Rasa Empati Terhadap Sesama

1071 Words
Alya menatap ke arah tempat di mana Pricilla menunjuk seorang anak yang tampak terduduk dengan tangan memegangi perut akibat menahan kelaparan. “Ya Allah ternyata masih banyak orang yang jauh lebih susah dari kita, ya.” Alya menatap anak itu dengan iba. Beberapa waktu kemudian, pesanan martabak yang dipesan pun telah matang. Alya dan Pricilla membayar uang sejumlah lima puluh ribu lalu beranjak menyeberang jalan. Menghampiri anak kecil yang duduk di sana sembari menangkup tubuhnya dengan tangan mungil. “Nak, hai kamu dengan siapa di sini?” tanya Alya dengan lemah lembut. Alya dan Pricilla berjongkok agar sejajar dengan gadis itu. “Maaf, kalau saya ... mengganggu dengan duduk di tepi jalan.” “Tidak, Sayang. Nama kamu siapa? Nih, Kakak punya martabak untuk kamu,” jawab Pricilla memberikan satu kantong plastik berisi satu dus martabak. “Nama aku Nana, terima kasih Kak.” Gadis itu lari sembari membawa karung berisi sampah plastik. Alya dan Pricilla pun beranjak sembari tersenyum memandangi punggung gadis itu. Mereka berjalan untuk kembali ke hunian ternyaman untuk menjalani hidup. Beberapa waktu kemudian, mereka telah sampai di rumah. Duduk di ruang tamu sembari menikmati martabak manis dengan air putih hangat. Menyalakan televisi untuk mengisi rasa sunyi yang tercipta di antara mereka di ruangan yang sempit itu. “Mam, terima kasih. Prissy belajar banyak tentang kehidupan dari Mama. Sejak kecil, Prissy selalu diajarkan untuk memiliki rasa empati kepada orang lain. Prissy janji akan membantu sesama walaupun keadaan Prissy yang juga sedang membutuhkan, sebenarnya.” “Martabaknya di makan dulu. Nanti tersedak,” jawab Alya sembari menikmati martabak manis ditemani air putih yang telah dingin oleh suhu ruangan. Alya berjalan ke kamar untuk mengambil selimut berwarna merah. Membalut tubuhnya sembari duduk di bangku yang terbuat dari bilah bambu itu. Nikmat yang harus disyukuri, masih bisa merasakan makanan mengandung gula dengan sesuka hati. Tapi, bukan berarti terus seenaknya mengonsumsi gula. Alya harus mengingat umur ketika menikmati suatu hidangan masakan. Dua jam kemudian, acara televisi kesayangan telah selesai. Alya memilih untuk meninggalkan ruang tamu ke dalam kamarnya. Merebahkan tubuh untuk memanjakan diri kepada malam yang menemani. Pricilla yang memang lebih suka tidur terlalu larut malam pun memutuskan untuk bergerilya di papan selancar benda pipih itu. Membuka akun sosial pribadinya untuk mencari tahu banyak hal. Biasanya, dari sana dia akan menemukan berita-berita terbaru tentang tetangga, sekolah, bahkan artis dan pejabat kondang di Indonesia. Zaman yang canggih seperti saat ini telah berkembang pesat. Berbeda dengan zaman terdahulu yang harus membeli koran atau surat kabar untuk mengetahui berita penting dari dunia. Jadi, di era saat ini pendidikan teknologi pun sangat penting untuk diajarkan pada kalangan remaja maupun anak-anak. Tujuannya untuk menghadapi masa depan yang lebih canggih. Akan tetapi, kecanggihan teknologi jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan kebodohan. Di sinilah peran orang tua dibutuhkan. “Astaga, ini artis nikahan maharnya pakai dollar, lah gue ketemu jodoh saja belum.” Pricilla menatap sepasang foto pengantin yang sedang resepsi di sebuah gedung. Akan tetapi, Pricilla terkejut dengan adanya sebuah unggahan di bawahnya. Di mana seorang anak yatim piatu yang dilalaikan oleh keluarganya. Hal itu, Pricilla ketahui dari penuturan si pemilik akun di kolom deskripsi. Dari unggahan itu terdapat sebuah foto anak laki-laki berpakaian lusuh sedang membaca ayat suci. “Masya Allah, sebenarnya anak ini tampan. Tampan paras dan juga hatinya. Walaupun terlantar, tapi masih mau untuk mengingat Allah. Apalah gue yang salat saja masih harus beradu mulut terlebih dahulu. Membaca Al-Quran kalau lagi ada acara penting atau rutinitas setiap Hari Kamis sore. Astaghfirullah,” lirih Pricilla, “semoga Allah selalu melindungimu,” sambungnya mengganti unggahan lain yang ada di sosial medianya. Tidak terasa waktu telah larut. Pricilla memutuskan untuk segera memejamkan mata. Mencari titik ternyaman di kasur yang telah membentuk perahu siap berlayar itu. Kukuruyuk...! Pricilla terbangun kala mendengar suara ayam berkokok. Tepatnya pukul lima pagi. Dia bergegas untuk masuk ke kamar mandi. Bersiap-siap berangkat ke sekolah dan bertemu dengan sahabatnya. Alasannya berangkat ke sekolah hanya untuk main bersama temannya. Kalau mau menjadi anak yang pintar, dirinya saja sudah pintar. Selesai bersiap, dirinya bingung dengan bahan dagangan yang entah belum dikerjakan atau sudah. Beranjak ke dapur dengan memakai seragam sesuai jadwal. Di sana, dia melihat Alya yang masih kewalahan dengan toping yang akan digunakan untuk menghias pada donat buatannya. “Mama goreng saja. Biar aku yang hias, bismillah akan selesai tepat waktu,” kata Pricilla sembari mengambil beberapa jenis toping yang masih ada di rak. Tangannya mulai untuk menghias donat sampai selesai. Setelah itu, Pricilla beranjak untuk mengemas dengan plastik. Sementara, stiker untuk kemasan belum sempat untuk dicetak. Akhirnya, menggunakan kemasan seadanya untuk mempersingkat waktu. Tepat pukul setengah tujuh, aneka donat telah selesai dikemas. Pricilla memakai sepatu dan mengambil tas di kamarnya. Setelah donat-donat selesai di masukkan dalam boks, Pricilla bergegas ke sekolah. Tentu saja, sepanjang perjalanan berharap agar tidak terlambat. Benar dengan pepatah yang mengatakan, apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai. Pagi ini, Pricilla mendapati seseorang baik yang membantunya. Tapi, tentu saja orang itu hanya Kim. Lagi-lagi, Kim bertemu Pricilla yang tengah berjalan kaki sembari menunggu angkutan umum. Kim yang tidak tega melihat sahabatnya pun memberikan tawaran untuk bareng ke sekolah. “Ayo,” kata Kim. Pricilla yang telah kalut ketika melihat jam di lengan tangannya pun memutuskan untuk masuk ke mobil Kim. Memangku barang dagangannya duduk di sebelah bangku pengemudi. Benar-benar di luar dugaan, jika mereka akan bertemu kembali. Masih di dalam mobil yang sama dan perasaan Pricilla yang sama. Perasaannya yang merasa curiga dengan keanehan sikap dari Kim. Sepanjang perjalanan hanya ada ruang hampa tanpa suara. Sampai akhirnya mereka sampai di sekolah tepat pukul tujuh kurang dua menit. Beruntung, pintu gerbang belum tertutup rapat, walau sudah tertutup. Pricilla berlari ke kantin untuk menitipkan dagangan. “Bu, saya tinggal terlebih dahulu, terima kasih,” ucapnya sebelum pergi ke kelas. Pricilla telah duduk di bangkunya sebelum guru datang. Mengusap wajahnya menghilangkan keringat dingin yang mengucur akibat rasa gugup yang berlebih. Benar-benar sedang menguji andrenalin dengan berangkat setengah jam sebelum bel masuk. Sampai akhirnya nyaris terlambat dan tidak bisa bertemu dengan teman satu komplotannya. “Huft, b******k!” teriak Anders dengan keras. Pricilla mendongak menatap Anders yang ada di depan sana. Ternyata, dia terlambat dan harus mendapati hukuman. Membersihkan kamar mandi dan mencabuti rumput di depan ruang guru. Bukan tidak ikhlas, tapi membersihkan kamar mandi saja rasanya pusing tujuh keliling tambah dijemur di depan ruang guru. Belum lagi, rumput liar bertumbuh sempurna membuat perih di jemari. “Anders, lo enggak kesurupan kan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD