Papa

2062 Words
“Apa Tio enggak berangkat ya nek?” tanya Nirina. Sudah sedari tadi Tio belum juga tiba. Padahal kurang dari setengah jam lagi sekolah masuk. Biasnya akan datang ke rumah ini sekitar jam enam. Menumpang makan dan menunggu Nirina lalu mereka berangkat bersama. Hari ini Tio melewatkan makan bersama. Sepertinya juga akan melewatkan ke sekolah bersama. “Kamu sudah coba kirim pesan atau telepon?” Nirina mengangguk. Sesekali mengecek handphonenya barangkali ada balasan dari Tio. Nihil, tidak ada balasan masuk sama sekali. Nirina jadi khawatir. Dua hari lalu Tio datang untuk menceritakan perasaannya pasca sang ayah kecelakaan. Dan sampai hari ini tidak ada kabar lagi. Apa terjadi sesuatu yang buruk? Nirina takut. Dari kemarin mencoba menghubungi Tio juga sama saja. Tio seperti menghilang di telan bumi. Ingin bertanya tidak tahu dengan siapa. Nirina tidak tahu siapa teman dan keluarga dari Tio. Yang bisa Nirina lakukan hanya berdoa semoga di mana pun Tio, dia baik-baik saja. “Aku dari kemarin sudah kirim pesan dan telepon nek. Tapi tetap saja enggak ada balasan. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk sama dia nek,” gumam Nirina. Tio biasa setiap hari ke sini. Dan sehari dua hari absen tanpa kabar ya jelas membuat Nirina khawatir. “Ya sudah. Kamu berangkat sekolah dulu sana. Sudah mau masuk. Nanti kalau Tio ke sini nenek kasih tahu,” ucap Anak. Nirina menurut. Kali ini akan ke sekolah dengan pak Ardi. Urusan Tio, biar nanti saja. Masih ada yang lebih penting yaitu sekolah. Selama di sekolah, Nirina merasa hampa. Biasa setiap hari selalu ada Tio yang menemani dan menjadi teman berdebat, sekarang tidak ada. Seperti ada yang kurang. Guru yang masuk juga sempat menanyakannya pada Nirina mengenai tidak hadirnya Tio. Ya karena satu sekolah pun tahu bahwa Nirina selalu bersama Tio. Sayangnya Nirina hanya bisa menjawab dengan gelengan tidak tahu. Pulang sekolah, Nirina di kejutkan dengan motor Tio yang sudah terparkir di depan rumah. Nirina berjalan cepat untuk masuk. Ada Tio di sofa ruang keluarga. Menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa dan memejamkan mata. Nirina mendekat. Tio yang merasa ada yang mendekatinya membuka mata. Melemparkan senyum kecil pada Nirina yang dibalas gadis itu dengan senyum juga. “Hai,” sapa Tio. Menegakkan tubuhnya. Menepuk sofa di sampingnya bermaksud meminta Nirina untuk duduk. Jika dalam keadaan normal, jelas Nirina akan memarahi Tio yang berlaku seperti tuan rumah. Tapi melihat wajah Tio yang jauh dari baik-baik saja, Nirina mengurungkannya. Membiarkan Tio melakukan apa pun. Hari ini, Nirina akan tetap diam menuruti. “Maaf ya kalau buat lo khawatir. Ponsel gue ternyata ketinggalan di mobil. Kemarin, waktu gue pulang dari sini. Langsung balik ke rumah sakit lagi. Gue ribut besar sama istri baru bokap. Padahal gue juga anaknya. Mau jenguk saja enggak boleh. Seingat gue, gue enggak punya masalah sama dia. Dengan keras kepala, gue tetap saja menunggu di sana. Siapa pun anak ya pasti inginnya ada di samping orang tuanya saat mereka sakit. gue cuman mau menjadi anak yang berbakti,” ucap Tio dengan nada sedih. Selalu saja ada permasalahan antara anak dan ibu tiri. Ya seperti Nirina. Sepertinya ibu tiri yang baik pada anak tirinya hanya ada saty banding seribu. Nirina bingung. Apa dirinya harus menenangkan Tio dan mengucapkan kata untuk menghibur? Nirina belum pernah menghadapi orang lain bersedih di hadapannya secara langsung masalahnya. Takut salah langkah dan malah jadi aneh. Akhirnya Nirina hanya diam di tempat. Memutuskan untuk menunggu Tio selesai mencurahkan perasaannya. Mungkin yang Tio butuhkan sekarang itu hanya teman bercerita untuk meringankan sedikit bebannya. Dan Nirina akan menjadi orang itu. Selama ini Tio selalu ada di sampingnya. Sekarang gantian Nirina yang akan tetap di samping Tio apa pun yang terjadi. Tio menghela nafasnya panjang. “Dan lo tahu apa yang buat gue sakit hati? Orang yang sudah buat gue khawatir dan berjanji untuk memaafkan, yaitu bokap gue, dia malah ikut usir gue sesaat setelah dia sadar dan mendapati keberadaan gue di sekitar dia. Gue sakit hati. Padahal gue rela semalaman di sana buat nunggu. Gue sendirian. Istri barunya mungkin malah tidur dengan nyenyak di rumah. Gue merasa enggak dihargai dan diinginkan di sana. Sakit banget Na.” Tio menceritakan semua yang dialaminya tadi pagi. Tio sakit hati diperlakukan seperti itu. Tio kira, saat ayahnya bangun, mereka berdua akan saling mengobrol dan memaafkan semua yang sudah lalu. Huh, Tio terlalu berharap tinggi. Sampai tidak memprediksi kemungkinan lain yang menyakiti hatinya. “Gue boleh peluk lo?” tanya Tio. Nirina tersentak namun kemudian mengangguk. Mengizinkan Tio yang tidak baik-baik saja memeluk dirinya. Tio memeluk Nirina. Menangis hebat di pelukan gadis yang belakangan ini menjadi temannya. Hanya di sini, Tio merasa dihargai dan dianggap ada. Tio makin menangis saat menyadari bahwa ini pelukan pertama dirinya setelah bertahun lalu. Perasaan Tio jadi lebih tenang. Ternyata yang Tio butuhkan hanya teman bercerita dan sebuah pelukan. Yang sebelumnya Tio tidak pernah dapatkan. Tio terbiasa menyimpan semuanya sendiri. Enggan orang lain tahu masalahnya. “Terima kasih karena lo selalu ada buat gue,” gumam Tio mengeratkan pelukannya. Belum sempat Nirina menjawab, sebuah suara menginterupsi keduanya. “Oh jadi ini alasan kamu yang mau tinggal sendiri. Biar bebas bawa pacar kamu. Iya kan? Sia-sia papa datang jauh buat jenguk kamu, kalau ternyata seperti ini yang papa dapat.” Nirina melepaskan pelukan Tio di tubuhnya. Melihat Haidar yang memasang wajah marah. Padahal kemarin Nirina berencana untuk berdamai dengan papanya. Tapi malah harus dihadapkan dengan kesalahpahaman seperti ini. Apa yang harus Nirina lakukan? Menjelaskan yang sebenarnya terjadi? Atau cukup diam saja? Nirina merasa terjepit sekarang. “Benar kata istri saya. Kalau kamu memang memiliki tujuan lain makanya enggan saat saya ajak kamu untuk tinggal di rumah saya,” lanjut Haidar. Nirina yang sudah akan menjelaskan menutup mulutnya lagi. Ternyata ibu tirinya sudah berkata yang tidak-tidak terhadap Nirina. Percuma saja Nirina menjelaskan pada Haidar saat laki-laki itu lebih mempercayai istri barunya. Nirina memilih diam menerima semua yang Haidar tuduhkan kepadanya. Untuk apa juga membela diri. Tidak penting. “Om maaf kalau saya lancang. Saya Tio teman Nirina. Ini salah saya yang memeluk Nirina seenaknya. Bukan salah Nirina. Jadi, jangan salahkan dam sudutkan dia. Om hanya melihat dari sudut pandang om sendiri. Tidak tahu juga kan ada alasan di balik ini,” sela Tio tidak mau Nirina semakin jauh di salahkan. Ini murni salah Tio yang tidak tahu diri meminta sebuah pelukan. Bukan salah Nirina yang pasti hanya tidak enak saja jika menolak. Tio tahu itu. Nirina memiliki sifat yang begitu mudah untuk dimanfaatkan orang lain. Sifat tidak enakkan. Nirina akan sebisa mungkin mengiyakan jika ada yang meminta bantuan. “Diam kamu,” sentak Haidar. “Sekarang, papa benar-benar lepas tangan terhadap kamu. Terserah mau melakukan apa saja. Itu bukan urusan papa lagi. Urus dirimu sendiri,” ucap Haidar final, tidak terbantahkan. Pria setengah baya itu meninggalkan kediaman anaknya. Tanpa mau menoleh lagi ke belakang. Nirina hanya tersenyum melihat kepergian Haidar. Semua sudah selesai bahkan sebelum Nirina berusaha memperbaikinya. Nirina sekarang benar-benar tidak memiliki siapa pun. Haidar, orang tuanya yang tersisa malah memilih lepas tangan terhadap hidupnya. “Na, lo enggak papa?” tanya Tio pelan. Bukannya bersedih, Nirina malah melengkungkan senyum. Tapi jika dilihat lebih jelas, bibir gadis itu memang tersenyum namun matanya jelas menunjukkan kesedihan yang mendalam. Siapa yang tidak sedih coba saat keluarga kandung satu-satunya, orang tuanya, papanya mengatakan seperti itu. “Gue minta maaf. Gara-gara gue, semua malah jadi makin kacau. Na, maafkan gue,” mohon Tio. Tio merasa dirinya yang paling bersalah di sini. Jika saja Tio tidak datang atau tidak memeluk Nirina, semua ini pasti tidak akan terjadi. Nirina masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungan dengan papanya. “Bukan salah lo kok. Memang semua harus seperti ini,” balas Nirina masih dengan senyum. “Gue ke kamar dulu ya. Maaf kalau lo gue tinggal,” pamit Nirina. Dengan segera memasuki kamarnya. Mengunci pintu dan mendudukkan diri di atas ranjang. “Ma, sekarang aku benar-benar sendiri. Aku enggak punya keluarga lagi di dunia ini,” lirih Nirina menghadap foto besar yang sengaja di cetak tepat berseberangan dengan ranjang. Foto Nirina dan ibunya. Sebagai potret untuk mengobati rindu yang selalu datang. Juga agar Nirina selalu merasa bahwa Diana masih ada di sekitarnya. “Ah mama tenang saja. Aku masih punya orang rumah. Semua baik sama aku kok Ma. Tenang saja ya. Mama tidak perlu mencemaskan aku di sana. Aku pasti akan baik-baik saja,” lanjut Nirina. Nirina tidak boleh melupakan adanya orang-orang rumah yang bahkan melebihi saudara kandung. Mereka baik. Semoga saja mereka juga tidak meninggalkan Nirina. “Oh iya Ma lupa. Masih ada Tio juga. Nasib aku sama Tio itu hampir sama tahu Ma. Lucu ya, kita berteman ternyata dengan latar belakang yang tidak jauh berbeda. Sama-sama korban broken home. Bedanya dia lebih kuat, kalau aku mah jangan ditanya. Masih sering nangis Ma.” Nirina tersenyum kecil di hadapan potret Diana. Menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja. Di ruang tamu, Tio masih merutuki dirinya sendiri. Karena sudah tidak ada perlu lagi, memutuskan untuk pulang. Membiarkan Nirina menenangkan dirinya sendiri. Nanti sore atau besok Tio akan datang dan meminta maaf lagi. “Nduk, ayo makan dulu,” panggil Anah. Nirina yang tengah memakai baju terburu menyelesaikan. Setelah selesai, keluar dari kamar dan menuju ruang makan. Sudah ada Tio di sana. Nirina melemparkan senyum pada Tio yang memasang raut canggung. Tio masih merasa bersalah. “Na, gue minta maaf ya,” kata Tio tulus. Nirina dapat melihat ketulusan yang ada di kata itu. “Iya tenang saja sih. Santai. Gue juga sudah bodo amat kok,” jawab Nirina. Jika tadi tidak terpergok tengah berpelukan, kapan waktunya juga pasti Haidar akan tetap mengatakan kalimat itu. Lebih cepat lebih baik. Jadi Nirina tidak perlu berharap banyak dengan rencana berdamai dengan semuanya. Makan malam berlangsung damai. Tidak tampak sedikit pun kesedihan di wajah Nirina. Nirina berjanji dengan dirinya sendiri untuk menganggap masalah tadi tidak ada. Nirina akan menjalani hidupnya seperti tidak ada masalah berat yang datang. Nirina memilih menyembunyikan perasaannya. Kalau sedih, tidak perlu diumbar. Biar dirinya sendiri saja yang mengetahuinya. Jika Tio saja bisa melakukannya bertahun-tahun, Nirina juga pasti bisa. “Jadi, lo enggak ke rumah sakit lagi?” tanya Nirina. “Enggaklah. Malas banget. Yang penting niat baik gue sudah gue jalankan. Kita sama banget ya. Haha. Korban keegoisan seorang ayah. Dibuat sinetron bagus tuh,” jawab Tio enteng. Nirina tertawa mendengarnya. Ada-ada saja. Mana mau ada yang menonton sinetronnya. Tidak menarik sama sekali. “Tadi ada tugas enggak Na?” Nirina menggeleng. Tadi di sekolah hanya membahas materi tanpa diberi tugas sekolah. “Enggak ada. Siap-siap saja lo besok dipanggil BK,” ledek Nirina. Suruh siapa Tio tidak datang tanpa alasan ya pasti akan langsung berhadapan dengan bimbingan konseling dan akan menerima ceramah panjang kali lebar. “Biar deh. Palingan cuman dibilangin biar enggak mengulangi lagi. Sudah bisa ditebak,” ucap Tio acuh. Tio juga sudah beberapa kali masuk ke ruang BK, di sekolahnya dulu. Tio bukan siswa lurus yang tanpa berbuat kesalahan. Wajarkan kalau laki-laki seperti ini. Tio memutuskan pulang setelahnya. “Terima kasih sudah ada di samping gue. Mendengar keluh kesah gue,” ucap Tio sebelum pergi. “Lo jangan khawatir atau sedih lagi. Lo masih punya orang rumah dan gue. Yang akan selalu ada di samping lo juga. Terus tersenyum ya. Kita buktikan bareng-bareng kalau kita enggak seharusnya di sia-siakan. Tampar mereka dengan kesuksesan yang kita raih. Satu lagi, gue sayang sama lo. Selamat malam.” Tio melajukan motornya tanpa mendengar jawaban Nirina terlebih dahulu. Tio memang datang menggunakan motor. Terlalu dekat untuk menggunakan mobil. Terlalu malas kalau jalan kaki. Sebelum-sebelumnya kan Tio selalu mampir ke rumah ini terlebih dahulu sebelum pulang. Jadi pulang malam juga menggunakan mobil. Kalau hari ini tadi Tio sempat pulang. Nirina mematung di tempat. Kalimat terakhir yang Tio ucapkan mengejutkannya. Tio tadi bilang sayangkan? Tio menyayanginya? Nirina bersemu. Dengan langkah pelan memasuki rumah. Perasaannya jangan ditanya, bahagia melebihi apa pun. Sedih yang tadi diciptakan papanya berganti dengan bahagia akan kalimat sederhana itu. “Gue juga sayang sama lo,” lirih Nirina dengan senyum lebar. Nirina mencoba menenangkan detak jantungnya yang menggila. Efek Tio begitu luar biasa. Sepertinya, Nirina memang sudah jatuh cinta pada Tio. Nirina tidak bisa mengingkarinya lagi. Berharap Tio juga memiliki perasaan yang sama. “Mama, katanya Tio sayang sama aku. Ma, enggak papa kan kalau aku jatuh cinta? Tapi aku takut kalau nantinya bakal sakit hati. Aku sudah terlalu sering merasakan sakit sampai enggan mengalaminya lagi. Mama bantu doa ya, biar aku enggak sakit hati.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD