Di dalam mobil, Nirina tetap diam. Mengabaikan Tio yang mengajaknya berbicara. Tio yang mulai kesal diabaikan memilih menutup mulut. Kesal juga lama-lama. Tio lagi-lagi harus terkena kemarahan Nirina yang dirinya sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Apa semua wanita memang seperti ini ya? Ditanya kenapa, jawab tidak apa-apa tapi malah mendiamkan. Ditanya mau apa, jawab terserah tapi saat dibelikan sesuatu dan tidak sesuai keinginan langsung protes. Kadang Tio bingung, kenapa sih ada makhluk dengan sifat paling egois. Setidaknya itu dari sudut pandang Tio sebagai laki-laki. Di mata perempuan, tentu saja pasti kaum lelaki juga memiliki kekurangan yang lebih banyak pastinya. Kalau sudah saling mendiamkan seperti ini, bagaimana masalah akan terselesaikan? Tio menyadari bahwa dirinya tidak peka sama sekali mengenai hal di sekitarnya. Jadi, berharap jika ada sesuatu yang mengganggu, Nirina mengungkapkannya saja. Kan tidak susah juga. Membuka mulut untuk mengutarakan tidak sesulit itu.
Tiba di rumah Nirina, gadis itu turun dan membanting pintu mobil Tio keras. Tio sampai memegangi jantungnya saking terkejutnya. Lagi-lagi menghela nafas. Tio yang keras kepala perlahan berubah menjadi lebih mengalah saat bersama Nirina. Sayangnya, kesabaran Tio tidak sebesar itu. Ada saat-saat di mana Tio ingin meledak. Siapa sih orang yang hanya diam saja saat diperlakukan seperti ini? Sepertinya tidak ada, kecuali orang itu benar-benar memiliki kesabaran ekstra. Dan Tio tidak memilikinya. Kalau Nirina adalah laki-laki, mungkin Tio sudah mengajak untuk berkelahi saja. Eh kalau Nirina laki-laki, berarti Tio berpacaran dengan sesama jenis dong? Hih, jangan sampai. Tio buru-buru menggelengkan kepala. Ada-ada saja pikirannya.
Setelah meletakkan belanjaan milik Nirina di dalam rumah, Tio langsung saja pulang. Tanpa berpamitan atau basa-basi. Mengabaikan makan malamnya nanti. Jika seperti ini terus mending pulang saja. Makan malam tinggal memesan di aplikasi pesan antar. Makan hati kalau terus berada di sekitar Nirina yang tengah mengambek. Tio takut lepas kontrol dan mengamuk nantinya.
“Tio mana nek?” tanya Nirina yang baru keluar dari kamar dengan rambut yang digelung handuk. Sepulang dari mall, tadi langsung mandi. Badan Nirina sudah terasa gatal oleh keringat. Dan setelah selesai malah tidak mendapati Tio di rumah.
“Oh berarti belanjaan itu dari nak Tio ya? Tapi enggak masuk kayanya deh,” jawab nenek Anah. Anah tadi sempat bingung, belanjaan siapa yang ada di ruang tamu. Ada sekitar lima plastik besar. Anah tidak merasa belanja atau pesan di aplikasi. Kalau Nirina, pasti langsung di bawa ke dapur. Kalau Tio, pria itu juga akan langsung menaruhnya di dapur juga. Ini diletakkan begitu saja di ruang tamu tanpa ada pesan atau ucapan. Anah sih sebenarnya sudah menebak bahwa itu merupakan kelakuan Tio. Memang siapa lagi yang sering keluar masuk rumah ini selain lelaki itu. Dan ternyata memang benar. Tapi ada sedikit keanehan. Tio biasanya akan langsung meletakkannya di dapur dan berbasa-basi dengan orang rumah. Ini tidak sama sekali. Pasti ada yang tidak beres.
“Loh kok begitu sih? Enggak sopan banget,” gerutu Nirina. Apa Tio balik marah karena Nirina yang mendiamkannya selama di mobil? Kalau iya, berarti kekanakan sekali. Nirina kan marah juga ada sebabnya. Ya karena melihat Tio yang mengobrol akrab dengan perempuan yang Nirina tidak kenali.
“Kalian lagi ada masalah ya?” tebak nenek Anah yang sepenuhnya benar.
Nirina menggaruk kepalanya. “Ya bisa dibilang iya sih nek. Aku lagi diamkan Tio karena lihat dia ngobrol terus pelukan sama perempuan asing. Tapi malah Tio balik marah deh kayanya,” gumam Nirina. Nirina pantas kan marah, karena Nirina merasa cemburu. Bukankah kalau cemburu itu tanda cinta. Dan Nirina memang mencintai Tio.
Anah menghela nafas. Permasalahan cinta ala remaja memang tidak akan jauh dari salah paham dan orang ketiga. Masalahnya juga sebenarnya sepele namun akan dibesar-besarkan sampai nanti ribut dan berujung putus. Begini-begini kan Anah juga pernah muda dan merasakannya. “Kamu sudah tanya sama nak Tio? Jangan main asal ambil kesimpulan. Kamu tanya dan dengarkan penjelasannya. Mungkin saja perempuan itu teman lama atau keluarganya kan,” nasihat Anah. Keduanya memang masih labil jadi ya seperti ini. Sama-sama keras kepala lagi.
“Kenapa dia enggak jelaskan langsung nek?” protes Nirina yang tidak mau disalahkan. Menurut Nirina, semua salah Tio. Tio harusnya langsung saja menjelaskan tanpa perlu Nirina menanyakannya. Sekali lagi, Tio memang tidak peka sama sekali.
“Memang Tio tahu kalau kamu lihat dia lagi sama perempuan?” tanya Anah. Sifat keras kepala Nirina terlalu parah. Sampai terkadang Anah saja kesulitan menghadapi. Apalagi Tio. Anah harus perlahan mengubah sifat buruk milik Nirina sebelum gadis itu akan menyesalinya. Karena bisa saja karena sifatnya itu Nirina kehilangan orang-orang di sekelilingnya akibat sudah tidak kuat lagi menghadapi Nirina. Kalau orang rumah sih sudah terbiasa akan itu. Bertahun-tahun tinggal bersama sudah sepenuhnya mengenal Nirina luar dalam. Walau kadang kesal juga saat Nirina ngeyel.
Nirina mengedikkan bahunya. “Berarti kalau aku enggak tahu, Tio bebas melakukan apa saja? Bebas jalan atau makan sama perempuan lain? Asal aku enggak tahu, semua bisa dilakukan Tio di belakang aku, begitu?” Nirina tidak terima mendengarnya. Yang Nirina inginkan, Tio bercerita sendiri mengenai tadi dirinya habis bertemu dengan wanita yang ternyata berstatus apa di hidupnya. Jangan malah diam saja seolah Nirina tidak mengetahuinya.
“Aduh, nenek jadi bingung sendiri. Menurut nenek nih, kalau kamu penasaran ya tanya. Bisa saja nak Tio tidak menceritakan karena dia menganggap bahwa hal itu tidak penting untuk diceritakan. Jangan terlalu keras kepala ya nduk,” ucap Anah. Semoga saja Nirina dapat menerimanya. Kalau masih saja ngeyel, Anah memilih menyerah. Lelah juga sedari tadi menasihati Nirina. Kalau seperti ini, Nirina sangat mirip dengan papanya. Sama-sama keras kepala. Pantas saja keduanya tidak akur, karena keduanya sama-sama batu. Tidak ada yang mau mengalah.
“Sekarang, kamu minta maaf sama Tio. Kamu sudah dengan seenaknya mendiamkan. Tio pasti bingung. Dan kalau masih penasaran, tanya,” ujar Anah. Setelahnya meninggalkan Nirina sendiri. Membiarkan gadis itu memikirkan semuanya. Wajar saja kalau Tio balik marah. Dia pasti bingung kenapa tiba-tiba didiamkan. Dan memilih balik mendiamkan karena merasa tidak memiliki kesalahan.
“Nurut sama nenek!” Tegas Anah saat melihat Nirina yang hendak membuka mulut untuk protes. Nirina langsung mengurungkan niat. Memilih mengangguk menuruti nenek Anah. Kalau sudah seperti ini, nenek Anah terlihat menyeramkan. Seperti Diana dulu kalau sudah marah.
“Iya, tapi nanti. Kalau ingat,” gumam Nirina pelan. Anah tentu tidak mendengarnya karena wanita tua itu sudah meninggalkan Nirina. Nirina menuruti perintah Anah agar cepat saja. Masalah dilakukan atau tidak, itu urusan belakang.
Makan malam, Tio tidak datang. Sepertinya pria itu benar-benar sudah kesal. Nirina menghela nafas. Apa memang sudah keterlaluan? Nirina kira Tio akan datang dan meminta maaf seperti biasanya saat Nirina mendiami Tio. Kali ini tidak. Perasaan bersalah makin bergelayut. Huh, Nirina merutuki sifat keras kepalanya yang tidak juga hilang. Kalau sudah seperti ini, pasti akan panjang.
“Belum minta maaf?” tanya Anah. Anah sih sudah menduga, seratus persen bahwa Nirina belum menuruti perintahnya. Maksud Anah itu baik, tapi Nirina yang sulit. Minta maaf kan mudah.
Nirina menggeleng yang langsung dibalas helaan nafas oleh Anah. Benar kan tebakan Anah. Anah bahkan sudah kehabisan cara untuk mengubah sifat buruk Nirina. Harus bagaimana lagi agar Nirina mau sedikit mengalah? “Aduh, terserah kamu saja deh. Nenek enggak akan ikut campur. Kamu yang memulai, dan kamu juga yang harus menyelesaikan sendiri,” pasrah Anah. Membiarkan Nirina menyelesaikan masalahnya sendiri. Malaslah, sudah diberi tahu yang baik malah tetap saja tidak dilakukan.
Nirina mencebikkan bibirnya. “Nek, jangan begitu ih. Nanti aku bakal minta maaf kok sama Tio. Nenek jangan marah ya,” bujuk Nirina. Nirina tidak mau Anah marah. Mending menuruti permintaan Anah saja.
“Ya sudah. Nenek itu cuman bisa menasihati kamu. Jangan terlalu keras kepala. Atau kamu bakal kehilangan orang di sekitar kamu karena mereka terlalu jengah. Kurangi ya itu keras kepala. Terus juga jangan suka mengambil kesimpulan sendiri. Biasanya, apa yang kamu lihat itu tidak seperti yang sebenarnya terjadi,” kata Anah. Berharap Nirina mau sedikit saja memperbaiki diri. Tapi yang namanya sifat bawaan lahir ya pasti sulit untuk diubah.
“Iya Nek. Aku minta maaf,” ucap Nirina lirih.
“Bukan sama nenek. Sama Tio.”
“Iya. Nanti aku bakal telepon Tio buat minta maaf dan menyelesaikan semuanya,” ucap Nirina. Nirina memilih mengalah kali ini. Benar juga kata nenek Anah bahwa Nirina memang terlalu keras kepala. Tidak mau disalahkan walau sebenarnya memang salah. Selalu merasa bahwa dirinya benar. Apa pun keadaannya. Nirina takut jika orang-orangnya akan jengah dengan sifatnya dan memilih pergi. Daripada merasakan itu mending meminta maaf. Sebelum terlambat. Dan mengenai mengambil kesimpulan sendiri, Nirina memang mematok bahwa yang dilihatnya ya itu kenyataannya. Nirina tidak memedulikan bahwa ada sesuatu di baliknya. Benar kata nenek Anah. Yang kita lihat belum tentu yang sebenarnya terjadi.
“Enggak usah telepon. Gue sudah di sini kok,” celetuk suara pria.
Nirina mengalihkan pandangannya ke sumber suara. Ada Tio berdiri di sana. Lelaki dengan tampilan santai itu dengan santai berjalan masuk dan langsung mendudukkan diri di kursi yang ada di samping Nirina. Tanpa canggung, mengambil nasi dan lauk di atas piring yang sudah tersedia di hadapannya. Tio datang. Sebenarnya sih malas untuk datang. Masih kesal juga Nirina mendiaminya tiba-tiba. Tapi entah kenapa, malah kakinya mengantar Tio sampai rumah ini.
“Mm... Gue-“
“Makan dulu saja Na. Masalah itu diselesaikan nanti. Gue lapar banget ini,” potong Tio. Perutnya sudah keroncongan sedari tadi. Daripada makin lapar mending menunda pengakuan Nirina. Tio sudah lumayan lama di rumah ini. Berdiri diam di balik dinding pembatas ruang tamu dan ruang keluarga yang terdapat ruang makan juga. Mendengarkan obrolan yang sedari tadi didominasi Nirina dan nenek Anah. Tio jadi makin tahu bahwa Nirina memang sekeras kepala itu. Nenek Anah saja sampai jengah menasihati. Mulai sekarang, Tio harus ekstra sabar menghadapi Nirina.
Suasana makan yang biasanya ramai menjadi diam. Mereka asyik dengan kegiatan makannya sendiri-sendiri. Mereka ingin cepat menyelesaikannya. Tapi tidak dengan Nirina yang sengaja melambat. Nirina tidak ingin makan malam ini cepat selesai. Nirina masih bingung untuk menyelesaikan masalahnya. Bagaimana cara meminta maaf yang benar, menanyakan yang sebenarnya terjadi. Ini kali pertamanya Nirina akan menyelesaikan masalah dengan pria apalagi kekasih. Sepertinya akan ribet. Apa langsung saja ya? To the point.
“Di taman belakang saja sana. Biar lebih leluasa,” kata nenek Anah. Barangkali merasa risih jika menyelesaikan masalah di dalam rumah. Mending di belakang. Tidak ada yang mendengarnya.
Nirina menurut. Berjalan mendahului Tio menuju halaman belakang rumah yang luas. Mendudukkan diri di kursi yang berhadapan dengan kolam renang. Nirina memilih duduk di tepi kolam renang dan memasukkan kakinya ke dalam kolam saat melihat Tio seperti itu. Tidak enak saat Nirina duduk di atas sedangkan Tio di bawah. Apalagi Tio juga lebih tua beberapa bulan.
“Mm... Gue mau minta maaf,” gumam Nirina. Menundukkan kepalanya melihat kakinya yang bergerak di dalam air. Nirina tidak berani melihat wajah Tio.
Hening, Tio tidak menjawab ucapan Nirina. Memilih menatap jauh ke atas. Nirina yang bingung ikut diam juga. Apa seperti ini rasanya didiamkan. Nirina menyesalinya. Karena rasanya tidak enak dan membingungkan. Berjanji tidak akan mengulanginya.
“Yo, lo dengar gue kan?” tanya Nirina. Mencoba menyadarkan Tio bahwa dirinya di sini mengajak Tio berbicara. Bukan hanya diam seperti patung.
Tio menolehkan kepalanya. Menatap intens Nirina tepat di mata gadis itu. “Sekarang lo tahu kan rasanya didiami? Ngomong tapi enggak ada balasan padahal ada orangnya? Itu yang sering gue rasakan Na. Gue memang enggak peka. Sama sekali enggak peka. Maka dari itu, kalau gue berbuat kesalahan, ngomong. Jangan diam dan suruh gue buat tebak sendiri. Bingung tahu,” ungkap Tio. Tio masa bodoh jika Nirina akan menangis. Tio ingin memberi tahukan bahwa rasanya didiamkan itu tidak enak. Agar Nirina tidak akan mengulanginya lagi.
“Ya maaf,” lirih Nirina. Iya, Nirina mengaku bersalah makanya minta maaf. Tapi Tio malah seperti ini.
“Iya gue maafkan, tapi tolong jangan ulangi lagi. Kalau gue berbuat sesuatu yang memang enggak srek di lo, ngomong ya,” pesan Tio. Nirina mengangguk mengiyakan.
Satu masalah selesai. Masih ada satu lagi yaitu penyebab dari permasalahan pertama tadi. “Terus, kenapa lo diami gue selama di mobil? Masalah kartu?” tanya Tio.
Nirina menggeleng pelan. “Gue lihat lo ngobrol dan pelukan sama perempuan,” jawab Nirina.
“Oh, itu. Dia Raina, masih saudara sih. Tapi saudara jauh. Kakek gue sama kakek dia itu kakak adik,” jawab Tio. Menjelaskan siapa perempuan yang membuat Nirina salah paham.
Nirina yang mendengar tentu saja malu. Ternyata salah sangka. Nirina mendiami Tio dengan alasan memalukan itu. Nirina cemburu pada orang yang tidak semestinya dicemburui. Nirina mengalihkan kepalanya. Ke mana pun asal tidak bertatap langsung dengan Tio. Nirina merasa malu luar biasa. Apalagi kalau Tio sampai tahu bahwa Nirina cemburu.
“Jangan bilang, lo cemburu ya. Ya ampun, lucu banget.” Tawa Tio mengudara. Lucu melihat wajah Nirina yang tersipu. Benar dugaan Tio bahwa ternyata Nirina cemburu mendapati dirinya mengobrol dengan Raina. Jadi, alasan Nirina mendiaminya itu karena cemburu?
“Siapa bilang? Jangan sok tahu deh jadi orang,” elak Nirina. Ya kali mengakui bahwa Nirina cemburu. Yang ada nanti Tio merasa di atas angin. Jangan sampai Tio mengetahuinya, bisa-bisa Nirina akan malu dan diledek habis-habisan oleh Tio. Tio kan iseng sekali.
“Ngaku saja deh lo. Lo cinta banget ya sama gue? Sampai cemburu buta begitu. Lain kali, kalau cemburu lagi, ngomong langsung ya. Nanti gue jelaskan. Jangan main diam saja. Gue kan enggak peka kaya yang lo bilang,” ledek Tio. Kalau bertanya seperti ini kan jadi mudah. Masalah cepat terselesaikan. Kalau sampai sekarang Nirina tetap memilih diam, ya tidak akan selesai sampai kapan pun.
Pelajaran bagi pasangan, lebih terbuka satu sama lain agar tidak timbul salah paham. Komunikasi antar keduanya begitu penting untuk berlangsungnya hubungan itu agar tetap terjaga. Kalau salah satunya keras kepala, sebisa mungkin satunya mengalah. Jangan keras kepala dibalas keras kepala. Yang ada akan berantakkan.