“Theresa tergeletak di tepi pantai dengan luka tercabik-cabik dimana-mana... ia meninggal dengan posisi berusaha menggapai laut...” kata pastur Jeremy mengakhiri ceritanya. Selena benar-benar terkejut mendengar cerita ini. Raut wajahnya sampai berubah pucat pasi.
“Dan setelah itu, Sir Rudolph serta Rolland masih belum ditemukan ?” tanya Selena kembali. Pastur Jeremy menggeleng.
“Keberadaan mereka berdua seperti hilang ditelan bumi. Tidak ada tanda-tanda mereka meninggalkan pulau ini dan bahkan saat kami menanyai awak kapal yang selalu berlabuh kemari untuk mengantarkan persediaan bahan makanan pun, mereka tidak melihat kedua orang itu sama sekali.” jawab pastur Jeremy kemudian. Selena mengernyit.
“Jika mereka tidak ditemukan, bagaimana bisa ada permainan The Gamers ?” heran gadis itu.
“Isabelle mengatakan padaku kalau ada kerabat keluarga Tramonde yang mendapatkan semua harta warisan keluarga Tramonde dan orang itulah yang mengadakan acara ini.” jawab beliau.
“Tapi, bukankah anda mengatakan Rolland Tramonde yang mengadakan The Gamers ???” kening Selena semakin mengernyit.
“Lalu jika kerabat keluarganya sudah memiliki semua harta keluarga Tramonde, untuk apa lagi dia mencari cincin batu rubi ?” nampaknya pertanyaan di kepala Selena tidak bisa berhenti muncul.
“Aku tidak tahu mengenai masalah itu, nak. Aku hanya mendengar beritanya saja. Hanya saja mereka sering mengatakan dalam setiap acara The Gamers bahwa cincin itu adalah kutukan. Tapi, sesungguhnya akan lebih baik jika mereka lebih mendekatkan diri pada Tuhan daripada memikirkan masalah seperti itu.” pastur Jeremy memandang salib raksasa yang ada di dalam gereja. Selena mengangguk-angguk mengerti dan terdiam sesaat.
“Um... jadi bagaimana dengan peserta lainnya ? Apa mereka benar-benar mencari dan tidak membuahkan hasil sama sekali ?” pertanyaan Selena kali ini hanya disambut oleh senyuman dari pastur Jeremy.
“Jika mereka sudah menemukannya, apa mungkin kau masih di sini nak ? Permainan ini hanya berakhir jika salah satu dari peserta telah menemukan cincin itu. Mereka hanya membutuhkan cincinnya. Entah tujuannya untuk apa...” komentar pastur Jeremy. Selena kembali mengangguk-angguk.
Selena menengadah langit dan menyadari bahwa hari telah sore. Ia harus segera pulang sebelum jalan di hutan mulai berubah. Gadis itu pamit pada pastur Jeremy dan ia kembali memasuki hutan. Pikirannya sibuk melayang-layang pada perbincangannya dengan pastur Jeremy tadi hingga ia tidak memperhatikan langkahnya.
Ia terkejut saat hampir menabrak seseorang yang kebetulan muncul dari seberangnya menuju jalan yang sama dengannya. Warren pun terkejut melihatnya dan menghentikan langkahnya.
“Oh, kau juga ke hutan ya ?” tegur Warren seakan mencari bahan obrolan dengan Selena.
Gadis itu mengangguk saja dan berusaha mengambil jarak dengan Warren karena hanya ada mereka berdua di tempat itu dan ia tidak ingin Warren menyerangnya kembali walaupun sebenarnya Selena ragu yang menyerangnya itu seperti bukan Warren. Mereka berdiri dengan canggung di perempatan jalan itu.
“Kenapa kau tidak jalan ?” Warren mempersilahkannya jalan lebih dulu.
“Tidak. Kau saja yang duluan.” tolak Selena sambil menggeleng. Pria itu tertegun sebelum akhirnya ia menghela napas panjang.
“Kau takut kuserang ya ? Dengar, aku sudah mengatakannya padamu bahwa waktu itu aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi karena aku pingsan cukup lama sekali dan begitu aku terbangun, keadaanku berantakan sekali. Kau lihat ? Tanganku saja masih terluka padahal aku tak tahu karena apa.” Warren menunjukkan tangannya yang dibalut perban.
“Wajar saja. Kau meninju pintu dapur hingga hancur lebur seperti itu.” gumam Selena sambil memutar bola matanya. Warren hanya diam mendengarnya berkata demikian.
“Tapi, lebih baik berjaga-jaga. Kau jalan saja duluan.” kata Selena menunjuk jalan pulang padanya. Warren menghela napas dan nampaknya ia pasrah karena ia berjalan langsung ke arah yang ditunjuk oleh Selena.
Selena memberi jarak yang lumayan jauh dengan Warren saat pria itu berjalan di depannya. Ia masih merasa was-was melihat pria itu. Jangan terkecoh tampangnya yang tampan... batin Selena mengingatkan dirinya dalam hati.
Mereka melewati persimpangan yang Selena kenal karena jalur ke kirinya adalah jalan menuju lembah misterius. Ia terlihat ragu sesaat tapi akhirnya ia berhenti di depan jalan itu. Warren masih berjalan di depannya dan jarak antara mereka semakin lebar.
“Err, Warren.” panggil Selena sambil memandang punggung itu. Warren berhenti dan ia menoleh ke belakang. Ia memberikan pandangan bertanya pada Selena.
“Kau ingat tempat yang muncul di mimpimu itu 'kan ? Yang kau bilang ada dek raksasa... err, aku tahu tempat itu.” kata Selena kemudian.
Warren membesarkan bola matanya dan ia langsung berjalan menghampiri Selena. Ia kelihatannya cukup terkejut mendengarnya.
“Kau yakin ?” tanyanya dan Selena langsung mengangguk.
“Aku pernah ke sana dua kali dan semenjak itu aku mulai bermimpi tentang Theresa.” jawab Selena.
“Ayo kita ke sana. Aku ingin melihat tempat itu.” ajak Warren. Selena menggeleng kembali.
“Ini sudah hampir malam dan lebih baik besok saja kita ke sana.” kata Selena sambil memandang langit yang semakin gelap.
“Kau takut gelap ?” kernyit Warren karena tidak menyangka gadis pemberani seperti Selena bisa takut dengan hal kecil seperti itu.
“Bukan begitu. Hanya saja jika malam hari, semua jalan di hutan ini berubah dan kita bisa tersesat saat mencari jalan pulang. Aku dan Thomas sudah mengalaminya. Memang ini terdengar konyol, tapi itu fakta. Kau tidak akan percaya jika hutan ini memang benar-benar berubah-ubah jalur setiap malam.” jelas Selena dengan ekspresi sangat yakin.
“Tidak apa-apa. Kali ini kita berdua dan setidaknya itu tidak mengerikan. Ayolah, Sel... sebentar saja. Aku penasaran sekali dengan tempat itu.” bujuk Warren.
Selena terlihat ragu dan ia sebenarnya enggan ke sana ketika malam hari. Tapi, ia merasa perlu menunjukkan tempat itu pada Warren yang memiliki mimpi sama dengannya.
“Baiklah, tapi sebentar saja. Kita bisa terlambat pulang dan jika kita tersesat, itu semua salahmu.” kata Selena memperingatkannya. Warren hanya mengangguk dan mengikuti Selena yang berjalan di depannya.
Nampaknya gadis itu sudah hapal semua jalan di hutan dan ia dengan mudahnya menemukan lubang menuju lembah. Ia menunjuk lubang itu dan Warren terlihat ragu untuk masuk ke dalam.
“Kalau kau tak mau masuk, lebih baik kita langsung pulang. Yang penting aku sudah menunjukkannya padamu.” kata Selena sambil melipat kedua tangannya di d**a. Ia memberikan senter pada Warren yang menerimanya.
Warren menunduk dan melongokkan kepalanya ke dalam. Ia tercengang saat melihat lembah misterius itu dan ia mengeluarkan kepalanya ke luar menatap Selena.
“Ya ! Ini tempat yang muncul di mimpiku itu !” serunya dengan kegirangan. Selena hanya mengangguk saja.
“Kau mau masuk ke dalam ???” tanya Selena dengan tatapan tidak percaya saat melihat Warren kembali menjulurkan kepalanya ke dalam lembah dan mendorong tubuhnya untuk masuk.
“Tentu saja ! Kenapa tidak ? Aku harus memastikan tempat ini, Selena !” jawab Warren dengan sedikit berteriak karena ia sudah masuk ke dalam lembah.
“Tapi di sana berbahaya ! Lebih baik kita kembali, Warren !” panggil Selena dan ia melongokkan kepalanya ke dalam lubang. Dilihatnya Warren berjalan menjauh menuju dek raksasa itu.
“Apanya yang berbahaya ??? Jika kau mau pulang, kau duluan saja !” balas Warren cuek. Selena menggertakkan giginya.
“Tidak mungkin ! Ini sudah malam dan kau berjanji kita akan pulang bersama ! Aku tidak mau tersesat di hutan sendirian !” kesalnya.
“Kalau begitu ikut saja denganku di sini sebentar ! Kau tidak akan mati hanya dengan masuk ke dalam tempat ini 'kan ???” cemooh Warren.
Dengan menggerutu, Selena akhirnya ikut masuk ke dalam lubang dan ia memandang sekelilingnya lagi dengan waspada. Ia takut si jubah hitam atau tangan hangus itu muncul kembali.
Warren masih meneliti tempat itu dan ia melongok ke rawa-rawa karena penasaran. Selena hanya duduk di akar pohon besar yang pernah didudukinya dulu. Ia mengamati Warren yang sibuk berjongkok menatap lantai dek yang bersih. Mungkin dipikirnya aneh karena dek itu pasti sudah sangat lama berada di sana.
GLUDUK... GLUDUK...!
Terdengar bunyi gemuruh guntur yang terdengar pelan dari kejauhan dan Selena meneguk ludah. Ia memandang ke arah lubang dan tidak bisa melihat apa-apa karena gelapnya malam.
“Warren, kurasa kita harus segera pulang. Nampaknya akan hujan...” kata Selena mengingatkan. Suaranya bergema di tempat itu.
Warren mengacuhkannya karena melihat sesuatu yang berpendar di dalam rawa-rawa. Ia berusaha melihat lebih jelas kilauan apa itu. Warren bahkan tidak mendengar guntur yang berbunyi rendah dari tadi.
“Warren ? Kau mendengarku ? Sepertinya akan hujan lebat... kita harus kembali...” Selena menatap cemas ke arah lubang dan Warren secara bergantian.
“Tunggu sebentar, Selena. Aku hampir mendapatkannya...” Warren menggeram karena ia sedang berusaha mengambil benda berkilau itu dari dalam rawa-rawa dan ia menahan bobot tubuhnya dengan berpegangan pada celah-celah kayu dek.
Selena tidak memperhatikan apa yang dilakukan Warren karena ia sibuk melihat lubang dan bisa merasakan angin kencang mulai masuk ke dalam lembah. Sepertinya akan ada badai dan gadis itu tidak mau terjebak untuk yang kedua kalinya.
“Uh-oh, Warren... sepertinya akan ada badai. Cepatlah ! Aku tidak mau terjebak di sini lagi ! Apa sih yang kau ambil ???” rengek Selena.
Warren tidak membalas dan ia masih sibuk mencelupkan tangannya ke dalam air rawa yang gelap dan dingin. Rasanya benda berkilau ini sangat dekat, tapi tangannya tidak bisa menjangkau benda itu sama sekali. Sepertinya permukaan air yang bias membuatnya tertipu dengan kedalaman rawa itu.
Hampir setengah lengan Warren telah masuk ke dalam air dan ia masih meraba-raba. Ia mulai berkeringat karena berusaha menahan berat tubuhnya.
DEG !
Warren terkejut saat merasakan ada sesuatu yang melintasi tangannya di dalam air. Apa itu ikan ??? pikirnya dalam hati.
DEG !
Ia terkejut sekali lagi karena lagi-lagi ada yang mengenai telapak tangannya. Bukan sisik ikan, tapi sesuatu yang berambut. Apa mungkin ganggang atau tanaman ? Kernyit Warren berusaha menebak apa itu. Ia meraba sekelilingnya sekali lagi dan mengenai sesuatu yang berambut tadi.
Warren menarik rambut itu dan merasa tangannya menabrak sesuatu yang hangat dan kenyal. Warren melepas genggamannya pada rambut itu dan meraba permukaan hangat itu. Ada bagian yang lebih tinggi dan jantung Warren mencelos seketika. Ia mengenali permukaan itu sebagai hidung manusia.