Patah Hatinya Davin

1225 Words
Pricilla menatap ke arah Anara. Begitu dalam sampai tak sanggup untuk membaca pikiran dari sahabatnya. Ya, jelas saja, bagaimana bisa membaca, jika Pricilla tidak memiliki indra keenam. “Iya, kejanggalan. Tentang ... Kim. Sebenarnya, ada yang aneh dari Kim. Coba deh lo selidiki. Lo kan paling dekat,” sambungnya. “Oke,” jawab Pricilla sembari memainkan ponselnya. Tidak lama kemudian, Davin yang telah sampai pun duduk di sofa dengan mimik wajah yang terlihat berbeda. Seperti, ada masalah yang hinggap di kepalanya. Aelah, dipikir lagu cecak-cecak di dinding. “Lo ... kenapa?” selidik Pricilla. “ Gue ... Gue patah hati. Kalian tahu kan anak baru di kelas sebelah? Dia punya pasangan,” lirihnya. “Aelah, gue kira kenapa. Dav, itu artinya lo memang di satukannya sama Agnetha. Sama Tuhan, lo enggak boleh pindah-pindah hati,” jawab Anara sembari menyalakan televisi yang super besar itu. Tidak lama kemudian, Agnetha masuk ke rumah Anara tanpa permisi. Berpakaian dengan ciri khasnya melangkah seperti miss universe sembari berteriak selayaknya orang dalam gangguan jiwa. “Tha, lo masih waras kan?” tanya Anara sembari menatapnya kebingungan. Memang, Agnetha seorang gadis yang memiliki sifat begitu random. Kadang pintar, kadang t***l, kadang bucin, kadang juga sengklean seperti saat ini. Rok hitam panjang dan kaos berwarna putih dengan lengan pendek itu melekat di tubuhnya dengan anggun. Sayang, aksesoris yang digunakan terlalu berlebihan. Kalung yang terbuat dari manik-manik, menggunakan gelang, rambut diikat kuda, memakai kacamata untuk anak-anak berwarna putih, dan sepatu warna hitam. “Gue waras. Memang ada yang salah?” tanya Agnetha yang berhenti jalan di belakang sofa berjarak tiga langkah. Anara menggeleng lalu mendekati temannya. Melepas ikatan rambut dan aksesoris yang melekat. Merapikan rambut Agnetha yang begitu lembut dan harum. Mendekat ke telinga Agnetha untuk membisikkan sesuatu. “Kalau lo seperti ini, bagaimana bisa seorang Davin mau sama lo? Lo, lihat kan siswi baru yang kemarin? Nah, kira-kira tipe cewek idaman Davin itu seperti dia. Anggun, cantik, pokoknya terlihat sempurna,” bisik Anara. Satu detik kemudian, mereka melangkah untuk duduk di sofa. Menonton televisi untuk menunggu teman yang lainnya. Anara beranjak ke dapur mengambil minuman dan beberapa camilan yang sudah disediakan. Menawarkan kepada temannya yang sedang asyik di depan televisi. Sekitar lima menit kemudian, Kim, Anders, dan Raynar telah sampai di rumah Anara secara bersamaan. Mereka duduk lesehan beralaskan karpet berwarna ungu. Datang terakhir, tapi menikmati jamuan terlebih dahulu. “Dav, lo kenapa?” tanya Kim. “Gak ada apa-apa,” jawabnya dengan intonasi yang terdengar jauh lebih cuek dari biasanya. Kim hanya mengangguk. Tidak berani mengucapkan kata lagi karena tahu sifat Davin yang begitu dingin selayaknya es batu. Kim duduk sembari menikmati camilan yang ada. Makanan yang disediakan justru membuat mereka melupakan agenda awal. “Gila, kita sebenarnya mau bahas tentang si kode atau mau numpang makan?” ucap Anders sembari mengambil buku tulis dan beberapa buku matematika. “Ya, ayo kita kerjakan!” teriak Anara dengan antusias. Lebih tepatnya, Anara hanya ingin masalah kode cepat selesai. Sebab, jika tidak segera diselesaikan, ia takut akan tertimpa masalah yang lebih besar. Tapi, entah kenapa merangkai angka yang tidak sembarang angka begitu sulit. “Ra, lo hitung ini,” kata Anders memberikan buku kepada Anara yang duduk di depannya. Pada saat Anara ingin mengerjakan perintah dari ketua geng, tiba-tiba ada suara Kim yang terdengar aneh. Kebetulan, Kim duduk di sampingnya. Seperti orang yang ingin memuntahkan isi perut, tapi ditahan. Mata Anara melirik sekilas untuk memastikan. Tangan Kim berusaha untuk menutupi sekitar bibir dan hidungnya. Sebenarnya apa yang terjadi? Anara kembali fokus dengan bukunya. Mengerjakan sebuah soal matematika hanya untuk mendapatkan satu angka. Lagi-lagi dari diri mereka seakan memberontak untuk menyelesaikan hukuman ini. Davin, dengan dinginnya beranjak meninggalkan teman-temannya ke teras rumah. Mungkin, dia masih begitu sedih atas berita tentang perempuan yang ditaksirnya. “Astaga, kita ini sebenarnya mau menyelesaikan atau tidak? Kenapa sih ruwet gini,” celetuk Pricilla, “kalau satu orang enggak bisa mengikuti, itu artinya dia tidak ikut bertanggung jawab dengan hukuman ini. Padahal, kita bertujuh yang berulah dan diberikan hukuman,” sambungnya. Pricilla membuka tas untuk mengambil ponsel yang sempat di masukkan di dalamnya. Membuka sosial media untuk mencari pelampiasan amarahnya. Dia tahu, kalau Davin sedang merasakan patah hati, tapi bukan berarti melepaskan tanggung jawabnya. “Oke, kita tunda saja. Gue enggak paham sama yang masalah yang kalian hadapi secara pribadi. Tapi, kita ini berteman, apa pun itu gue harap kalian terbuka,” kata Anders mengambil buku yang sempat diberikan kepada Anara lalu di masukkan ke dalam tas kembali. “Pris, sebenarnya ada apa sama Davin?” tanya Anders yang seketika membuat Agnetha menatapnya dengan serius. “Patah hati cuman gara-gara si siswi baru itu sudah punya pacar. Terus, dia mau lepas gitu saja? Ya, enggak adil buat kita,” jawabnya. Anara membelalakkan mata. Menatap Agnetha yang sudah mulai berubah. Benar saja apa yang ada di dalam pikiran Anara. Agnetha, gadis polos itu beranjak pergi tanpa mengucapkan apa pun. Pergi mengendarai motornya meninggalkan rumah Anara. “GAWAT!” teriak Anara menatap Agnetha yang sudah pergi dari rumahnya. Anara keluar dari ruang tamu. Melihat Davin yang sedang melamun duduk di sebelah kanan pintu. Kepalanya yang menunduk dan tangan kanan yang menopang dagu. Benar-benar seperti sosok pria dewasa yang tengah memikirkan beban begitu berat. “Davin! Susul Agnetha sekarang,” ucap Anara sembari menggoyangkan lengan kanan sahabatnya. “Davin ... Agnetha,” katanya kembali. Davin masih tidak menggubris Anara. Malahan, Davin menyingkirkan tangan Anara dari lengannya. Berdiri lalu pergi dengan motor hitamnya. Pricilla, Anders, dan Raynar pun berdiri di depan pintu. “Ayo kita ikuti,” kata Anara sembari melangkah keluar ke halaman rumah. Mereka pergi dengan mobil Kim untuk mengikuti Davin dan Agnetha. Sepanjang perjalanan, Raynar hanya menyalahkan Pricilla yang tanpa sengaja keceplosan. “Pris, kalau sampai mereka kenapa-kenapa lo sih yang salah. Harusnya, lo diam tadi,” ucapnya dengan logat Bahasa Jawa yang begitu kental. “Jangan berisik. Mendingan kita berdoa supaya tidak ada apa-apa,” kata Anders sembari memandang lurus ke depan agar tidak kehilangan jejak motor Davin. Di depan sana, Davin berhasil mendekatkan motornya ke motor Agnetha. “Tha, gue tahu gue enggak sebaik itu. Gue mohon lo jangan sakit hati,” kata Davin. “Lo minta ke gue huat enggak sakit hati, tapi lo juga yang nyakitin gue. Bangke lo!” teriak Agnetha dengan perasaan yang sudah diaduk-aduk. Padahal, sewaktu di taman, Davin telah menembaknya dan mereka resmi pacaran. Tapi, ternyata Davin masih sibuk mencari tahu tentang siswi baru itu. Agnetha menambah kecepatan motornya agar segera pergi dari tempat itu. Tapi, kecepatannya terkalahkan oleh ketangkasan Davin yang memang menguasai tentang motor. Lagi-lagi, Davin berhasil menyetarai motor Agnetha. “Tha, maaf,” teriaknya. “Sudahlah, kita putus!” Agnetha berhenti di halaman rumahnya. Melenggang masuk ke dalam rumah dengan wajah yang begitu sendu. Bagaimana tidak sakit, kala mendengar kekasihnya tengah galau karena perempuan lain? Agnetha merebahkan diri di kamarnya. Di luar sana, geng luoji tengah berdiri di depan pagar. Anders meminta penjelasan dari Davin agar bisa menjadi penengah. Tapi, Davin tidak juga mengakui apa yang sebenarnya terjadi. Terlebih, mengakui jika dirinya telah menjalin hubungan dengan Agnetha. Bukannya memberikan penjelasan, Davin memilih pergi meninggalkan mereka. “Susah, kalau seperti ini.” Pricilla beranjak ke mobil Kim. Mereka kembali ke rumah Anara untuk mengambil kendaraan masing-masing. Berhubung, Pricilla tidak memiliki kendaraan pribadi, dia menumpang Kim agar bisa sampai di rumah tanpa keluar uang satu perak pun. “Kim .... “
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD