Logikanya, jika kita sudah menemukan sebuah restoran yang dari segi rasa cocok di lidah, segi lokasi juga serba dekat, segi pemandangan pun fotogenik, plus bersih. Jadi, kenapa nggak?
Hanya karena resto itu dulunya tempat makan bersama mantan, apa seketika jadi tercemar fatal bak diserbu wabah, ya?
Oke, dicatat.
Besok-besok Galaksi mesti survey tempat makan buat dia kunjungi bersama Ancala.
"Masih marah, Cal?"
Di rumah.
"Marah? Siapa? Aku? Nggak, tuh." Sambil berlalu, Ancala masuk kamar mandi.
Sedangkan, Galaksi duduk di tepi tempat tidur. Dia sudah mandi, sudah wangi. Sudah minta maaf juga kepada Ancala. Dan sepertinya lagi-lagi mood Ancala buruk karenanya.
"Buat makan malam ... mau saya masakin nggak, Cal?" Berusaha memperbaiki, Galaksi menatap istrinya.
Oh, Ancala baru saja keluar dari kamar mandi, sudah ditodong pertanyaan mewujud penawaran.
"Emang bisa masak?"
"Bisa. Mau?"
Ancala terdiam, lalu tiba-tiba bilang, "Pasti dulunya sering masakin Bu Sally, ya?"
Astagfirullah.
Galaksi lantas mendekat. "Kalau dulu nggak bisa masak, setelah tinggal sendiri, baru bisa." Jangan sampai Ancala salah paham.
Sungguh, dulu Galaksi tidak akrab dengan dapur. Namun, lepas bercerai, mau nggak mau Galaksi jadi masak sendiri, sengaja juga supaya bisa, meski dia masih mampu untuk makan di luar atau bayar jasa koki rumahan. Pun, bisa tinggal di kediaman Semesta, tetapi Galaksi memilih opsi yang telah dilaluinya; tinggal di apartemen plus mandiri. Alasannya sederhana, setelah bercerai, meski marah atas kebohongan Sally, tetapi sejatinya Galaksi masih cinta.
Dulu, ya.
Itu dulu.
Sekarang sudah lewat 9 tahun.
Jadi, sudah berlalu.
"Awas aja kalo nggak enak, ya." Bibir Ancala mengerucut. Manyun terus sejak di restoran siang tadi. Mood-nya buruk, sih.
"Iya. Kalo nggak enak, kamu boleh cium saya."
"Idih!" Sampai-sampai dia mendelik. "Itu, sih, maunya Bapak!"
Well ....
"Sebut 'mas' aja, Cal, mulai sekarang. Kan, sudah sepakat suami istri sungguhan."
"Sendirinya juga masih sebut 'saya', tuh!"
Sabar, ya. Maaf, ya. Ancala jadi begini, sifat aslinya. Si pencemburu, si tukang nyindir kalau keki, dan si ceriwis sekali. Galaksi memaklumi. Apalagi Ancala masih umur transisi, 21 tahun. Masih periode labil dan meledak-ledaknya.
"Oke, sekarang mas."
Ancala duduk di kursi riasnya, menatap Galaksi dari cermin, di mana lelaki itu kembali duduk di tepi ranjang. Dari jauh bertatapan.
"Dulu sama Bu Sally panggilannya apa?"
Mulai lagi.
Kayaknya Galaksi harus selalu siap siaga, ya? Jangan sampai salah jawab juga, tetapi dia pun membenci kebohongan.
"Panggil nama aja."
Ancala menyemprot wajahnya entah dengan apa, Galaksi memandang saja, itu pasti produk kecantikan.
"Nggak ada panggilan sayang?"
"Iya. Sayang."
"Apa? Sayang?"
Panggilannya. Sayang. Galaksi mengangguk.
Oke, fix. Jangan panggil Ancala dengan 'sayang'. Inginnya dia bilang begitu, tetapi kalimatnya hanya sampai batang tenggorokan. Lidahnya kelu oleh pikiran; memangnya hubungan Ancala dan Pak Galak sudah sampai tahap sayang-sayangan? Kan, baru dimulai. Kan, adanya hubungan ini pun karena perjodohan. Terlepas dari masa lalu terkait pesta topeng itu, masa kini masih abu-abu.
"Kenapa memangnya, Cal?"
Astaga. Segala ditanya!
Ancala berbalik, tak hanya menatap lewat cermin, sekarang dari mata ke mata.
"Harus banget, ya, nanya kenapa?"
"Nggak bolehkah?" Galaksi serius bertanya.
"Nggak tahu, ah." Namun, Ancala kesal terus bawaannya.
Tuhan ....
Salah Galaksi di mana?
***
"Kalian marahan?"
Eh?
Mendadak ditanya begitu oleh sepuh di rumah itu. Bumantara, papanya Ancala.
"Nggak, Pa."
"Tapi muka kamu sinis gitu sama suamimu, Cal," kata papa.
Kenapa, ya?
Ancala juga bingung. Sejak di apartemen sebetulnya, ke sini-sini jadi sensitif. Apa-apa jadi disangkut-pautkan dengan mantan istri gerangan. Ancala tahu ini berlebihan, tetapi ... yeah ... gitu, deh.
Sadar atau tidak, Ancala sedang cemburu.
Mencemburui masa lalu.
Cemburunya sejak dulu, sejak tahu bahwa orang yang di pesta topeng dan yang mengiriminya paket-paket lucu adalah seorang Galaksi Bumi Semesta, sekaligus mantan suami orang yang katanya belum move on. Seketika itu barang-barang yang Ancala sukai dia buang, sebab ternyata sang pengirimnya adalah Galaksi.
Kecewa di atas rasa senangnya.
Kecewa karena ternyata lekaki itu duda dan masih tampak akrab dengan mantannya, senang karena ternyata sosok misterius di pesta topeng adalah karyawan papa yang Ancala akui ketampanannya. Plus, dia kagumi. Oleh sebab itu, kecewanya jadi double.
Dia luapkan baru-baru ini.
Wajar, tidak?
"Kamu bikin kesalahan apa, Gal, sampe anak Papa ngambek begini?"
Mereka memang tinggal di rumah papa Ancala. Selain karena Ancala tidak mau pindah, Galaksi juga merasa harus tinggal di sana.
Harus.
"Gara-gara waktu makan siang, saya ngajaknya ke restoran yang dulu pernah jadi tempat makan saya sama Sally."
Mantan istri.
"Oalah ...." Papa Ancala menatap keduanya secara bergantian. "Pantesan."
Tuh, papa saja paham!
"Besok-besok yang kreatif dikit, Gal. Semua cewek nggak suka diajak ke tempat yang ada kenangan mantannya."
"Iya, saya salah." Galaksi mengakui itu.
"Kamu juga cemburunya jangan kelamaan, Cala. Toh, mereka sudah pisah lama."
"Ya, walaupun udah lama, tapi--"
Wait.
What?
Cemburu?!
Soal itu, Ancala nggak mau ngaku.
"Siapa juga yang cemburu, Pa?" Ancala protes seketika, saat tersadar papa bilang apa. "Lagian nikah karena dijodohin gini, kok. Aneh banget cemburu."
Galaksi dan papa Ancala bertatapan. Tanpa kata.
Ancala berdecak. "Nggak asyik. Kalian sekongkol!"
Dia pun hendak berlalu, tetapi langkahnya dihambat oleh sosok Galaksi yang menghadang dan berucap, "Makan dulu, Cal."
Betul, tadi mereka kumpul di ruang makan. Galaksi sudah beres masak. Ada ART yang membantu menyajikan, Galaksi hanya memasak, khusus untuk malam ini.
"Cobain masakan Mas."
Detik di mana pipi Ancala malah memanas. Perkara satu kata 'mas', Ancala menekan gerahamnya.
Di sana, Bumantara mengulum bibir. Merasa bahwa tindakannya sudah tepat telah menikahkan mereka.
***
Di kamar.
Malam kian menuju larut, tetapi Ancala belum mengantuk. Meski demikian, dia mencoba terpejam. Rebah menyamping, memunggungi Galaksi yang masih duduk bersandar di kepala ranjang, main ponsel.
Jangan bilang ... sedang chating-an sama bu mantan?
Sontak, Ancala berbalik. Detik di mana dia menghadap Galaksi, di situlah bola mata Galaksi bergulir menatapnya.
"Belum tidur?"
"Yang nanya, belum tidur?"
Dikembalikan secara tunai pertanyaan Galaksi.
"Lagi balas chat."
Rautnya datar dan jawabannya padat, tetapi mengundang beragam jenis tanya negatif di kepala Ancala.
"Lihat." Seolah paham, Galaksi menunjukkan layar ponselnya kepada Ancala. "Grup keluarga sedang ramai."
Begitu katanya.
"Oh."
Aneh, rasanya lega dan ... tersanjung? Karena apa?
Galaksi tampak fokus lagi pada ponselnya, sedangkan Ancala sibuk dengan pikiran sendiri.
"Cal."
"Hm?"
Hanya Ancala yang menatap Galaksi, sosok suami fokusnya awet ke ponsel. Balas chat.
"Minggu depan ada acara, nggak?"
"Hari apa?"
"Sabtu sore sama Minggu."
"Nggak ada."
Barulah saat itu tatapan Ancala berbalas. Galaksi bilang, "Papi sama mami mau ngadain acara trip keluarga. Ikut?"
Well ....
"Terserah."
Tak berbalas, sepertinya langsung mengetik di ponsel. Ancala auto terduduk, kepo. Boleh, kan, ya? Dia mau ngintip chating-annya.
Tanpa sadar, posisi keduanya setipis kulit. Bahkan bersentuhan. Yang demikian itu, membuat Galaksi melirik. Pun, Ancala melakukan hal serupa sehingga tatapan mereka berjumpa.
Terkesiap saat Ancala sadar dia sedang apa, gegas menjauh. Salah tingkah. Sementara Galaksi, sudut bibirnya terangkat geli.
Lucu.
"Bacanya dari sini, ya." Membisik di telinga Ancala.
Kan, jadi terlonjak. Ancala bahkan refleks memekik.
Ponsel itu Galaksi serahkan. Dengan degup jantung Ancala yang heboh takut ketahuan, jangan sampai Galaksi mendengar suara detaknya. Malu. Minimal, tunggu sampai lelaki itu menyatakan perasaannya lebih dulu melalui tutur kata, tak sekadar tindakan.
"Nih." Semakin disodorkan ponsel itu.
Oh, fine. Ancala ambil. Dia meraihnya. Pun, mulai membaca isi chat group Keluarga Semesta.
Mami: Spadaaaa!
Mami: Kesayangan Mami Semuanya, udah pada tidur belum?
Papi: Wajib dibalas.
Kak Nirwana: Hadiroh, Mi.
Kak Nirwana: Wana sama suami aman. Belum bobok. Ada apa gerangan?
Bang Bintang: Aman. Ada apa, Mi?
Bang Guntur: Belum, Mi.
Bang Awan: Gimana, Mi?
Bang Langit: Hadir, Mi.
Bang Wala: Baru mau selimutan. Kenapa, Mi?
Galaksi: Belum.
Mami: Oke, sip. Jadi gini, dalam rangka merayakan hari jadi pernikahan Mami sama papi, kami mau ngadain acara trip keluarga. Pada ikut, ya!
Bang Guntur: Kapan, Mi?
Bang Wala: Wah ... gas, Mi!
Papi: Wajib ikut.
Bang Langit: Ajak keluarga kecil, boleh?
Mami: Boleh, dong! Diajak aja semuanya diajak. Acaranya akhir pekan aja, gimana? Minggu depan. Ultah pernikahannya, sih, Jumat. Hehe.
Mami: Galaksi bisa, kan?
Galaksi: Sebentar. Tanya Ancala dulu, Mi.
Papi: Wajib ikut. Semuanya.
Bang Guntur: Lokasi di mana, Mi?
Bang Awan: Rumah Semesta?
Mami: Di vila, dong! Cari yang adem-adem supaya kalian indehoynya enak.
Bang Wala: Hahaha. Mami ter-the best!
Bang Bintang: Siap.
Membaca itu, pipi Ancala bersemu. Entah kenapa.
Duh ....
Diliriknya Galaksi, detak jantung Ancala semakin kencang berdegup, ternyata tatapan itu tertuju di wajahnya. Ancala pikir Galaksi juga sama dengannya, fokus ke layar ponsel, tetapi tidak. Cepat-cepat Ancala alihkan atensinya ke benda pipih di genggaman. Scroll-scroll.
Galaksi: Ancala oke. Gala ikut.
Mami: Sip!
Bang Wala: Ya elah, Gal. Nama aja Galak, tapi kayaknya tipe-tipe suami tunduk istri, ya? Epic bener segala nanya sama bini dulu. Bini pasti ngikut kita, kali.
Bang Bintang: Tadinya mau sependapat sama Bang Wala, tapi pengalaman mengajarkan Bintang buat bertindak kayak Galaksi.
Bang Langit: Haha.
Papi: Wala bener.
Bang Wala: Tuh, kan!
Papi: Dan Galaksi lebih bener.
Bang Guntur: Haha juga.
Papi: Lebih bagus kalau kita diskusi sama istri dulu sebelum mengambil keputusan, meskipun sejatinya istri adalah makmum, follower.
Galaksi: Iya, Pi.
Bang Awan: Ah shiap.
Mami: By the way anyway buswey, kita otewe Sabtu sore, ya. Minggu sorenya pulang.
Mami: Seorang bawa satu hadiah, ya. Random aja. Nanti kita tukar kado.
Papi: Biaya kado maksimal seratus ribu.
Bang Wala: Lhaaa ... beli apa seratus ribu?
Papi: Yang penting bermakna.
Galaksi: Ok.
Sudah, seperti itu. Masih berlanjut memang, tetapi sudah sampai di situ saja balasan Galaksi. Jadi, Ancala kembalikan ponsel tersebut kepada empunya. Galaksi lantas meletakkannya di nakas.
"Aku juga beli kado?"
"Iya. Nanti sama-sama beli."
Baiklah ....
Bicara-bicara, biasanya kalau suami istri, malam-malam, di kamar, belum ngantuk ... itu enaknya ngapain, ya?
Dan bicara soal suami istri, Galaksi sudah mengajak Ancala untuk menyeriusi hubungan ini, yang dimulai dari perjodohan bernegosiasi, Ancala bersedia. Lantas, apakah nanti akan ada episodee ....
"Cal."
Argh!
Merinding sebadan-badan.
Ancala menoleh kaku. "Iya?"
Pemikiran tadi hanya milik Ancala, yang Ancala tahu.
Perihal isi kepala Galaksi, tatapan mata itu ... apakah sepemikiran dengan Ancala? Sorotannya sulit diraba, tak bisa Ancala terjemahkan. Dia masih sangat awam dalam mengenali sosok pria di sisinya.
"Kenapa?"
Sebab sosok itu hanya diam saja.
Ancala, kan, penasaran. Mau bilang apa? Dengan tatapan semisterius ini.
"Nggak jadi."
Lha?!
Ancala tak lantas merespons. Demi apa pun, kesal sekali. Yang lalu, dilihatnya Galaksi merebahkan diri. Hei!
"Mas."
Akhirnya, lidah Ancala menyebut panggilan itu. Sengaja, Ancala berikan sorot mata paling sensual yang dia punya, sambil menggigit bibir bagian bawahnya.
"Hm?"
Ah, iya ....
Galaksi terduduk lagi.
"Kenapa, Cal?"
Batal rebahan.
Detik di mana Ancala bilang, "Nggak jadi."
Enak, kan?
Galaksi menatap Ancala yang rebah selimutan, menyuguhkan punggung, sedang dia masih loading di sini.