Jadi?

2331 Words
“Lo kenapa sih? Aneh banget deh,” celetuk Tio yang mendapati Nirina lebih pendiam dari biasanya. Aneh saja menurut Tio. Sebelumnya selalu saja ada sesuatu yang membuat Nirina mengomel panjang lebar. Sekarang hanya diam. Padahal tadi Tio melakukan kesalahan, tapi yang dilakukan Nirina hanya tersenyum saja. Apa ini efek kemarin setelah ucapan papa Nirina? Bisa jadi sih. “Na, lo masih kepikiran yang kemarin ya?” tanya Tio dengan nada yang lebih lembut. Saat menghadap ke samping, wajah Nirina bukannya bersedih, malah gadis itu tersenyum lagi. Tio frustrasi. Mendengar ucapan Tio, pikiran Nirina berkelana pada kejadian hari kemarin. Ya, Nirina seperti ini memang efek kemarin. Ucapan Tio yang katanya menyayanginya membuat Nirina tidak fokus. Nirina terus saja memikirkannya. Suara itu terus terputar dalam pikiran tidak mau pergi. Nirina jadi sedikit canggung jadinya. Apa Nirina berlebihan ya? “Jangan pikirkan ya, nanti kalau memang jalan Tuhan buat kalian berbaikan, ya pasti berbaikan kok. Yakin deh antara orang tua dan anak enggak ada pertikaian yang berlangsung dalam jangka waktu lama. Papa kamu mungkin kemarin syok saja jadi tidak bisa menyaring kata-kata yang diucapkan.” Tio seperti menasihati dirinya sendiri. Ya, yang diyakini Tio, pasti antara dirinya dan papanya akan ada jalan keluar yang terbaik untuk keduanya. Walau waktunya Tio sendiri tidak tahu. Nirina bengong. Bukan itu yang menjadi penyebabnya. Nirina bahkan sudah mengikhlaskan jika memang papanya benar-benar melepas tangan atas kehidupan Nirina. Nirina memercayai takdir Tuhan yang tidak pernah salah. Mungkin memang lebih baik seperti itu. Nirina tidak percaya bahwa Tio malah tidak menyadari efek ucapannya sendiri kemarin. Apa memang itu hanya ya iseng belaka? Atau Tio sudah terbiasa mengucapkannya pada banyak gadis sebelumnya? Dan di sini Nirina malah begitu berharap dengan ucapan itu. Huh, sepertinya Nirina terlalu membesarkan hal yang sebenarnya sederhana. Kata sayang ternyata bukan sesuatu yang istimewa. Bagi kebanyakan orang mungkin hal biasa dan lumrah. Tapi bagi Nirina yang baru pertama kali mendengar dari mulut pria seusianya itu sebuah pengakuan besar dan berarti. “Ah iya,” jawab Nirina. Jika Tio saja sudah menganggap angin lalu, Nirina akan bersikap seperti biasa lagi. Jangan sampai Tio mengetahui bahwa Nirina menjadi lebih diam karena canggung akibat ucapan lelaki itu kemarin. Mau tauh di mana muka Nirina. Saat ini keduanya tengah berada dalam perjalanan menuju sekolah. Setelah satu hari absen, Tio masuk lagi. Pagi-pagi pria itu sudah duduk manis di kursi makan. Menunggu si mbak selesai memasak. Tio sekarang juga meminta untuk dibawakan bekal seperti Nirina. Katanya malas kalau harus ke kantin dulu. Bisa-bisa nanti pingsan karena terlalu lama menunggu. Kalian tahu? Saat meminta, Tio memasang wajah yang dimelas-melaskan. Jika biasanya Nirina akan mengomel karena kesal, yang dilakukan gadis itu hanya diam dengan matanya sesekali melirik wajah Tio yang sekarang berubah menjadi menggemaskan. Biasalah. Efek jatuh cinta ya seperti ini. “Nanti pulang sekolah gue ajak ke kedai es krim deh. Sebagai permintaan maaf gue,” kata Tio. Walau sudah mendengar secara langsung dari mulut Nirina bahwa dirinya baik-baik saja dan tidak mempermasalahkan mengenai penyebab Haidar kemarin marah, Tio merasa tetap harus melakukan sesuatu yang membuat Nirina senang. Pilihan jatuh pada es krim. Nirina begitu menggilai es krim. Semoga saja berhasil. “Gue ada jadwal cek up,” ucap Nirina menunjuk kakinya dengan dagu. Hari ini memang jadwal Nirina untuk melakukan pemeriksaan rutin. Untuk mengetahui perkembangan kakinya apa sudah baik-baik saja dan bisa dilepas perbannya atau masih membutuhkan perawatan lebih lanjut. “Ya habis dari rumah sakit. Mau enggak?” tawar Tio. Masih bisa mampir karena letak kedai dan rumah sakit tidak terlalu jauh. Nirina mengangguk singkat menyetujui. Lumayan bisa makan es krim gratis dan ditemani Tio. Kapan lagi kan. Nirina akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin saat bersama Tio. Walau Tio tidak mengetahui perasaannya, setidaknya Nirina bisa merasakan degupan jantung itu sendiri. Menikmati detak jantungnya yang menggila setiap detiknya. Sampai di sekolah, Nirina turun terlebih dulu. Sekarang sudah tidak membutuhkan bantuan untuk sekedar menuruni mobil. Tio meminta Nirina untuk ke kelas dahulu. Masih ada hal yang harus dilakukan Tio di dalam mobil. Merapikan seragamnya. Tio memasukkan kemejanya ke dalam celana. Kebiasaan buruk Tio itu tidak rapi. Berpenampilan urakan. Coba saja kalau tidak ada guru yang berjaga, Tio akan turun dengan seragam dikeluarkan dari celana. “Kalau enggak ada guru mah bodo amat deh,” gumam Tio. Mata Tio memicing melihat buku kecil yang sepertinya milik Nirina. Buku itu terjatuh di bawah kursi. Tio mengambilnya. Memutar dan benar saja, ada nama Nirina di sana. Dengan iseng, Tio membuka halaman secara acak. Ah, ini buku harian Nirina ternyata. Ceroboh sekali gadis itu sampai melupakannya. Tio termenung membaca halaman yang berisi tentang kerinduan Nirina terhadap ibunya. Di sana dengan jelas bahwa Nirina begitu merindu dan berharap bisa kembali bertemu. Tio bisa merasakan kesedihan yang tertuang pada setiap goresan kata yang ada. “Maaf,” lirih Tio. Bukannya berhenti, Tio malah makin jauh membuka halaman selanjutnya. Tiba di halaman terakhir yang sudah terisi. Tersentak membaca tulisan yang ada. Pada halaman itu, Nirina menceritakan mengenai perasaannya yang tertuju untuk Tio. “Gue enggak pantas dicintai sama lo Na. Lo jatuh cinta sama orang yang salah. Lo belum tahu siapa gue. Kalau nanti lo tahu, bukan cinta lagi yang lo rasakan melainkan benci yang begitu mendalam. Gue harus bagaimana? Gue belum siap jujur sama lo. Karena gue belum siap buat dibenci dan jauh dari lo.” Tio menerawang. Kebersamaan mereka beberapa minggu ini memang membuat saling nyaman. Nirina nyaman akan keberadaan Tio begitu juga Tio yang mulai terbiasa akan kehadiran Nirina di sampingnya. Bohong bila Tio tidak menyukai Nirina. Semua yang ada pada gadis itu begitu sempurna. Baik dan tulusnya. Tio senang saat mengetahui ternyata perasaannya yang mulai tumbuh terbalas. Tapi Tio takut untuk melangkah ke arah sana. Tio takut jika Nirina mengetahui siapa Tio sebenarnya, yang ada malah akan benci. “Nanti gue pikirkan lagi deh. Sekarang, pura-pura tidak terjadi sesuatu,” ucap Tio. Meletakkan kembali buku itu di bawah kursi. Tio memilih berpura-pura, takutnya saat Tio memutuskan mengembalikan buku itu pada Nirina yang ada malah Nirina akan malu karena menganggap Tio telah membaca isisnya. Ya walau memang benar Tio sudah membaca beberapa halaman yang ada. “Kok lama banget?” tanya Nirina. Memicingkan alisnya curiga. Masa merapikan seragam saja lama sekali sih. Beberapa detik saja kan sudah beres harusnya. Tio menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Mengingatkan dirinya agar jangan sampai keceplosan. Bisa panjang masalahnya nanti. “Tadi ngobrol sebentar sama Dion, kakak kelas,” alasan Tio. Tidak mungkin kan kalau jujur tadi habis membaca buku harian Nirina. Bisa kena marah nanti. “Kenapa wajah lo panik begitu?” tanya Tio melihat Nirina yang seperti panik. Apa gadis itu menyadari bahwa telah melupakan sesuatu? Sesuatu yang penting. Sesuatu yang di dalamnya berisi semua cerita hidupnya beberapa bulan ini. Tio memasang wajah polos menandakan dirinya memang tidak mengetahui apa pun. “Ah enggak. Mm... tadi di mobil ada barang gue yang ketinggalan enggak?” Nirina berharap Tio menjawab tidak. Kalau iya kemungkinan Tio sudah membacanya. Tio pura-pura berpikir. Lalu menggeleng setelahnya. “Enggak ada sih kayanya. Tapi enggak tahu juga sih. Gue kan buru-buru turun tadi,” jawab Tio yang sepenuhnya berbohong. “Oh ya sudah deh.” Nirina bersyukur dalam hati. Rahasianya masih aman ternyata. “Memang ada yang ketinggalan? Apa sih?” Nirina buru-buru menggeleng. “Enggak. Gue mah tanya saja,” jawab Nirina cepat. Tersenyum singkat dan memilih menyibukkan diri. “Oh oke.” Tio kembali ke tempat duduknya. Bel masuk sebentar lagi akan berbunyi. Di tempatnya, Nirina masih memikirkan ke mana buku hariannya sekarang. Meyakinkan diri bahwa tertinggal di kamarnya juga terasa percuma karena Nirina begitu yakin bahwa tadi sebelum berangkat membawanya. Tapi Nirina lupa sudah memasukkannya pada tas atau belum. Nirina takut jika bukunya tertinggal di suatu tempat dan yang menemukan iseng membaca. Masih belum siap jika rahasianya terbongkar. Kalau mengenai curahan hatinya mengenai kesedihan kehilangan sih Nirina tidak masalah. Itu hal yang wajar bagi seorang anak yang kehilangan ibunya. Tapi yang menjadi masalah, beberapa halaman terakhir yang isinya mengenai perasaan Nirina sekarang. Untungnya tidak tertinggal di mobil. Jadi Tio tidak membacanya. Jika Tio sampai membacanya, tamat riwayat Nirina. Mungkin akan memilih menghindar selamanya dari lelaki itu. Terlalu malu untuk berhadapan. “Langsung pulang?” tanya Tio. Nirina mengangguk. Mau ke mana lagi memangnya. Nirina sedang tidak memiliki semangat untuk sekedar mampir. Masih memikirkan buku hariannya yang tiba-tiba menghilang. Belum tenang kalau buku penuh rahasia itu belum ditemukan. Mobil melaju membelah jalanan ibu kota yang lumayan lengang. Nirina sibuk dengan pikirannya sendiri. Begitu juga Tio yang memikirkan langkah selanjutnya yang harus diambil. Tio tidak mau salah langkah. Maju mengungkapkan perasaan atau tetap diam menyembunyikan. Semua pasti ada baik dan buruknya. Tapi Nirina juga menyukainya. Bukankah itu baik? Huh, andai saja Tio tidak membuat kesalahan fatal di hari-hari yang lalu. Mungkin akan langsung mengatakan. “Kok berhenti?” Nirina yang sedari tadi memang menatap ke arah luar mengernyit bingung saat Tio menghentikan mobilnya di dekat taman yang lokasinya tidak jauh dari rumah mereka. Nirina membalikkan tubuhnya. Menuntut jawaban dari Tio yang hanya diam. Sekarang Nirina tidak sebebas dulu untuk menatap Tio. Ada perasaan yang membuat Nirina tidak bisa melakukannya. Terlalu malu saat wajahnya menghadap wajah Tio. Apalagi saat bertatap langsung. Bisa salah tingkah. “Mm... Na. Gue mau jujur sama lo,” ucap Tio serius. Terlihat jelas wajah Tio yang tegang. Mendengarnya, Nirina jadi ikut tegang. Menerka apa yang akan dibicarakan Tio. Apa Nirina boleh berharap jika yang akan keluar dari mulut Tio itu sebuah ungkapan rasa? Ah, Nirina menggelengkan kepalanya. Tidak boleh terlalu berharap karena akan sakit jika harapan itu tidak sesuai dengan kenyataan. Lagi pula Tio kan kelewat jahil. “Entah mulai kapan, perasaan itu tumbuh. Gue enggak tahu pastinya. Yang jelas, di sini. Selalu berdetak tidak normal saat kita berdekatan seperti ini. Awalnya gue enggak tahu ini cinta atau apa, tapi yang gue rasa, gue nyaman dan selalu ingin di samping lo. Selalu menemani lo saat senang dan sedih. Gue ikut sedih waktu lo sedih.” Tio menghela nafasnya panjang. Sedari tadi menahan degup jantung yang makin menggila. Rasanya seperti akan lompat dari posisinya. “Dan belakangan ini gue baru sadar. Ternyata gue memang sudah jatuh cinta sama lo. Mm... Nirina, lo mau enggak jadi pacar gue? Kita jalani hari-hari yang berat ini bersama-sama,” ucap Tio pada akhirnya. Berhasil juga mengungkapkan rasa yang sebenarnya ingin di simpan saja. Tapi mengetahui Nirina yang merasakan juga, tidak ada salahnya kan mencoba. Masalah jawaban Nirina, itu urusan belakangan. Dan masalah kebenaran itu, semoga Tio berhasil menyimpannya sampai nanti. Kalau bisa sampai Tio menutup mata. Nirina terbengong. Tidak percaya dengan yang Tio ucapkan. Sebagian hatinya senang luar biasa saat mengetahui bahwa Tio juga mempunyai rasa yang sama. Namun sebagian lagi takut jika Tio tidak serius. Hanya untuk bahan bercanda. “Lo lagi enggak bercanda kan?” tanya Nirina memicingkan matanya. Tio menghela nafas. Inilah sulitnya orang jahil. Serius juga pasti akan dianggap bercanda. Tio tidak bisa bercanda mengenai perasaan anak orang. “Serius Na. Ah lo mah merusak suasana yang sudah gue bangun sedemikian rupa,” dengus Tio. Tio sudah mengungkapkan dengan serius dan sedikit romantis. Sedikit ya, itu juga versi Tio sendiri. “Oh serius.” Nirina mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang sudah yakin bahwa Tio memang serius dengan ucapannya. Tio makin kesal. “Ya jawab dong anak pintar. Pelajaran saja pintar, pas begini malah astagfirullah,” decak Tio. Sudah tahu kalau ini serius bukannya langsung menjawab malah mengangguk-anggukkan kepala saja. Eh apa anggukkan itu berarti jawaban iya? “Itu anggukkan artinya mau ya? Ya sudah. Berarti mulai hari ini kita pacaran ya,” ucap Tio final. Senyum mengembang di bibir pria berusia tujuh belas tahun itu. Huh, rasanya begitu membahagiakan. Nirina melongo. Padahal belum memberikan jawaban. Tapi Tio seenaknya mengambil kesimpulan. “Gue kan belum bilang mau,” protes Nirina. “Ya sudah sok bilang.” Tio mempersilakan Nirina untuk menjawab pertanyaan yang sudah dari tadi ditanyakan. Sudah basi. “Ih enggak romantis banget nembaknya. Mana ada kaya begini. Aneh banget. Sudah di dalam mobil, enggak ada bunga atau coklat lagi,” gerutu Nirina. Ini kali pertamanya Nirina merasakan langsung yang namanya ditembak oleh laki-laki. Dan sayangnya, yang pertama malah terkesan seadanya. Memang Tio itu tidak modal. “Ya sudah sih. Yang penting kan ketulusannya. Jadi mau apa enggak? Tinggal jawab iya atau enggak kok ribet,” gerutu Tio. Nirina ini terlalu lama dan berharap lebih. “Ya sudah iya, gue mau.” Nirina mengalihkan wajahnya menghadap jendela lagi. Wajahnya memanas menyadari bahwa status di antara mereka bukan lagi sekedar pertemanan. Melainkan sepasang kekasih baru. Semoga ini keputusan yang tepat bagi keduanya. “Jadi sekarang kita pacaran ya,” kata Tio menegaskan hubungan baru yang terjalin. “Iya. Tolong jangan kecewakan gue ya. Gue sudah terlalu sering merasakannya,” ucap Nirina. Semoga dengan mengucapkan ini lebih awal dapat mencegah kekecewaan yang mungkin akan terjadi nantinya. Nirina sudah terlalu banyak dikecewakan sampai takut jika hatinya akan mati rasa saat merasakannya lagi. Sayangnya, Nirina salah karena berharap lebih pada manusia. Tio tersenyum dan mengangguk. Tidak berani berjanji karena Tio sendiri tidak tahu bagaimana ke depannya. Juga Tio menyadari bahwa dari awal bertemu pun sudah menggoreskan rasa kecewa sebenarnya pada Nirina. Yang Nirina sendiri tidak mengetahuinya. Untuk sekarang, Tio akan menjalani hidup bahagianya bersama Nirina. Mengabaikan rahasia miliknya yang bisa terbongkar kapan saja. Melanjutkan kembali perjalanan menuju rumah. Seperti biasa, Tio mampir dulu ke rumah Nirina. Menumpang makan dan tidur sebentar di sofa ruang keluarga. Walau status sudah lebih tinggi, keduanya memutuskan untuk tidak mengubah apa pun. Entah panggilan atau kebiasaan mereka yang sering ribut. Apa adanya saja. Tidak mau nanti malah jadi aneh dengan perubahan yang ada. “Ada tugas enggak sih besok?” tanya Tio sambil memejamkan mata. Mereka tengah bersantai sambil menonton televisi. Sebenarnya televisi yang menonton mereka yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tio yang memejamkan mata dan Nirina yang sibuk dengan ponsel. “Enggak ada sih kayanya.” “Pacaran sama cuman teman enggak ada bedanya ya kita,” celetuk Tio. “Tapi enak kaya begini sih,” lanjut Tio. “Iya. Enak kaya begini. Enggak lebai jadinya,” ucap Nirina mengiyakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD