Try Out

1809 Words
Beberapa hari kemudian, Pricilla ke ruangan BK untuk menyerahkan file ringkasan materi yang telah selesai dikerjakan. Kemudian, dia kembali ke kelas dengan membawa perasaan lega. Beruntung, Bu Santi, guru BK yang baik. Walaupun tidak memberinya upah, setidaknya ada kata terima kasih yang terucap. Tapi, namanya juga hukuman, bukan pekerjaan. Jelas saja tidak mendapatkan upah. Pricilla duduk di bangku sekolah depan kelas. Menikmati gemercik air yang mengalir dari keran depan yang tidak ditutup. “Dasar, bibit-bibit tidak bertanggung jawab,” gerutunya sembari menghampiri keran untuk mematikan aliran airnya. Tidak lama kemudian, ada pemberitahuan dari BK untuk setiap kelas mengambil ringkasan materi agar bisa digunakan untuk belajar. Pricilla hanya tertawa miris di depan kelas sembari memainkan bunga mawar yang dipetik dari pot dekat keran. “Pris, lo aja saja ambil,” kata ketua kelasnya. “Ogah. Lo aja,” jawab Pricilla tanpa menatap laki-laki itu yang masih berdiri di depan pintu. Ketua kelas itu pergi ke ruang BK untuk mengambil satu bandel ringkasan materi. Tidak lama kemudian, anggota geng telah kembali ke kelas, kecuali Kim. Mereka menghampiri Pricilla yang duduk di bangku panjang terbuat dari cor semen itu. “Lo kenapa duduk di sini?” tanya Agnetha. “b*****t semua, kalian. Gue ditinggal makan, kan?” jawab Pricilla sembari membuang bunga mawar ke tempat sampah organik. “Lah, kan lo ke BK. Nih, gue bawain makan,” kata Anara sembari mengulurkan satu bungkus nasi untuk temannya. Mereka memang definisi teman yang terbaik. Teman yang bisa diajak apa saja. Pricilla menerima uluran bungkusan nasi itu lalu memakannya. Menikmati satu bungkus nasi dengan lauk tempe dan sambal bawang. Sebuah menu favoritnya yang ada di kantin sekolah. Walaupun, sekolah elit, tapi kantin sekolah tetap menyediakan makanan yang khas dengan nusantara. Selesai makan, Pricilla berkemas. Sebab, mereka hari ini akan pulang awal untuk mempersiapkan uji coba di hari selanjutnya. Benar saja, tidak lama kemudian bel telah berbunyi beberapa kali. Mereka bergegas kembali ke rumah masing-masing. Begitu pula dengan Pricilla yang harus pulang membantu Alya membuat pesanan donat dari pembeli. Beberapa jam kemudian, Pricilla telah sampai di rumah. Mengganti pakaian lalu membantu ibunya. Baru saja berdiri di samping meja di dapur, ponselnya berdering. Ada sebuah pesan dari grup kelas agar mengambil ringkasan materi di sekolah besok siang jam sembilan pagi. Selesai membacanya, ia menyimpan kembali ponselnya. Melanjutkan menghias donat-donat yang sudah dibuat oleh ibunya. “Pris, usaha kamu sama temanmu, bagaimana?” tanyanya. “Ya, begitu, lagi dibicarakan kelanjutannya. Soalnya, kan bentrok sama jadwal sekolah juga. Kalau pemasarannya sudah ketemu, Ma.” Alya hanya mengangguk. Tangan-tangan mereka yang sudah terbiasa dengan donat pun membuat mempersingkat waktu dalam pengerjaan. Sekitar pukul setengah tiga, mereka berangkat untuk mengantarkan pesanan itu. Berjalan kaki untuk menghemat biaya ongkos dan membuat gaya hidup yang lebih sehat. Hitung-hitung, mencari uang sekaligus melakukan olahraga. Entah, orang-orang seakan enggan untuk menggunakan kakinya untuk berjalan. Padahal, dengan jalan kaki memiliki banyak manfaat. Selain menjadikan diri sehat, jalan kaki juga mengurangi adanya pencemaran udara di lingkungan. “Alhamdulillah, akhirnya sampai juga, semoga belum terlambat,” ucap Alya sebelum mengetuk pintu rumah milik pembeli donatnya. “Loh, Ibu jalan kaki? Kenapa tidak mengabari saja, jadi bisa saya ambil ke rumah Ibu,” kata pemesan donat itu sembari menerima donat yang telah rapi di kemas itu. “Tidak apa-apa, Bu. Sekalian kami olahraga, soalnya. Biar tubuh ini gerak dan bisa jauh menghargai Allah sebagai penciptanya.” Alya tersenyum sembari menerima uang dari hasil kerja kerasnya hari ini. Keesokan harinya, Pricilla bergegas mandi sebelum pergi mengambil ringkasan. Menggunakan beberapa produk kecantikan agar kulitnya terawat dan tetap ternutrisi dengan vitamin. Sebagai manusia, seharusnya tahu bagaimana cara menghargai diri sendiri. Salah satunya, dengan merawat diri sendiri. Jika ada orang lain yang mengatakan perkataan-perkataan yang menganggap remeh dengan perawatan diri, biarkan saja. Seperti halnya Pricilla. Banyak orang mengatakan dirinya tidak mampu membeli peralatan rumah yang layak, tapi mampu membeli barang-barang untuk kecantikan. Setelah selesai melakukan rutinitasnya, dia bergegas sarapan lalu duduk di teras rumah sembari memainkan ponselnya. Bukan seperti orang pada usianya yang hanya sibuk dengan sosial media, Pricilla mencoba untuk menggunakan ponselnya dengan positif. Membuka materi-materi sekolah yang ada di internet. Belajar, walaupun hanya sedikit demi sedikit. “Pris, kok belum berangkat. Ini sudah jam setengah sembilan, loh,” kata Alya yang telah siap menggunakan celemek di tubuhnya. Pricilla langsung bergegas mengambil tas lalu berpamitan untuk pergi ke sekolah. Menaiki angkutan umum seperti biasanya. Sampai di sekolah langsung mengambil satu bandel ringkasan. Setelah itu, mereka kembali ke rumah masing-masing. Sekitar pukul sebelas siang, Pricilla baru sampai di rumah. Masuk ke dapur mengambil makan lalu menyantapnya. Menyiapkan alat tulis yang akan dipakai untuk belajar. Seburuk-buruknya namanya, Pricilla akan tetap belajar demi masa depan yang cerah. Walaupun, tidak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Setidaknya, dari awal sudah ada rencana yang jelas dan terarah. Membaca satu kalimat ke kalimat lain sampai paham. Padahal, ringkasan itu dirinya sendiri yang membuatnya. Setidaknya, dengan membaca ulang akan membuatnya semakin mengerti dengan apa yang telah diketik. Sebab, belajar paling mudah adalah memahami isi materi, bukan menghafal materi. Percaya atau tidak, jika kalian menghafalkan materi, ketika ujian tiba, seakan-akan materi yang sudah dihafalkan pasti akan buyar dari pikiran. “Pris, masih belajar?” tanya Alya setelah mengetuk pintu kamarnya sebanyak tiga kali. Sedangkan, Pricilla menggunakan headset di telinganya. Beberapa saat kemudian, Alya masuk ke kamar anaknya karena tidak ada jawaban yang terdengar dari luar kamar. Menaruh s**u di meja belajar anaknya lalu duduk di ranjang yang ada. “Belajar jangan terlalu memaksa diri. Kalau lelah, main dulu saja. Kesehatan mental kamu lebih utama,” kata Alya. Sebenarnya, Alya merasa takut jika anaknya terlalu sibuk dengan kegiatan belajarnya. Bahkan, kadang sampai lupa dengan makan dan minum. Alya pernah membaca sebuah artikel seorang pelajar yang mengalami gangguan mental akibat terlalu dipaksa belajar. Padahal, kondisi pikiran dan fisiknya telah lelah untuk mencerna materi sekolah. “Iya, Mama cantik. Nanti kalau sudah lelah, pasti bakal main atau keluar bantuin Mama bikin donat.” Pricilla tersenyum sembari mengambil segelas s**u yang telah dibuatkan oleh ibunya dengan penuh rasa kasih sayang. “Ya sudah, Mama lanjut kerjaan Mama dulu. Nanti sore harus diantar ke pembelinya,” jawabnya sembari beranjak keluar kamar. Tidak lupa, Alya menutup pintu kamar itu kembali. Dia kembali pada rutinitasnya yang menghasilkan pundi-pundi rupiah demi melanjutkan kelangsungan hidupnya dan putrinya. Jam berputar serasa begitu cepat. Sampai telah bertemu dengan pagi kembali. Pricilla bergegas untuk bersiap pergi ke sekolah. Sebelum pergi, menyempatkan diri untuk minta doa restu agar diberi kelancaran dalam mengerjakan soal ujian hari ini. “Baik, sebelum ujian hari ini di mulai, kita berdoa terlebih dahulu,” kata guru yang dijadwalkan untuk mengawasi uji coba gelombang pertama di ruang TIK A. Anak-anak di ruangan itu lantas berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing. Walaupun hanya uji coba, tetap saja harus mengerjakan dengan benar. Sebab, dengan uji coba itu bisa digunakan sebagai tolak ukur hasil belajar. Tapi, kebanyakan siswa masih menganggap remeh uji coba. Beberapa menit kemudian, mereka mengerjakan soal ujian yang telah terpampang di layar komputer. Satu persatu dikerjakan sesuai dengan kemampuan. Tapi, tetap harus menjawab sesuai dengan materi yang telah dipelajari. “Eh, jawaban nomor tiga apa?” tanya salah satu siswi yang duduk di depan Pricilla dengan teman yang duduk di sebelah kanan siswi itu. Sedangkan, siswi itu menjawab menggunakan jari yang menunjukkan jumlah dua jari, artinya jawaban tersebut adalah ‘B’. Padahal, soal yang ada di setiap layar monitor tidak tentu sama. Pricilla hanya menggelengkan kepala. Tidak mengerti dengan temannya yang sedang sibuk mencari bahan untuk mencari jawaban. Padahal, jelas-jelas soal di setiap layar monitor tidak sama. Tapi, Pricilla hanya diam dan tetap melanjutkan mengerjakan soal yang ada di layar komputernya. “Kalian bisik-bisik, apa?” tanya pengawas sembari menatap tajam. Berdiri mendekati kedua siswi di depan Pricilla. Beliau berdiri di tengah-tengah jalan agar keduanya tidak bisa lagi saling bertukar jawaban. Tentu saja, jawaban yang sebenarnya belum tentu benar. “Jangan tanya sama teman, soal kalian belum tentu sama,” kata guru itu sembari kembali ke depan. Kedua tangan guru itu mengangkat kursi untuk duduk di tengah jalan kembali. Mengawasi kedua siswi yang memang sejak tadi tidak bisa diam dan tenang dalam mengerjakan. Justru, tingkahnya bisa mengganggu konsentrasi siswa atau siswi lainnya. Di sini, anggota geng luoji sedang membuktikan bahwa mereka siswa dan siswi yang mengutamakan kejujuran. Walaupun, kebaikannya jarang dilihat oleh guru-guru. Beberapa waktu kemudian, waktu pengerjaan soal ujian telah selesai. Mereka keluar dari ruangan lalu menuju ke tempat yang mereka gunakan untuk nongkrong masing-masing. Anak geng luoji memilih untuk pergi ke kantin. Memesan makanan dan minuman dingin untuk menetralkan otak dan fisik yang telah lelah diajak berpikir selama dua jam di ruangan ber-AC, tapi memanaskan diri. Duduk di bangku panjang paling pojok sembari menunggu pesanan. Mereka membahas sebuah masalah yang belum juga terpecahkan. Tambah lagi, ada satu hal yang mengganjal. Tapi, Pricilla tidak enak jika harus membahas di tempat itu. Apalagi, di sana ada Kim. “Oh iya, masalah kode. Nanti kita susun lagi. Tapi, belum tahu kapan,” kata Anders mengeluarkan ponsel dari saku celana panjangnya. Tidak lama kemudian, pesanan mereka telah sampai di meja. Menikmati es teh dan sebuah soto khas Betawi yang lezat. Begitu menyegarkan dan meringankan tubuh yang terasa begitu lelah dan tidak nyaman setelah keluar dari ruangan ujian tadi. “Boleh, nanti kabar-kabar saja. Kalau sekarang, kita harus fokus sama uji coba ini,” kata Agnetha sembari memberikan es teh ke Davin. “Ini tehnya,” sambungnya sembari menatap Davin yang duduk di depannya. “Iya, benar. Ujian ini walaupun hanya uji coba, tapi dengan ini bisa dijadikan tolak ukur otak kita,” kata Pricilla sembari membaca salah satu pesan masuk dari salah satu langganan Alya yang memesan donat dua kotak untuk acara ulang tahun. “Jadi, apa pun itu kita harus bisa belajar menghargai sesuatu. Supaya kita juga bisa mendapati hal yang sesuai dengan bayangan kita,” sambungnya sembari meraih mangkok berisi soto itu. “Benar. Hal sekecil apa pun, kita wajib untuk menghargainya,” timpal Anara. “Iya, sih ... terus kalau konsepnya kaya begini, gue harus apa? Nih, Davin enggak pernah menghargai perasaan aku untuknya, terus gue harus bagaimana?” “Move on,” kata Davin dingin. Agnetha diam sembari melanjutkan untuk menghabiskan es teh dari gelasnya. Akhirnya, beberapa menit kemudian, makanan mereka telah habis. Bergerak untuk meninggalkan sekolah, kembali ke rumah. Sebab, hari esok masih harus menjalankan ujian kembali. Ujian yang memang dilaksanakan selama empat hari berturut-turut. Rasanya, ingin sekali menyudahi semuanya. Tapi, keluar sekolah tanpa ada ijazah rasanya begitu rugi. Belum lagi, akan menyusahkan kala mencari pekerjaan yang layak. Bahkan, memiliki ijazah saja belum tentu memudahkan untuk mendapatkan pekerjaan. Jadi, jangan menyiakan waktu yang seharusnya digunakan untuk menimba ilmu dan menebar kebaikan. “Pris, pulang bareng gue saja,” kata Kim di saat teman yang lain sudah pulang ke rumah dengan kendaraan masing-masing. Daripada menunggu angkutan yang entah kapan tiba, Pricilla menerima ajakan dari Kim untuk pulang bareng. Padahal, rumah mereka tidak searah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD