Anders menatap Agnetha yang sedang berada di dekatnya. Rasa hati ingin menyemburkan dengan air ludah. Tapi, itu bukanlah hal yang baik. Sama sekali tidak mencerminkan kemanusiaan. Anders memilih duduk di bangkunya meninggalkan Agnetha.
“Nders, tangan lo luka? Ke UKS, gih,” ucap Anara yang memang tidak sengaja melihat tangan Anders berdarah di bagian telapak tangan.
“Biasa saja, sih. Nanti juga kering sendiri. Lagi pula malas ke UKS petugasnya enggak ada yang menarik.” Anders melepas gendongan tasnya.
“Lah, lo mau mengobati luka tangan apa luka hati?” sahut Pricilla dengan diiringi tawa yang begitu tipis.
Anders terdiam lalu berdiri. Tiba-tiba Agnetha mengatakan agar Anders segera ke UKS untuk mengobati lukanya. Agnetha khawatir jika luka itu menjadi infeksi, sebab tangannya tadi berkutat dengan tanah.
“Iya, ini gue mau ke UKS!” teriaknya lalu berlalu.
Tidak lama dari Anders pergi ke UKS, guru yang akan mengajar di jam pertama telah masuk ke kelas. Beliau memberi salam lalu duduk ke tempat duduknya. Matanya tampak mengelilingi ruang kelas untuk mengamati siwa-siswinya. Gunanya, mempersingkat waktu dalam absensi.
“Anders ke mana?” tanyanya sembari menunjuk bangku kosong dengan bolpoinnya.
“Anders ke kantin, Bu.” Pricilla sedang sibuk dengan pensil alisnya.
Kegiatan Pricilla yang begitu asyik membuat guru itu terusik. “Kantin?” tanyanya.
“Eh, UKS, Bu. Maaf,” sahut Pricilla membenarkan. Tapi, tangannya tak henti dari menggambar alis.
Guru itu beranjak. Menghampiri Pricilla dengan tegas mengambil pensil alis. Menyuruh Pricilla agar menghapus alisnya. Tidak layak seorang pelajar memakai alis dengan tebal seperti kesukaan Pricilla.
“Lain kali, jangan lagi,” kata guru itu sembari mengeluarkan ponsel. Menerima telepon selama beberapa menit. “Saya tinggal dulu, kalian buka buku Bahasa Indonesia kerjakan halaman paling belakang,” katanya sembari mengambil perlengkapan mengajarnya.
“Bu, pensil alis ... saya?” lirih Pricilla sembari tersenyum.
“GAK ADA!” katanya dengan tegas.
Guru itu telah pergi. Jam kosong di jam pelajaran pertama membuat kebanggaan tersendiri bagi anak-anak kelas. Mereka dengan bebas menyambung mimpi semalam yang harus terputus akibat siraman air dari ibunya atau terbangun karena selimut yang diseret oleh seorang ibu. Ada juga yang memilih tetap mengerjakan tugas, tapi ada juga yang pergi ke kantin membeli makanan.
Anders telah kembali ke kelas. Telapak tangannya telah diobati dan dibungkus dengan perban. “Gila, lo lama kali di UKS, ngapain?” tanya Raynar dengan logat Jawa sembari merangkul pundak ketua geng itu.
“Habis ngen sama petugasnya,” candanya.
“Gila! Hati-hati loh kena HIV,” celetuk Davin.
“Enggak lah, di UKS enggak ada yang tugas. Gue ngobatin sendiri, terus bablas tidur sekalian. Masih ngantuk soalnya. Oh iya, ini gurunya ke mana?”
“Jam kosong, dikasih tugas. Tapi, gue malas ngerjainnya,” jawab Kim dengan tangan masuk ke dalam saku celananya.
“Aelah, tahu gitu tadi lanjut tidur di sana aja,” kata Anders sembari mengusir teman-temannya dari mejanya. Alasannya, agar meja yang tidak seberapa itu setidaknya kuat untuk menyangga kepalanya.
Tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Waktu pulang sekolah telah tiba. Mereka berkeliaran ke luar gerbang. Geng luoji pun bergegas untuk melanjutkan kegiatan bersama anak-anak jalanan yang selama ini mereka temani untuk belajar dan lainnya.
Ketujuh anggota geng itu beranjak meninggalkan sekolah lalu pergi ke daerah tempat anak jalanan tinggal. Berada di kolong jembatan tidak membuat mereka lengah untuk belajar. Justru, semangat mereka untuk belajar melebih anggota geng yang bermalas-malasan ketika berada di kelas mengikuti kegiatan pembelajaran.
“Hai, adik-adik, apa kabar?” kata Anders yang berdiri di tepi jalan. Sedangkan, anak-anak itu masih sibuk dengan botol-botol plastik yang ada di ujung lahan pembuangan sampah tidak jauh dari kolong jembatan.
Mendengar suara Anders yang khas dan tidak asing di telinga pun membuat mereka bergegas menghampiri ke asal suara. Berlarian dengan meninggalkan karung dan alat yang mereka gunakan untuk mencari botol atau paku-paku bekas.
“Kakak, kok baru ke sini lagi?” tanyanya.
“Iya, maaf. Kali ini Kakak mau mengajak kalian untuk mengenal huruf.” Anders tersenyum dengan manis.
“Tapi, kami sudah besar. Apa ... tidak terlambat kalau baru mau belajar huruf?” lirih salah satu dari mereka.
Memang, anak jalanan itu sudah beranjak usia delapan tahun ke atas. Bahkan, ada yang sudah menginjak usia empat belas tahun. Tapi, mereka berhak untuk dapat membaca atau menulis. Bahkan, berhitung sekalipun.
“Enggak ada yang salah dengan kata terlambat. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Jadi, ayo kita belajar bareng-bareng.” Pricilla mengeluarkan buku miliknya dari dalam tas.
Menyobek beberapa lembar sampai anak-anak jalanan itu terbagi sama rata. Meminjami mereka dengan alat tulis yang seadanya. Ada yang kebagian pensil, bolpoin, dan kebanyakan menggunakan pensil warna untuk bisa menulis. Alat tulis yang dipinjamkan oleh geng luoji kepada mereka telah membuat mereka bahagia. Bahkan, tawa dan senyumnya begitu terlihat sempurna.
“Sekarang, kalian lihat apa yang Kak Anara tuliskan di bukunya, ya?” kata Pricilla sembari melangkah maju untuk berdiri di belakang anak-anak itu duduk sembari belajar.
“Adik-adik, ini adalah huruf ‘A’, ya, tolong di tulis dulu ke kertas masing-masing,” kata Anara setelah menuliskan beberapa huruf di buku kosong itu.
Anak-anak jalanan itu dengan semangat yang membara mengikuti pembelajaran yang diajarkan oleh Anara. Setelah kegiatan belajar selesai, mereka menikmati makanan bersama di sebuah warung terdekat. Makan dengan menu yang sederhana, tapi memberi rasa termewah oleh kebersamaan dan damai yang menyelimuti.
Anak-anak itu bersyukur bisa bertemu dengan anggota geng luoji. Mereka bangga kepada tujuh orang asing yang mau mengajar dan membelikan makanan dan barang-barang yang bisa digunakan bersama. Begitu pula anggota geng yang bersyukur bisa belajar arti kemanusiaan dan rasa syukur dari anak-anak itu. Walaupun cara mereka kurang tepat, tapi mereka yakin akan menjadi ladang pahala untuk korban-korban perampasan yang mereka lakukan.
Setelah selesai makan, mereka kembali ke kolong jembatan untuk melanjutkan pekerjaan. Sedangkan, geng luoji masih singgah di warung untuk membahas sesuatu.
“Apa kita bakal meminta-minta secara tidak layak untuk membantu mereka? Padahal, mereka tetap mengerjakan pekerjaan walaupun dipandang sebelah mata. Sedangkan, kita .... “ Pricilla mengambil ponsel dari dalam tasnya.
“Iya, juga sih. Andai mereka tahu uang yang kita gunakan untuk membantu ternyata hasil memeras, apa mereka enggak kecewa sama kita?” sahut Anara yang masih sibuk menghabiskan makanannya.
“Jelas saja bakal kecewa,” timpal Raynar, “tapi mau bagaimana lagi? Kalau kita minta sumbangan ke mereka secara baik-baik juga gak bakal mau. Alasannya tidak ada uang lebih,” sambungnya.
Davin yang sedang asyik main game di ponselnya pun mematikan sebelum saatnya. Demi mengikuti pembahasan yang begitu penting. “Apa kita rubah semuanya? Mencari donasi dengan cara yang tepat. Entah dari membuat bazar atau lainnya,” kata Davin dengan menatap Anders yang sedang menyeruput es teh.
“Bisa saja kita adakan workshop, konser, dan hal lain untuk penggalangan dana. Tapi, semua itu juga butuh modal. Sedangkan, modal untuk membeli peralatan belajar mereka saja belum ada. Apalagi modal untuk penggalangan dana seperti itu,” kata Anders.
“Terus ...?” tanya Pricilla sembari meletakkan ponsel ke atas meja.
“Pris, bagaimana kalau kita jualan donat. Jadi, kita kerja sama dengan usaha lo. Nah, keuntungan bagi dua. Separuh untuk lo pribadi dan separuhnya untuk mereka,” kata Anara sembari menengok ke arah anak-anak jalanan yang sedang mencari sampah plastik.
“Bisa saja. Tapi, modal gue enggak cukup untuk membuat donat lebih banyak lagi,” ujarnya.
“Gue setuju. Untuk penambahan modal kita patungan seratus ribu tiap orang untuk modal awal. Tapi, kita harus memikirkan strategi marketing yang lebih bagus lagi. Sebenarnya, nama dari brand yang dibuat Prissy sudah bagus. Cuman, perluasannya yang belum menjangkau.” Kim mengutarakan pendapatnya sembari menikmati camilan tempe mendoan.
“Oke, sebelumnya kita harus membuat beberapa akun sosial media agar nantinya bisa diperluas di wilayah Jakarta. Tapi, kita harus membuat sampel produk dan video.” Anders mengelap bibirnya yang basah akibat air es teh.
“Oke, walaupun ide muncul terlambat, tapi tidak masalah. Daripada kita tidak melakukan aksi sama sekali.” Agnetha berdiri sembari mengambil tisu yang ada di depan Kim.
Mereka bergegas untuk pergi kembali ke rumah masing-masing. Sebelum azan magrib, mereka selalu mengusahakan agar sudah sampai di rumah. Alasannya, agar tetap aman dan selamat sampai di rumah.
Pricilla duduk di teras untuk menunggu Alya. Entah, ke mana wanita itu pergi menjemput rezeki. Melepas sepatu lalu mencuci tangan, wajah, dan kaki di air keran depan rumah sederhananya.
“Pricilla ...!” teriak Ibu RT setempat dari kejauhan.