa kursi goyang itu. Masih tidak bergerak sama sekali padahal gadis itu benar-benar yakin kalau telinganya tidak salah mendengar bunyi kursi itu.             Cepat-cepat ia berbalik untuk meninggalkan tempat itu dan berdoa dalam hati agar segera menemukan kamar mandi. Karena ketakutannya tadi, tiba-tiba keinginan untuk buang air menjadi lebih besar padahal awalnya Selena hanya ingin mencuci muka.             Ia kembali ke depan lukisan Sir Tramonde dengan terburu-buru. Karena tidak ditemukannya kamar mandi di lantai itu, ia berniat mencari ke lantai dasar. Baru saja Selena melangkahkan kaki untuk menuruni tangga, ada sesuatu yang berkelebat melintasi aula itu. Mata Selena langsung membelalak berusaha melihat apa yang baru saja lewat itu. Ia tidak yakin apa itu, tapi yang bisa dipastikannya adalah kelebatan itu berwarna putih. “Halo ? Ada orang di bawah ?” Selena memberanikan diri untuk memanggil siapapun yang mungkin saja ada di aula itu. Ia berhenti di tengah tangga sambil memperhatikan sekelilingnya karena aula tidak diberi cahaya sama sekali.             Tidak ada yang menyahut dan jantung Selena semakin berdegup kencang. Ia berusaha menenangkan hatinya dengan beranggapan bahwa mungkin saja bayangan itu hanya bayangan gorden yang tertiup angin. Selena kembali menuruni tangga dan menoleh ke sebelah kanannya. Ia ragu-ragu untuk masuk ke dalam ruang makan karena seingatnya tidak ada kamar mandi di sana. Tapi, dicobanya untuk membuka pintu ruang makan sambil melongok sesaat.             Gelap dan tidak ada cahaya apapun selain dari jendela di belakang meja makan yang remang-remang. Selena menutup pintu ruang makan dan ia berbalik.             TRANG ! Suara sesuatu yang berdenting jatuh di ruang makan membuat Selena terlonjak. Kali ini suaranya lebih keras hingga Selena yakin kalau ia tidak salah dengar.             Dengan cepat, Selena membuka pintu ruang makan lagi untuk memeriksa dan napasnya mulai memburu. Ia bisa mendengar detak jantungnya berdegup di telinga sekeras mungkin.             Pandangan mata Selena langsung tertuju pada lantai dan ia melihat salah satu sendok terjatuh di sana. Bagaimana sendok itu bisa jatuh ??? kernyit Selena dan ia memandang sekeliling ruang makan itu lagi. Pintu dapur masih tertutup rapat dan Selena yakin ia tidak mendengar derit pintu sama sekali. Jendela-jendela ruang makan pun tertutup rapat.             Walaupun masih penasaran, Selena langsung menutup kembali pintu dapur dan berbalik untuk kembali ke kamarnya. Ia memutuskan untuk menahan keinginan dirinya ke kamar mandi dan mungkin saja besok pagi ia akan mendapatkan jawabannya.             Saat ia berbalik, sebuah wajah langsung mengagetkannya. Selena berteriak dan ia terlonjak mundur hingga menabrak pintu ruang makan yang ada di belakangnya. Matanya membelalak saat melihat Isabelle berdiri di depannya sambil membawa lilin di tangannya. Wajar saja ia ketakutan karena cahaya dari lilin membuat wajah Isabelle jadi mengerikan. “Apa yang anda lakukan Miss Walter ?” tegur Isabelle dengan tatapan dingin.             Selena mengatur napasnya yang masih tersengal-sengal karena terkejut tadi. Ia meneguk ludah beberapa kali sebelum bisa berdiri tegap kembali. “Aku... mencari kamar mandi... dan tadi aku mengetuk kamarmu, hanya saja kau tak menjawab...” jelas Selena sambil mengusap dadanya beberapa kali. “Oh, maafkan saya karena tidak memberitahu dimana kamar mandi sebelumnya. Silahkan ikuti saya.” Isabelle langsung berjalan kembali ke lantai dua hingga membuat Selena mengernyit. Apa ada pintu lain di atas ???             Selena mengikutinya dan Isabelle berbelok ke arah koridor kamar mereka semua. Mata gadis itu langsung membelalak saat melihat Isabelle membuka salah satu pintu yang bersebelahan dengan kamar Ian. Ia ingat bahwa tadi ia menghitung semua pintu yang ada di koridor itu dan jumlahnya hanya lima ! Bagaimana mungkin ada satu pintu yang muncul di sana ??? “Ba... bagaimana mungkin...?” gumam Selena masih dengan terkejut hingga membuat Isabelle menaikkan sebelah alisnya. “Ada apa Miss Walter ?” tanyanya. Selena langsung menggeleng cepat, “Tidak. Tidak ada apa-apa. Terima kasih Isabelle.” jawab Selena dan ia langsung masuk ke dalam kamar mandi itu.             Selena membasuh wajahnya beberapa kali di wastafel sambil berusaha mengenyahkan perasaan takut yang tidak menyenangkan di hatinya. Untungnya kamar mandi itu diberi lampu hingga tidak gelap seperti lorong dan bagian rumah lainnya.             Selena cepat-cepat menyelesaikan urusannya di kamar mandi dan ia segera kembali ke kamarnya. Mungkin ia terlalu banyak berpikir hingga gampang ketakutan karena hal sepele. Gadis itu duduk di ranjangnya sambil menghela napas beberapa kali. Ia meregangkan tubuhnya dan matanya tiba-tiba memandang sesuatu di kegelapan kamar.             Grissham duduk tegak di ranjangnya tanpa memandangnya sama sekali. Selena memicingkan mata karena mengira Grissham terbangun olehnya. “Ah, maaf Griss... aku membangunkanmu ya ?” tegur Selena.             Tidak ada jawaban dari Grissham hingga Selena mengernyit. Tiba-tiba, tubuh Grissham terhempas kembali ke ranjang hingga menggoyangkan seluruh ranjang. Selena sampai terkejut melihatnya. “Griss ? Kau baik-baik saja ?” tanya Selena pelan dan jantungnya kembali berdegup kencang.             Grissham masih tidak menjawabnya hingga Selena dengan cepat menghilangkan pikiran yang aneh-aneh dari kepalanya. Ia berusaha menganggap temannya sedang mengigau dan mungkin terbangun tanpa sadar. Gadis itu langsung berbaring tidur membelakangi Grissham.                                                                                           ***             “Sel ! Selena ! Ayo bangun ! Kita hampir terlambat untuk sarapan !” panggil Grissham sambil menggoyangkan tubuh Selena yang masih tertidur. “Hng...? Ini jam berapa...?” tanya Selena serak dan ia menggeliat di ranjangnya. Ditatapnya Grissham yang sudah berpakaian rapi di depannya. “Jam 6.45 nona... kau masih punya waktu 15 menit sebelum turun ke bawah. Aku duluan ya !” Grissham langsung berjalan keluar kamar meninggalkannya. Selena langsung tersentak mendengarnya dan ia cepat-cepat bangun untuk mencuci wajahnya.             Selena masuk ke ruang makan dan melihat semua orang telah duduk di sana dengan wajah mengantuk. Nampaknya mereka tidak biasa sarapan sepagi itu. Selena menangkap Ian dan Warren yang terang-terangan menguap lebar. Gadis itu mengambil tempat di samping Grissham dan menyenggol temannya itu. “Kau tidak sadar tadi malam kau hampir saja tidur berjalan ? Aku sampai terkejut melihatmu duduk tegak tanpa bersuara seperti itu.” gumam Selena sambil menyeringai. Grissham mengernyit ke arahnya. “Aku duduk ? Aku tidak mungkin tidak sadar jika bangun seperti itu.” heran Grissham. Selena hanya mengangkat kedua bahunya pertanda tidak mengerti.             Hanya berselang beberapa menit sejak gadis itu masuk ke dalam ruang makan dan Isabelle muncul dari arah dapur. Ia membawa troli keemasan dengan beberapa piring yang ditutup. Isabelle mengambil sebuah daftar dari bawah troli dan mulai memanggil nama satu per satu tanpa memandang mereka sama sekali. Ia terlihat seperti seorang guru yang sedang mengabsen para siswanya. “Ian Hevensky ?” panggilnya. Ian hanya menguap sambil menaikkan tangan kanannya, “Hadir...” jawabnya dengan malas. Warren langsung berdecak dan menggeleng pelan. “Seperti anak kecil saja.” gumam Warren dan ia hanya mengangkat tangannya tanpa menjawab saat dipanggil oleh Isabelle. “Warren Xavier absen ?” panggil Isabelle sekali lagi hingga Warren terkejut dan ia langsung duduk tegak, “Hadir ! Tentu saja aku hadir !” katanya keras. Ian langsung terkekeh mendengarnya. “Sekarang siapa yang lebih terlihat seperti anak kecil ?” ejeknya. Selena tersenyum hendak tertawa mendengarnya. Baru kali ini ia merasa setuju dengan Ian. Gadis itu pun tidak terlalu suka dengan sikap Warren yang terlalu sombong.            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD