Tidak seperti n****+

2091 Words
Sesuai rencana, keduanya mampir lebih dulu di mol terdekat. Selain banyak pilihan restoran dan kafe, juga untuk memudahkan jika ingin membeli sesuatu. Bisa saja kan Nirina berubah pikiran dan ingin beli baju atau apa. Daripada harus mencari tempat lagi, mending di mall saja. Hampir semua tersedia di dalamnya. Tinggal bergeser saja. “Mau makan di mana?” tanya Tio. Tio menyerahkan keputusan pada Nirina sepenuhnya. Ini hari Niana jadi Tio akan menuruti tanpa membantah sedikit pun. Jarang-jarang loh Tio menurut. Maka dari itu, Nirina memanfaatkannya sebaik mungkin. Selagi diberi kebebasan memilih, akan digunakan sepuasnya. Belum tentu besok-besok akan seperti ini lagi. “Di biasa ya,” jawab Nirina menyengir lebar. Sudah yakin Tio akan protes dan memaksa ganti pilihan tempat yang dituju. Tio memang seperti itu, makanya kadang Nirina merasa percuma Tio menanyakan pendapat dirinya jika keputusan akhir mutlak berada di tangan Tio sendiri. Nirina ingin sekali memaki pria itu tapi menahan karena percuma juga. Tio tetap tidak akan menuruti Nirina. Menghela nafas panjang. Menyesali keputusannya yang akan memberikan kebebasan sepenuhnya pada Nirina. Harusnya Tio bisa menebaknya. Nirina pasti akan memilih tempat itu. Kalian mau tahu apa? Kedai seblak yang kebetulan memang ada di dalam mol. Seperti kebanyakan gadis seusianya, Nirina juga menggilai makanan dengan ciri khas pedas itu. Sayangnya, Tio sebaliknya. Tidak menyukai sama sekali. Bagi Tio, itu makanan yang aneh. Apalagi bahan yang ada di dalamnya itu kerupuk, mi, dan makaroni. Tidak sehat sama sekali. Tio belum saja ditimpuk para penikmat seblak. Kalau Nirina mendengar juga siap-siap akan dihadiahi pelototan dan cubitan maut. “Mau kan?” tanya Nirina. Memasang wajah semelas mungkin. Nirina sekarang ingin sekali makan seblak. Semoga saja Tio mau mengabulkannya. Nirina tahu sih kalau Tio bisa dibilang tidak suka dengan makanan itu, tapi kan Nirina sudah terlanjur ingin. Masalah Tio, nanti saja urusannya. Kalau tidak mau, Nirina mau kok menemani Tio di restoran lain. Yang penting, seblak dulu dituruti. “Ya sudah iya,” pasrah Tio. Terlanjur berjanji untuk menyenangkan Nirina. Huh, siap-siap saja Tio harus mencium aroma seblak yang sebenarnya enak, tapi entah kenapa Tio tidak mau mencobanya. Takut karena Tio tidak suka pedas sama sekali dan identitas seblak ya pedas. “Yeay,” pekik Nirina bahagia. Wajah gembiranya mampu membuat Tio yang awalnya ogah-ogahan jadi lebih menerima. Hal sekecil itu saja bisa membuat Nirina senang. Memang sederhana kebahagiaan gadisnya ini. Tio jadi menyukuri keputusannya untuk mengiyakan ingin Nirina. Nirina jalan terlebih dahulu. Menuju sudut kanan mall lantai dua yang dikhususkan menjual makanan dan minuman. Dari jauh saja baunya sudah tercium. Nirina makin menyepatkan jalannya. Sudah tidak sabar untuk menyantap semangkok seblak kesukaannya. Bahu Nirina terkulai lemah saat mendapati antrean yang mengular. Mungkin ada lebih dari delapan orang dalam antrean. Belum yang satu orang memesan lebih dari satu. Inginnya sih balik kanan maju jalan saja. Ya siapa coba yang mau mengantre sebanyak itu. Nirina sih malas. Mending tidak jadi makan saja. “Makan yang lain saja deh,” kata Nirina mendekat ke Tio yang masih beberapa langkah di belakangnya. Tio mengernyit dan menghela nafas karena menyadari mengapa Nirina berpindah haluan. Tio jika disuruh mengantre juga malaslah. Mending makan yang lain. Antrean memang delapan, tapi melayani satu seblak saja membutuhkan waktu lebih dari lima menit. Masa menghabiskan satu jam hanya untuk mengantre? Malas sekali lah. Tio yang kasihan, bingung. Nirina tadi begitu senang dan semangat untuk makan makanan kesukaannya itu. Tapi untuk mengantre, Tio tidak sesabar itu. Iya kalau pasti dapat, takutnya kan pas antrean sedikit lagi malah habis. Kasihan sekali. Tio menjentikkan jarinya. Sepertinya ide yang datang di kepalanya bagus juga. “Cari bahan-bahannya. Nanti gue buatin,” ucap Tio. Nirina yang mendengarnya tidak yakin. Tio memang bisa masak? Nanti malah rasanya asal-asalan. “Ayo buru. Lo sudah ingin seblak kan? Tapi makan yang lain dulu ya buat isi perut. Takut lo pingsan karena kelaparan,” lanjut Tio saat Nirina bukannya menuruti malah memicingkan matanya tak yakin. Sebenarnya, Tio sendiri juga tidak yakin bisa membuatnya atau tidak. Tapi dicoba dululah. Dari pada melihat wajah mendung Nirina. Tio jadi tidak tega. “Enggak usah buat. Makan yang lain saja. Lagian enggak yakin gue sama masakan lo. Yang ada nanti gue sakit perut lagi,” tolak Nirina. Mencari aman saja mending makan makanan lain dan tidak usah dibuatkan seblak. Ya kali, Nirina yang perempuan saja tidak bisa masak, masa Tio yang tampilannya seperti itu bisa. Sepertinya mustahil sekali. “Ya sudah. Mau makan di mana? Terserah, lo pilih sendiri di antara banyaknya rumah makan di mol ini.” Tio menurut saja. Kebetulan juga Nirina tidak mau dibuatkan. Pasalnya Tio juga tidak yakin dengan dirinya sendiri. Yang pentingkan sudah menawarkan pada Nirina. Ah, tapi mungkin Tio akan mencoba membuatnya. Tidak ada salahnya mencoba juga. Kalau enak ya kebetulanlah. Tio bisa membuatkan untuk Nirina. Jadi tidak perlu mengantre kalai gadis itu ingin seblak. Tio pacar yang baik dan pengertian kan? Makanan Jepang menjadi pilihan akhir. Selain yang paling dekat, juga yang kebetulan agak kosong di jam makan siang ini. Nirina sudah kehilangan nafsu makannya. Tapi daripada lapar dan sudah terlanjur juga masuk mol masa keluar lagi sih. Setengah jam kemudian, piring sudah bersih. Semua makanan yang dipesan sudah dipindah ke dalam perut masing-masing. Nirina yang katanya kehilangan nafsu makan juga akhirnya makan banyak. Hidangan di depannya menggiurkan hingga membuat mulutnya tidak berhenti makan. Apalagi rasanya yang jangan ditanya enaknya. “Habis ini mau ke mana?” tanya Tio. Mungkin masih ada tempat yang ingin Nirina datangi. Mumpung masih di dalam mall juga. Barangkali gadis itu perlu membeli sesuatu jadi tidak bolak-balik. “Roti di rumah kayanya habis deh. Eh apa sekalian belanja buat isi dapur ya?” Nirina bimbang. Beli sekarang apa nanti saja. “Sekalian saja Na. Lo tanya si mbak atau nenek apa saja yang habis,” ucap Tio. Ingatkan, Tio juga bertanggung jawab mengenai habisnya bahan makanan di rumah Nirina. Nirina menurut. Mengirim pesan pada salah satu mbak yang bertugas memasak. Menanyakan apa-apa saja yang habis di rumah. Mungkin belum banyak yang habis sih. Ini kan masih pertengahan bulan. Bahan masak yang mudah basi dan layu saya seperti daging dan sayur-sayuran yang habis. “Ayo sambil jalan,” ajak Tio setelah membayar makan siang mereka. “Lo enggak pengin boneka atau apa gitu Na?” tanya Tio saat melewati toko yang dipenuhi boneka berbagai jenis dan ukuran. Tio ingat, biasanya kalau orang pacaran itu dibelikan boneka atau apa. Tapi kenapa Nirina tidak memintanya? Mantan kekasih Tio dulu saja sering meminta ini itu sampai Tio bosan menurutinya. Kalau tidak dituruti pasti akan mengambek dua hari dua malam. Huh, kalau mengingat itu, Tio jadi kesal sendiri. Merasa dirinya sendiri bodoh karena mau saja diperas. “Yang ada lo nya kasih langsung ke gue. Enggak usah gue ngomong minta dulu kali. Enggak peka banget jadi cowok,” dengus Nirina. Masa iya harus meminta dulu. Ya kali. Yang ada Tio peka langsung membeli dan memberikannya pada Nirina seperti kisah pacaran di n****+-n****+ yang sering Nirina baca. Itu kan romantis. Huh, Nirina yang penikmat n****+ bergenre romantis harus memiliki kekasih yang modelan tidak peka seperti Tio. Harus ekstra sabar menghadapinya. Tio kan tidak ada romantis-romantisnya. Sepertinya Nirina jatuh cinta pada orang yang salah. “Ya mana gue tahu. Mantan-mantan gue juga minta dulu baru gue kasih,” ucap Tio membela dirinya. Tio mana tahu keinginan Nirina yang seperti apa. Nanti dibelikan yang A ternyata sukanya yang B. Kan malah ribet. Mending langsung bilang saja Nirinanya. Tidak sulit juga kok. Dasar perempuan. Sulit dimengerti. Mata Nirina melotot. Kenapa jadinya Tio membahas mantan pria itu. Mau pamer karena memiliki banyak mantan kekasih? Tidak sadar apa, Nirina sudah panas. Ingin langsung mencubit mulut Tio. Nirina memilih berjalan lebih cepat. Meninggalkan Tio di belakang yang kebingungan. Kenapa jadinya Tio yang ditinggal? Dan Nirina kenapa kesal padanya? Tio tidak merasa berbuat salah. Huh, Tio menyabarkan dirinya. Mengingat dirinya sebagai laki-laki yang tentu saja akan menjadi pihak yang disalahkan apa pun masalahnya. Dan Nirina, tetap akan selalu benar walau sebenarnya salah. Hukum alam yang merugikan kaum laki-laki dan menguntungkan pihak perempuan. “Iya gue salah. Harusnya gue yang peka langsung kasih boneka atau sesuatu ke lo. Bukan tanya dulu. Gue minta maaf ya.” Tio mengalah. Meminta maaf pada Nirina yang tengah mendudukkan dirinya di kursi yang ada tepat di depan super market. Tio jongkok di hadapan Nirina. Menggantikan tangan gadis itu yang tengah memijat pelan kaki kanannya. Kaki Nirina terasa sakit karena berjalan terlalu lama. “Mau pulang saja?” tanya Tio khawatir. Tio tidak memedulikan orang yang berlalu lalang melihat tingkahnya. Apalagi ditambah celana abu-abu yang digunakan. Untung saja mereka membawa sweater untuk membungkus seragam sekolah mereka. Mungkin bagi kebanyakan orang, Tio tengah membujuk kekasihnya yang merajuk sampai rela memijat kaki Nirina. “Enggak. Tanggung sudah sampai sini,” jawab Nirina dengan wajah yang sudah memerah. Sepertinya Nirina akan menarik kata-katanya jika Tio tidak romantis. Tio romantis dengan caranya sendiri. Perhatian dan khawatir yang Tio tunjukkan sekarang mampu membuat perasaan Nirina hangat. Dan sedikit malu juga karena banyak orang yang melihat ke arah mereka walau diam-diam. “Sudah ayo masuk,” ajak Nirina. Bangkit lebih dulu kemudian di susul Tio setelahnya. Tio menurut saja. Bertugas mendorong troli dengan Nirina yang memimpin jalan di depannya. Nirina bahkan sudah melupakan kekesalannya tadi pada Tio. Harusnya Nirina paham dan menerima Tio yang memang tidak peka. Tio bukan salah satu tokoh di n****+ yang Nirina baca. Jadi, tidak ada hak Nirina memaksa Tio untuk menjadi seperti mereka. Tokoh fiksi buatan manusia pemuja kisah manis. “Lo mau beli apa? Daging apa ayam?” tanya Nirina. Di catatan yang diberi si mbak sih beli daging saja, tapi Nirina tetap menanyakannya pada Tio barangkali pria itu menginginkan yang lain. “Ngikut lo saja,” jawab Tio. Beralih ke bagian buah-buahan. Nirina mengambil jeruk dan alpukat. Buah kesukaannya. Memasukkan ke dalam troli dan berpindah lagi ke bagian makanan ringan dan minuman. Nirina yang memang suka menyemil apalagi ada Tio yang sering datang ke rumah mengambil lumayan banyak. “Loh, kok ilang?” Nirina bingung, Tio menghilang begitu saja. Entah ke mana perginya. Tidak bilang terlebih dahulu. Nirina kan jadi bingung sendiri. Nirina berkeliling mencari keberadaan Tio. Menghela nafas saat melihat Tio tengah berada di deretan bumbu dapur. Untuk apa? Mau masak? Belum sampai Nirina menghampiri Tio, sudah ada yang lebih dulu mendekat. Gadis yang sama-sama masih menggunakan seragam sekolah. Menyapa Tio akrab. Nirina mengernyit. Tidak pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Apa dia teman Tio dulu di sekolahnya? Mata Nirina makin melebar saat dengan seenaknya perempuan itu memeluk Tio. Yang makin membuat kesal, Tio hanya diam. Seolah menerima saja. Nirina terbakar api cemburu. “Awas saja lo,” geram Nirina. Bukannya menghampiri dan memaki malah memilih pergi. Malas melihat adegan menjijikkan itu. Biar nanti di selesaikan di rumah saja. Nirina tidak mau mempermalukan dirinya sendiri jika menghampiri mereka dan membuat keributan. “Dari mana saja sih. Gue keliling cari ternyata malah enak-enakkan duduk di sini,” dengus Tio. Tio sudah mencari keberadaan Nirina di antara rak-rak yang menjulang. Tidak ada sama sekali. Dan ternyata Nirina malah sedang duduk dan menjilati es krimnya. Tio jadi kesal sendiri. “Lo juga tadi ilang. Enggak tahu ke mana,” jawab Nirina membalikkan. Tio menghela nafas. Mengalah, kali ini dirinya yang salah lagi. Memperpanjang masalah juga bukan pilihan yang tepat apalagi masih di tempat umum. Bisa menjadi tontonan nanti. “Sudah kan? Ayo bayar,” ajak Tio. Troli sudah dipenuhi belanjaan. Tidak hanya kebutuhan dapur Nirina, tapi ada juga beberapa yang akan Tio bawa pulang ke rumah. Tio juga butuh bahan makanan untuk di rumahnya sendiri. Untuk persediaan malam hari jika tiba-tiba saja lapar. Tidak mungkin kan kalau harus ke rumah Nirina. “Pakai punya gue saja,” ucap Nirina. Mengangsurkan kartu debit miliknya. Mendahului Tio yang masih mengambilnya dalam dompet. “Enggak Na. Gue saja. Pakai punya saya saja Kak,” tolak Tio. Memberikan kartu debit miliknya juga. Kasir bingung, harus mengambil kartu siapa. Keduanya tengah menatap seolah berbicara bahwa kartu saya saja yang diambil. “Mm... maaf. Jadi mau pakai yang mana ya?” ringis kasir perempuan itu. “Pakai punya saya Kak. Itu belanjaan saya semua soalnya,” jawab Nirina cepat. Makin mendekatkan kartu miliknya. “Pakai punya saya saja Kak. Itu juga ada belanjaan gue Na. Sudah sih nurut saja. Diam ya, gue yang bayar,” bantah Tio. “Ya sudah sana terserah lo.” Nirina meninggalkan kasir. Memilih keluar terlebih dulu. Malas sekali setiap hari harus berdebat dengan Tio. Apa pacaran sebenarnya memang seperti ini? Atau hanya Nirina saja yang mengalaminya? Kalau berpedoman pada n****+ yang dibaca, tidak ada yang seperti ini. Kisah mereka selalu manis tidak seperti kisah Nirina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD