Mobil telah jauh dari sekolah. Tiba-tiba, Kim mendapati sebuah telepon dari ibunya. Katanya, dia harus segera pulang karena ada sesuatu yang penting. Mengetahui hal itu, Pricilla meminta agar diturunkan di jalan. Tapi, Kim meminta agar Pricilla ikut ke rumahnya sementara waktu.
Mau bagaimana lagi, Pricilla mengikuti keinginan Kim. Mungkin, dengan cara ini bisa memberi jalan agar Pricilla bisa mengungkap rahasia yang menyelimuti kehidupan salah satu temannya itu.
Mobil telah berbalik arah. Mengikuti jalur yang sesuai untuk ke rumahnya. Sampai akhirnya, mereka telah sampai di halaman rumah Kim yang begitu khas dengan arsitektur bangunan Korea. Sebuah rumah megah nan mewah yang begitu nyaman, jika dilihat dari luar bangunan.
“Selamat siang,” sapa Kim sembari membuka pintu rumah.
Betapa terkejutnya mereka, ternyata di dalam rumah Kim begitu banyak anggota keluarga yang telah berkumpul di rumah itu. Duduk dengan rapi sembari bercanda yang terdengar begitu asyik dan menyenangkan.
“Kim, dia siapa?” tanya seorang wanita yang terlihat masih muda. Dalam pikiran Pricilla, wanita itu adalah kakak dari Kim. Ternyata, perempuan itu tidak lain adalah ibu kandung darinya.
“Mam, kenalkan namanya Pricilla, teman Kim di sekolah,” kata Kim sembari melirik ke arah Pricilla yang berdiri di samping kanannya.
“Oh iya, silakan duduk, Nak. Biar Mama buatkan minuman dulu,” ujarnya sembari membalik badan. Berjalan ke arah dapur untuk mengambil air minum, seperti yang dikatakan.
“Pris, tunggu di sini dulu. Gue mau ganti pakaian,” kata Kim lalu pergi ke kamarnya. Masuk ke sebuah ruangan yang tidak jauh dari ruang tamu. Apakah dari ruangan itu, Pricilla akan menemukan sebuah jawaban besar? Tapi, bisa saja dengan bergabung di ruang tamu akan memberikan jawaban itu pada Pricilla.
Setelah beberapa jam Pricilla turut bergabung bersama keluarganya, tetap saja tidak mendapati jawaban itu. Pricilla hanya mendapatkan rasa kasih yang begitu tulus dari keluarga Kim. Mungkin, semua anggota keluarganya memang memiliki rasa empati dan rada kasih sayang yang tinggi terhadap sesama. Pricilla saat ini berada di jalan diantar oleh Kim menggunakan mobil yang biasa dipakainya. Sebenarnya, bisa saja Pricilla pulang seorang diri, tapi Kim memintanya untuk bersabar. Sebab, dia akan mengantarkannya sesuai penawaran awal saat di sekolah.
Hari telah berganti. Hari kedua uji coba banyak ujian yang tiba. Mulai dari pagi yang tiba-tiba terjadi hujan deras, lalu ketika ujian tiba-tiba listrik mati. Ya, memang, hujan salah satu anugerah dari Tuhan yang patut untuk disyukuri, tapi jika datangnya tidak tepat, bisa membuat manusia menahan emosi.
“Bu, mungkin ini seharusnya tidak ada ujian,” teriak Anara protes karena haru saja dimulai, listrik telah dipadamkan dari pusat. Mau bagaimana lagi, hujan belum juga reda dan disertai petir kecil-kecil.
“Kalian ini kalau disuruh mencari alasan, pasti pada jago. Tapi, giliran disuruh maju ke olimpiade atau perlombaan pasti langsung menjadi betina semua, gak laki gak cewek sama saja,” jawab guru yang ditugaskan untuk menjadi pengawas di ruangan itu.
“Ya, juga sih, Bu. Paling mudah lagi kalau disuruh bohongin guru,” celetuk Davin yang duduk di barisan kedua.
Seisi kelas tertawa karena merasa apa yang dikatakan Davin memang benar. Coba saja, membuat sebuah kuesioner yang ditujukan pada pelajar, pasti mereka setuju dengan hal itu. Bahkan, tidak jarang para pelajar pasti memiliki pengalaman mengerjai gurunya dengan kebohongan kecil agar tidak jadi pelajaran, misalnya.
“Wah, kalian ini memang pandai dalam hal berbohong, ya. Sebentar lagi listrik sudah nyala, jadi siap-siap, ya,” jawabnya sembari tertawa tipis. Guru itu termasuk nyaman diajak bergurau. Mungkin, dirinya menyadari pernah muda juga. Jadi, sudah begitu hafal dengan kenakalan yang terjadi di masa-masa pertumbuhan atau anak SMA
Hari kedua telah terlewati beberapa jam yang lalu. Geng luoji kumpul di kantin seperti biasanya. Menikmati makanan yang menjadi favorit masing-masing sembari berbicara membahas hal-hal yang tidak penting sampai hal yang begitu penting.
Kim memilih untuk pulang terlebih dahulu. Sebab, di dalam rumahnya sedang kehadiran tamu dari jauh. Salah satu saudaranya sedang pulang kampung dan menempati rumahnya. Jadi, rasa tidak enak kalau tidak segera pulang dan turut menemani tamu di rumah.
“Pris, lo dapat apa?” tanya Anara yang membuat pusat perhatian anak-anak geng luoji.
Mereka memburu pertanyaan daj terus mendesak jawaban. Akhirnya, Pricilla menjelaskan bahwa dia pernah memimpikan sebuah surat yang dirahasiakan oleh Kim. Kemudian, tidak sengaja menemukan surat yang sama persis dengan yang ada dalam mimpi. Surat itu terjatuh dari tas milik Kim saat liburan ke Bogor waktu itu. Pricilla menjelaskan dengan gamblang soal surat itu. Mereka terlihat terkejut dengan penjelasan itu. Tapi, itu pun sebuah fakta yang membutuhkan kepastiannya.
“Pris, lo mau menyelidikinya gitu? Memang apa untungnya buat lo?’ kata Raynar dengan logat Jawa yang memang semakin terdengar kental dan murni.
*Ya, mungkin enggak ada untungnya. Tapi, kita ini teman. Jadi, kita harus saling peduli antara satu dan lainnya. Jangan terus diam saja ketika tahu ada sesuatu yang janggal di antara kita.” Pricilla menyuapkan satu sendok nasi goreng.
“Benar. Tapi, cara terbaik untuk menyelidikinya bagaimana? Tidak mungkin juga menanyakan langsung. Bisa-bisa malah menyakiti perasaannya,” kata Agnetha.
“Gue bakal mencari itu jalan. Jadi penyelundup pun gue rela. Asalkan, gue tahu keadaan yang sebenarnya sama Kim. Supaya kita juga bisa membantunya untuk sembuh dari depresi itu. Itu pun kalau benar,” kata Pricilla dengan begitu antusias. Sebab, kesehatan mental sangat penting dan perlahan harus disembuhkan. Caranya, ya, dengan perhatian dari lingkungan sekitar dan self healing.
Beberapa menit kemudian, mereka telah selesai makan. Membayar ke pemilik kantin lalu kembali duduk bersama untuk mencari jalan keluar dari masalah. Sebuah masalah yang ada harus diselesaikan walaupun hanya dari satu persatu.
Akhirnya, Pricilla memutuskan untuk menyelundup ke rumah Kim demi mencari tahu rahasia itu. Tentu saja dibantu oleh teman-temannya. Tepat pukul setengah sembilan malam, Pricilla menerobos masuk ke kamar Kim melalui jendela yang kebetulan terbuka. Melihat kondisi kamar yang begitu sepi menjadi kesempatan bagus untuk menyelundup masuk. Untung saja, kamar Kim terletak di lantai satu. Jadi, memudahkan akses untuk bisa menerobos masuk ke rumah.
Kakinya mulai berkeliling ruangan berukuran empat kali enam meter itu. Tangannya mulai membuka laci-laci meja atau membuka beberapa berkas dan buku yang tertumpuk dengan rapi di meja. Matanya mulai mencari-cari sebuah bukti yang menjelaskan tentang surat yang masih tersimpan rapi di laci kamar Pricilla. Sudah beberapa laci dan tumpukan kertas itu di bukanya, tapi belum juga membuahkan hasil.
Tiba-tiba terdengar suara kenop pintu terbuka. Pricilla buru-buru masuk ke dalam kolong tempat tidur milik Kim. Benar saja, ada seseorang yang masuk ke kamar itu. Tapi, bukan Kim. Orang itu, ibu Kim yang sedang menaruh pakaian Kim ke almari. Pricilla masih mengingat suara khas dari ibu Kim waktu kemarin.
Setelah perempuan itu keluar, Pricilla melanjutkan aksinya untuk mencari sesuatu yang ada di dalam kamar itu. Tapi, belum juga menemukan sebuah pencerahan pasti. Sampai akhirnya, Pricilla menyadari akan ada seseorang yang masuk ke ruangan lagi. Tapi, kali ini Kim. Pricilla bisa melihat dari kaki Kim yang putih dan begitu bersih tanpa ada bekas luka apa pun. Artinya, Pricilla telah terjebak di dalam situasi yang sulit.
Tiba-tiba, Pricilla merasakan ada sesuatu yang tidak nyaman dari dalam kolong ranjang. Tapi, dia tidak bisa melihatnya secara langsung. Pikirannya mulai kacau dan keliling ke mana-mana. Mengingat, Kim juga laki-laki normal yang bisa saja memiliki hawa nafsu. Lalu, jika benar begitu, Pricilla benar-benar serasa hidup di bawah neraka yang membahayakan.
Tak terduga, ada sebuah bom atom keluar dari tubuh Kim. Bau yang menyengat begitu memabukkan diri Pricilla yang masih terperangkap di bawah kolong ranjang.
“Astaga, perut kenapa mulas segala, sih. Enggak bisa banget diajak kompromi. Mana ini kaki pegal-pegal,” ujarnya dengan nada yang terdengar begitu kesal.
Ternyata, ada sebuah gempa dari ranjang itu karena kakinya yang tidak bisa diam. Akibat dari kaki yang begitu lelah dan keram. Padahal, kegiatan di sekolah tidak berat dan tidak ada kegiatan di lapangan. Lalu kenapa dia merasakan kaki pegal?
Sebelum Kim kembali ke kamar, Pricilla buru-buru keluar dari kamar itu. Tentu saja dengan tangan kosong. Sama sekali tidak menemukan berkas yang bersangkutan dengan surat dari psikiater ataupun kondisi Kim yang sering mimisan.
Sekitar pukul setengah sepuluh malam, Pricilla kembali ke mobil Anara yang terparkir tidak jauh dari rumah Kim. Beruntung, malam itu tidak ada bapak-bapak yang meronda. Jadi, mereka lebih leluasa keluar masuk dari rumah khas Korea itu.
“Pris, hasilnya apa?” tanya Anders sembari tersenyum menjelekkan karena kinerja Pricilla dianggap tidak mulus.
“Bau bom yang begitu menyengat,” jawabnya dengan kesal.
Mereka tertawa sampai jungkir balik. Tidak tahu saja bagaimana Pricilla menahan agar tetap tenang di bawah tekanan. Sedangkan, mereka dengan seenaknya saja menertawakan tanpa memberikan dukungan yang positif.
“Ra, pulang. Ngantuk gue, mual juga,” kata Pricilla yang terlihat begitu bete.
Anara pun mulai mengendarai mobilnya. Baru juga jalan satu meter, Anara mengerem mendadak. Sampai-sampai mereka terpental ke depan. Beruntung, mobil yang ditumpangi mobil pribadi yang begitu nyaman, bukan mobil sayur para pedagang. Bisa-bisa kepala sudah tiada kabar baik.
“Davin, lo aja yang nyetir. Gue ngantuk banget, takut malah ada apa-apa, nantinya,” kata Anara sembari menatap ke arah belakang. Di mana Davin duduk di sebelah Pricilla. Davin mengangguk lalu keluar. Masuk ke bangku depan bagian pengemudi. Menggunakan kecepatan di atas rata-rata agar segera sampai di rumah Anara. Mereka rencana akan menginap di rumah Anara karena sudah malam. Sedangkan, Anders, Raynar, dan Davin memutuskan untuk pulang dan menginap di rumah Anders yang memang tidak terlalu jauh dari rumah Anara. Mereka ke rumah Anders menggunakan mobil Anara yang berwarna putih mengkilap itu. Tambah, lagi mobil yang terlampau bersih dan wangi, begitu memberi seribu kenyamanan itu.
Brak!