“Apa?” tanya Kim sembari menatap Pricilla dengan serius.
“Lebih baik kita cari tempat yang sejuk biar otak bisa mikir itu kode. Gue sah capek sama perihal kode itu.”
“Ya, sama. Nanti kita bahas saja,” katanya sembari menyalakan mobilnya.
Kim telah pergi dari depan gang rumah sederhana milik Pricilla. Agar sampai di rumahnya, Pricilla harus menempuh jalan kaki sepanjang seratus meter dari gang.
Masuk ke dalam rumah lalu meneguk air putih. Mengelap keringat yang bercucuran dengan tisu. Duduk di ruang makan sembari menikmati nasi dengan telur dadar sebagai lauknya. Tidak lama kemudian, Alya telah pulang dari rumah majikannya.
“Ma, aku ambilkan minum, ya,” katanya.
Pricilla mengambil gelas di rak yang ada di dekat kompor. Menuangkan air putih lalu diberikan kepada ibunya yang tengah duduk di sampingnya. “Pris, kamu sudah makan?” tanyanya dengan lembut. Matanya melihat ke arah piring yang berisi telur dadar tinggal seperempat.
“Sudah, tadi telurnya tinggal setengah. Terus, Prissy bagi lagi menjadi dua bagian. Nah, ini untuk Mama,” jawabnya sembari mengambil dua sendok nasi ke piring. “Silakan dinikmati, Mama.”
Alya menikmati makannya dengan rasa penuh bahagia. Memang, dia bukanlah seorang yang memiliki banyak materi, tapi dia bersyukur memiliki harta yang tidak bisa dinilai dengan rupiah. Pricilla, seorang anak yang terlahir dari rahimnya. Sebuah harta berharga yang dititipkan Allah kepada dirinya. “Terima kasih,” ujar Alya sembari mencium kening putrinya dengan begitu mesra.
Udara mulai dingin selayaknya air es dari dalam kulkas yang menempel pada permukaan kulit hingga seakan menusuk sampai tulang-tulang. Artinya, hari telah gelap seutuhnya. Pricilla beranjak ke kamar untuk menikmati empuknya kasur yang sudah kempes bagian tengah. Sampai-sampai, Pricilla tidak menyebutnya kasur melainkan perahu dalam kamar.
“Untung gue masih sayang, kalau enggak ... udah gue buang ke samudera!” teriaknya dilanjutkan tertawa riang. Walaupun, kamarnya tidak semegah milik Anara atau Agnetha, Pricilla bersyukur masih bisa tidur beralaskan kasur dan memiliki almari serta meja belajar di dalam kamarnya.
Tidak lama kemudian, ponsel miliknya berbunyi dengan nyaring. Bahkan, tanpa ada jeda sekalipun. Di dalam grup yang dibuat khusus geng luoji sedang membahas berbagai cara agar hukumannya segera selesai.
Anders menyarankan untuk pergi ke Bogor. Mencari sesuatu yang menyegarkan dan memberikan suasana baru. Menurutnya, Bogor tempat yang tepat untuk mengerjakan hukuman. Sebab, udara yang menyejukkan akan meringankan beban pikiran. Terutama, untuk Davin dan Agnetha agar bisa berhubungan lebih baik lagi. Siapa tahu, dari Bogor akan menciptakan rasa spesial di hati Davin untuk Agnetha. Bisa saja kan?
Saran dari Anders pun disetujui oleh semua anggota. Keputusan final, mereka berangkat besok pagi sekitar pukul enam dengan menaiki mobil milik Kim. Berangkat bersama dengan titik kumpul warung Pak Rahman.
Hari semakin larut. Sekiranya Pricilla sudah tidak ada lagi pembahasan yang tidak begitu penting. Dia memutuskan untuk menjemput mimpi di tengah perahu empuknya itu.
Beberapa jam kemudian, Pricilla terbangun. Tepatnya, pukul tiga dini hari. Duduk bersandar punggung ranjang mengamati langit-langit kamarnya. Tidak lama kemudian, dia beranjak menemui Alya yang baru selesai membereskan kamarnya.
“Mam, hari ini Prissy ke Bogor sama teman-teman,” ucapnya meminta izin kepada sosok ibu yang sedang berdiri di samping ranjang. Bahkan, Pricilla sendiri belum membersihkan diri sudah meminta izin pada ibunya.
“Ya, mandi sekarang,” katanya.
“Masih jam tiga ini,” jawab Pricilla dengan lembut.
Mereka berjalan ke dapur untuk menyiapkan makanan. Makanan yang akan disantap untuk sarapan. Jika ditanya, kenapa sepagi itu? Jawabannya pun sesederhana pertanyaan. Alya harus berangkat kerja pukul setengah enam setiap harinya. Memilih masak jam tiga karena harus membersihkan rumahnya sebelum pergi menjemput rezeki.
Selesai masak, Pricilla beranjak ke kamar untuk mengambil pakaian lalu membersihkan diri. Tiga puluh menit kemudian, dia duduk membantu mencuci piring dan menyapu. Tiba pukul lima tepat, mereka menyantap makanan lalu membersihkan piring kotor.
Tepat pukul enam, Pricilla telah sampai di warung sesuai kesepakatan. Duduk bersama Anara menunggu Kim dan yang lainnya. “Ah, kesal gue. Katanya harus tepat waktu,” kesalnya.
“Begitulah warga +62 suka ngaret waktu, tapi kalau disuruh ngaret rumput mana ada yang mau,” jawab Anara.
“Ngaret ... rumput? Maksudnya?” jawab Pricilla.
“Bahasa Jawa itu. Artinya, ya ... semacam motong rumput buat makan ternak,” jawabnya.
“Asyik ... Lo ketularan Raynar. Apa lo malah udah jadian sama dia?”
“Belajar Bahasa Jawa enggak cuman sama dia kali,” jawabnya jutek.
Tidak lama kemudian, mereka telah berangkat bersama ke Bogor. Menikmati perjalanan dengan diisi nyanyi bareng-bareng. Tujuannya agar tidak mabuk perjalanan. Ada juga yang asyik memakan camilan, yaitu Agnetha. Tambah lagi, matanya yang hanya menatap luar jendela tanpa ikut bersorak nyanyi.
“Tha, ayo dong. Jangan galau mulu ... Nih, Davin gue tendang anunya,” kata Anara sembari tertawa tipis. Seketika, Agnetha menatap ke arah Anara dengan sorot mata yang begitu tajam. Saking tajamnya, bola matanya meminta untuk keluar.
“GAK BOLEH!” teriaknya.
Bibirnya yang mengerucut dan tangan terlipat di depan d**a begitu menggemaskan. Hal itu pula yang membuat seisi mobil tertawa lepas. “Anjir, gue jadi bahan bully,” celetuk Davin sembari menutup bagian sensitif.
“Kenapa enggak boleh?” goda Raynar dengan logat Jawa.
“Ya ... Katanya kan kalau ditendang bisa sakit. Malahan, katanya seperti beribu tulang dipatahkan bersamaan,” jawab Agnetha dengan begitu polosnya.
Jawaban tak terduga yang membuat bahan tertawa seisi mobil. Keasyikan bercanda sampai tidak sadar hampir menabrak portal jalan. Dasar, Agnetha si polos bin t***l.
Beberapa waktu kemudian, mereka telah sampai di Bogor. Istirahat di vila yang telah disewa. Mereka memesan dua vila agar bisa memisah antara kaum Adam dan Hawa. Bagaimanapun mereka harus menjunjung tinggi adab di Indonesia dan ajaran agama. Berjaga-jaga agar terhindar dari pergaulan yang blasak. Sebab, bagaimanapun mereka manusia normal yang bisa saja khilaf.
“Nah, nanti jam sebelas kita ke kebun itu saja. Cari yang segar-segar agar tidak berasap terus ini otak. Gue masih muda dan masih mau hidup waras,” kata Pricilla sembari meletakkan tas ransel yang berisi perlengkapan selama di Bogor.
“Iyalah, gue juga ogah kena sindrom apa pun itu,” jawab Anara yang sedang berdiri di belakang sofa sembari membenarkan ikat rambutnya.
Mereka merebahkan diri di sofa. Menikmati semilir angin Bogor yang masuk melalui celah-celah ventilasi. Menonton film dari platform digital dan ditemani camilan berbahan dasar ketela. Benar-benar nikmat yang patut untuk disyukuri.
Beberapa jam kemudian, mereka bergantian membersihkan diri. Kemudian pergi ke perkebunan teh untuk menikmati udara segar khas pegunungan. Duduk di tepi kebun sembari memikirkan angka kedua yang akan dipakai dalam satu rangkaian kode rahasia untuk sekolah.
“Sekarang kita mau pakai apa lagi?” tanya Anders.
“Biasa aja lah. Pakai hitungan matematika saja,” jawab Kim yang tidak mau ribet dengan angka yang menyebalkan itu.
“Kenapa enggak mencoba cara baru?” tanya Pricilla sembari berjalan ke arah pohon teh. Menyentuh pucuk daun teh yang aromanya begitu menenangkan telah berhasil mengusik hidungnya.
“Cara apa?” sahut Agnetha tanpa senyum. Mungkin, luka di dalam hatinya belum mengering. Oleh karena itu, bibirnya belum ingin membentuk senyuman yang manis.
“Ehm, bagiamana kalau .... “
“PRIS, AWAS!” teriak Agnetha.