Awal Segala Hal

2370 Words
Dunia dan isinya hanyalah memperdaya. Bunga yang diberikan hanya kenikmatan di awal. Sedangkan ke belakangnya, malapetaka siap menanti untuk mereka yang merugi. Dear, Ustadz *** SATU - Awal Segala Hal Empat tahun sebelum prolog .... Jakarta masih sama. Menjadi kota polusi yang tiap hari menjajakan bermacam pencemaran yang siap merangsek ke penciuman. Pun suara klakson yang memekakan telinga bukan lagi hal baru, sudah biasa bagi mereka yang kesehariannya bertinggal di sini. Entah pagi, siang, atau barangkali sore dan malam, tak ada yang namanya jalan lengang. Semuanya penuh. Tumpah ruah. Padat. Seolah ketika hendak mengisi d**a dengan pasokan oksigen pun harus berebut dengan yang lain. Pemandangan itu pula yang kini terlihat pada perempatan lampu merah di depan sana. Puluhan mobil mengular di jalan. Berebut tempat untuk bisa sekadar menyela di antara kerumunan. Macet adalah momok besar bagi pengendara. Apalagi jika cuaca sedang tidak bersahabat seperti sekarang. Matahari terangkat tinggi-tinggi, menyentak kulit manusia luar biasa panas. Tak hanya jerit klakson yang terdengar, genjrengan gitar asal diikuti nyanyian seadanya, juga lengkiran suara pedagang asongan ikut beradu. Lelah. Aktivitas di siang hari apalagi saat jam istirahat begini benar-benar menguras sabar dan tenaga. Pemuda yang sudah terjebak di lampu merah sejak dua puluh menit lalu itu mengikuti lantunan murrotal yang ia setel di dalam mobilnya. Sesekali berucap istighfar kala melihat sepeda motor menyalip mobilnya seenak hati, bahkan sempat ada yang menyenggol spion kanannya. Dia, Zainal, membuka kaca mobil lantas menjulurkan kepala ke luar ketika melihat dua orang perempuan berjalan di samping mobilnya. Yang satu membawa gitar kecil, yang satu membawa topi berisikan recehan uang. "Assalamu'alaikum, Mbak," ucap Zainal pada kedua perempuan itu hingga menoleh. Beberapa jenak keduanya berpandangan, sampai salah satu dari mereka bertanya, "Lo panggil kita berdua Mas?" Dengan senyumnya, lelaki itu mengangguk singkat. "Saya mau tanya. Di depan ada apa ya, kok macet dari tadi?" Perempuan yang memakai kaos oblong warna hitam menyenggol temannya. Membisikkan sesuatu hingga senyum culas yang membuat Zainal mengerutkan dahi tampak begitu saja. Perempuan yang tadi mengangguk atas permintaan temannya itu berdeham. "Seratus ribu dulu deh, Mas, baru gue kasih tahu." Alis Zainal semakin rapat. "Seratus ribu? Untuk apa, Mbak?" Perempuan itu berkacak pinggang. "Zaman sekarang nggak ada yang gratis, Mas. Mau nggak nih? Kalau enggak, gue pergi sekarang." Embusan napas Zainal keluar begiru saja. Namun walau begitu, tangannya tetap terulur pada kantong kemeja yang ia kenakan untuk menarik selembar seratus ribuan. Hitung-hitung sedekah, batinnya bicara. Setelah menerima lembaran tersebut, kedua perempuan tadi mengayunkan kepalan tangan ke udara. Merasa berhasil atas niat buruknya. "Di depan ada kecelakaan, Mas. Beruntun. Ada yang mati, eh meninggal kayanya," ucap perempuan itu. "Innalilahi wa inna ilaihi rajiun." "Udah kan, Mas, itu doang?" Kepala Zainal terangguk. "Terima kasih, Mbak." Perempuan itu menunjukkan jempol tinggi lantas bergegas pergi dari samping mobil Zainal. Sempat salah satu dari perempuan itu menoleh pada Zainal dengan seutas senyum culas. Gampang sekali mendapatkan uang dari lelaki tajir macam dia, gumamnya dalam hati. "Ira! Buruan!" sentak temannya dengan intonasi suara yang tinggi. Segera saja dia kembali melangkah untuk menyeberangi jalan raya yang masih sama padatnya. Sedangkan Zainal kembali melorotkan bahu sambil memejamkan mata sekilas. Sepertinya dia akan terjebak macet lebih lama dari hari-hari lalu. Ditambah kemarau yang baru saja tercium aromanya membuat mobilnya terasa amat pengap. Tak terasa, lima belas menit kemudian lampu berkedip hijau. Hamdallah yang keluar dari mulut Zainal menuhi seisi mobil. Netra lelaki itu menerobos tiap inchi jalan. Dahinya bergelombang. "Katanya ada kecelakaan," gumamnya sambil memutar kemudi pada tikungan. Sejenak dia berhenti saat kendaraan di depannya juga berhenti. Mungkin macet lagi. Dia membuka kaca mobil perlahan. "Assalamu'alakum, Pak," ucapnya pada seorang tukang ojek yang sedang berhenti pula di pinggir jalan. "Wa'alaikumusalam, Mas." "Di depan ada kecelakaan ya, Pak, kok macet?" Kening lelaki kisaran umur lima puluh tahun itu mengernyit. "Enggak ada, Mas. Ya biasa kalau macet, ini Jakarta." Zainal menampakkan senyum lantas mengucapkan terima kasih pada lelaki setengah baya tersebut. Bapak itu mengangguk lalu menjalankan motor sekenanya menorobos sela mobil yang ada. Sedangkan Zainal lagi-lagi mengeluarkan istighfar. Rupanya kedua perempuan tadi berbohong padanya. Sebenarnya dia tak mempermasalahkan uang yang telah ia berikan pada keduanya. Hanya saja, dia teramat menyayangkan, masih ada orang yang rela menjual kebohongan hanya untuk memperoleh uang. Dunia memang telah memperdaya manusia. Awalnya tampak menggiurkan, menawarkan banyak kenikmatan yang sejujurnya membawa malapetaka ke depannya. Manusia seolah lupa. Hidup ini dijalani bukan hanya untuk memperoleh kesenangan dunia semata. Akan tetapi, akhirat jauh lebih penting. Manusia boleh memperjuangkan dunia, asalkan tidak lupa pula menyiapkan bekal untuk akhirat. Dunia ini memang bunga. Tampak indah. Namun, keindahan itu perlahan akan sirna dilumat waktu. Gemerlap yang dibawanya akan membawa bencana untuk mereka yang rugi. Bunga hanya akan mekar sebentar, tidak lama. Lalu setelahnya, dia akan layu, mati, lantas lenyap. Begitulah dunia. Bagi manusia yang beriman, ketika ia disuguhkan bunga, ia pasti akan merawatnya. Menunggu sampai bunga itu mekar pada waktunya, ia tak terburu-buru. Karena ia paham, belum saatnya ia menikmati keindahan bunga itu. Semua hal perlu waktu. Ia perlu berjuang agar bunganya tetap aman, dan akan mekar pada waktunya. Sedangkan untuk orang yang merugi, ketika ia melihat bunga, ia pasti bergegas memetiknya. Kesenangannya hanya sebentar. Karena bunga yang sudah dipetik, ujungnya hanya akan layu. Demikianlah. Semua yang ada di muka bumi ini diperlukan sabar dan istiqomah. *** Baru setelah arloji di tangannya menunjukkan pukul 13:02, Zainal terlepas dari macet. Mobil hitam yang ia kemudi akhirnya dapat membelah jalanan ibu kota siang itu. Pantulan sinar matahari dari aspal di depannya menyembur ke wajah, rasanya panas. Meski sang raja siang sudah menyerong ke barat, nyatanya kadar sengatannya tak berkurang juga. Kerikil-kerikil kecil yang berserakan di pinggir jalan bahkan terlihat mengkilat, tampak mengenaskan kala dipandang. Pun dedaunan kering yang satu-dua gugur menari di udara sekian detik sebelum akhirnya limbung di tanah. Semua yang di dunia ini berjalan sesuai ketetapan-Nya. Setjap saat Zainal terkagum-kagum dengan Sang Maha Pencipta. Tangan kuasa-Nya benar-benar pencipta paling sempurna. Dia mengatur segala perihal, mulai dari yang terbesar hingga sesuatu yang teramat kecil. Bahkan, daun yang gugur pun atas kehendak-Nya. "Allah .... Bagaimana Engkau bisa ciptakan semua ini dengan begitu sempurna," hati kecilnya bicara. Terkadang dia malu dengan yang di atas. Dia hanyalah salah satu bagian terkecil dari yang Allah ciptakan, bahkan dia tak ada apa-apanya jika dibanding makhluk-Nya yang lain. Namun, ada kalanya dia terlalu menyombongkan diri, menganggap apa yang ia peroleh adalah jerih payahnya sendiri. Padahal di balik itu semua, ada Allah yang senantiasa campur tangan atas keberhasilannya. Dia hanya manusia biasa, masih sering berbuat dosa dan kesalahan. Setetes air mata Zainal lolos. Selalu seperti ini. Saat ia mengingat betapa Sang Murah Hati adalah penguasa yang sebenarnya, begitu banyak nikmat-Nya yang ia sia-siakan, tak pernah kuasa ia menahan air mata. Dalam hati Zainal mengucap banyak syukur atas segala nikmat yang masih dapat ia rasakan sampai saat ini. Dia tak ingin menjadi makhluk-Nya yang kufur akan nikmat. Ponsel yang ada di dashboard mobil berdering, membuat Zainal tersentak lantas segera meraihnya. Tangannya dengan gegas menggesek tombol hijau. "Wa'alaikumusalam, Ummah," jawab Zainal kemudian. Segaris senyumnya tampak."Iya, Ummah, Zainal akan segera sampai. Ini masih di jalan. Tadi macet, tapi sekarang Alhamdulillah udah lancar lagi." Sembari menempelkan benda milenial itu di antara telinga dan bahunya, Zainal tertawa singkat. "Zainal 'kan masih baru di kantor, nggak mungkin kalau langsung dibolehin Abbah meeting sama klien. Bisa-bisa nanti mereka kabur semua." Beberapa jenak, ia hanya menyimak. "Iya, Ummah, Zainal sampai rumah nggak lama kok." Belum sempat dia menjawab salam dari seberang, wajah Zainal langsung kaku dan pias. Hatinya langsung meneriakkan berbagai kalimat Allah. Bibirnya merapat. Tangannya yang memegang setir terlihat kian pucat. Sebuah mobil dan angkutan umum yang ada di depannya mengerem mendadak, oleng ke sisi jalan yang membuat mobil Zainal menabrak dari belakang, meski ia sudah berusaha banting setir ke kiri. Dia tak bisa menguasai kemudi. Lelaki itu mematung. Kondisi mobilnya merangsek. Asap yang mengepul dari depan membuat tubuhnya kaku. Sempat ia lihat sebuah tubuh terpental beberapa meter sebab terhamtam mobil Zainal. Allah, apa yang akan terjadi? Zainal tak bergerak dari posisinya. Kerumunan orang yang melingkupi mobil dan dua kendaraan lain bahkan tak mengubah gerak-geriknya. "Mas! Mas!" Pintu mobilnya digedor. Dia belum juga sadar dari keterkejutannya. Bahkan dia pun tak sadar kalau sedari tadi darah mengucur deras dari pelipisnya. Zainal tak mampu melihat apapun setelahnya, karena semua mendadak gelap. *** Zainal menghela napas setelah mengamati ruang ICU dari luar kaca pintu. Sosok yang tergolek tak sadarkan diri di atas ranjang itulah yang sejak tadi mengacau pikirannya. Tadi, setelah ia siuman, ia dimintai keterangan oleh polisi setempat terkait kecelakaan yang kemarin siang terjadi, yang melibatkan dirinya. Polisi berkata kalau ada seorang pejalan kaki yang turut menjadi korban atas kejadian tersebut. Dia, gadis yang masih terpejam erat itulah korbannya. Zainal ingat betul siapa gadis itu. Dia yang kemarin ditemui Zainal saat macet, dia pula yang kemarin menagih uang seratus ribuan demi membagi informasi yang sejujurnya hanyalah palsu. "Seratus ribu dulu deh, Mas, baru gue kasih tahu." Zainal masih ingat suaranya. Allah, Zainal merasa bersalah atas gadis yang tak ia ketahui namanya itu. Dia berpikir, bagaimana keluarga sang gadis saat ini, pasti mereka tengah kebingungan mencari keberadaan anggota keluarganya. Ah, bagaimana Zainal bisa menghubungi keluarga gadis itu kalau bahkan sederet identitas pun tidak ada. "Nak." Kepala Zainal langsung tertoleh begitu suara Ummah terdengar. Lelaki usia dua puluh satu tahun itu tersenyum segaris. "Gimana keadaan dia, Nak? Belum sadar?" Gelengan lemah dari Zainal menjawab pertanyaan wanita itu. "Belum, Ummah. Dokter bilang, dia kritis. Belum bisa dipastikan kapan siuman," jawabnya. Ummah mengusap lengan kanan sang anak sambil melemparkan satu senyum. "Jangan menyalahkan dirimu, Nak. Semua yang terjadi sudah ketetapan Sang Mahapencipta, begitu juga kecelakaan yang menimpamu dan gadis itu. Kamu hanya perlu berserah diri pada-Nya dan mintakan kesembuhan agar dia cepat pulih." Zainal mengangkat kepala lantas menatap Ummah lama, "Ummah, Zainal hanya takut kalau sampai kemungkinan terburuk terjadi ...." "Jernihkan pikiranmu dari hal-hal seperti itu, Nak. Jangan sampai ada malaikat lewat yang mengamini pikiranmu itu. Kalau memang dia dipanggil Allah lebih cepat, itu pun sudah tercatat di Lauh Mahfuz-Nya, Nak. Jangan membebani hatimu dengan perkara yang tak akan pernah bisa kamu ubah." Perkataan Ummah langsung membuat sebagian hati Zainal tenang. Pun senyumnya yang tampak di antara mahkota terindah kaum hawa - khimar - mencairkan bongkahan es yang tadi menggulung di relung lelaki itu. Perlahan, dia menemukan titik terang persoalan yang sejak tadi memehuni kepalanya. Memang benar, tak seharusnya ia berpikir hal-hal buruk tentang gadis itu. Yang manusia anggap buruk, bisa jadi memang yang terbaik. Kalau memang gadis itu harus dipanggil Illahi sebab kecelakaan itu, dia tak boleh menyalahkan dirinya atau bahkan orang lain. Semua sudah digariskan. Yang bisa ia lakukan sekarang hanya menyerahkan segala perkara pada Allah. Meminta jalan terbaik pada-Nya. "Oh iya, Abbah menunggu di ruang inapmu, Nak. Ada yang perlu dibicarakan," ucap Ummah mengingatkan. Dengan langkah terseok, Zainal berjalan ke ruangannya yang tak jauh dari ICU. Ummah yang turut berjalan di sampingnya pun membantu. Sesekali lelaki tersebut meringis merasakan nyeri dan ngilu yang menyerang tubuhnya. "Assalamu'alaikum warahmatullah," ucap Zainal dan Ummah serentak begitu keduanya masuk ke ruang inap lelaki itu. Abban yang sejak tadi duduk di kursi ruangan itu menoleh ke sumber suara. "Wa'alaikumsalam warahmatullah." "Ada yang mau Abbah bicarakan dengan Zainal?" Abbah mengangguk lantas menyuruh anak lelakinya itu duduk di sampingnya. "Polisi tadi sudah menghubungi Abbah terkait identitas gadis itu." Bola mata Zainal langsung membesar, terkejut seraya bersyukur. "Lalu, keluarganya, Bah?" "Dia yatim-piatu, ibunya meninggal sejak dia masih kecil dan ayahnya meninggalkan dia." "Innalilahi wa innah ilaihi rajiun." "Namanya Maira. Dia dititipkan di panti asuhan, tapi kemudian dia kabur, entah sebab apa. Selama ini dia menggantungkan hidup di jalanan," ucap Abbah setelah sebelumnya berhenti beberapa jenak. "Polisi menyarankan Abbah agar kamu mau menanggung segala biaya Maira, masalah ini tidak perlu dibawa ke meja hijau, Zainal. Jangan sampai persoalan ini berlarut-larut." Ummah yang masih berdiri mengangguk setuju. "Benar, Nak, lebih baik kita selesaikan secara kekeluargaan. Tidak perlu dibawa ke jalur hukum. Asal kamu bertanggung jawab atas kondisi Maira, semuanya akan baik-baik saja, Nak." "Iya, Ummah, Abbah. InsyaAllah Zainal akan bertanggung jawab sampai Maira pulih seperti sebelumnya." *** Sudah enam bulan setelah kejadian itu, Zainal masih setia bolak-balik rumah sakit sebab Maira belum juga sadar dari komanya. Dokter bilang, kondisi Maira belum juga menunjukkan perkembangan yang berarti. Kemungkinan Maira untuk sembuh atau barangkali siuman dari kondisinya, hanya kecil sekali. Kurang dari dua persen. Harapan Zainal semakin kecil akan gadis itu. Kemungkinan dirinya untuk melihat Maira kembali seperti sebelumnya seperti sudah tidak ada. Rasanya mustahil. Begitu teringat sesuatu, Zainal langsung beristighfar dalam hati. Dia tidak boleh berpikiran buruk. Jangan sampai ia bersuudzon pada Allah. Kalau Dia menggariskan Maira akan sembuh, tentu itu bukan perihal yang sulit dilakukan oleh-Nya. Namun, kalau memang ketakukan Zainal sudah menjadi jalan yang kehendaki-Nya, tak seorang pun bisa mengubahnya. Tak terkecuali dirinya. "Allah, hamba memohon pada-Mu, sembuhkan dia. Pulihkan dia seperti sediakala. Namun, jika mengambilnya adalah yang terbaik, hamba ikhlas. Berikan dia tempat terbaik di sisi-Mu." Doa itu selalu ia panjatkan sehabis sholat. Zainal tak ingin hal lain saat ini, karena yang terpenting baginya, ia hanya ingin Maira sembuh. Sudah, hanya itu. "Masuk, Nak," ucap Ummah sambil membuka pintu tempat Maira terbaring sambil melepar seutas senyum. Zainal mengangguk lantas mengikuti langkah wanita itu. "Bersabar, Nak, jangan berputus asa." Ummah mengusap kening Maira sambil melirik anak lelakinya yang kini berdiri kikuk di sampingnya itu. Semua orang tahu kalau belakangan ini Zainal jarang makan, sibuk melamun memikirkan kondisi Maira. Lelaki itu makin kurus-kering. "Dia cantik," ucap Ummah memecah hening. "Makin cantik kalau memakai kerudung seperti ini. Benar 'kan, Nak?" Mendengarnya, Zainal hanya tersenyum tipis. "Iya, Ummah." Memang, pagi tadi Ummah sengaja membawa kerudung yang ia beli kemarin untuk Maira. Dengan gerakan perlahan wanita itu mengenakannya pada gadis yang masih terbaring tersebut. Sudah sejak pertama kali melihat Maira, sebenarnya Ummah ingin sekali menutup kepala gadis itu dengan kain. Agar auratnya terjaga. Namun, baru pada kesempatan ini dia bisa melaksanakan ingin hatinya. Maira tampak cantik dengan sehelai kain yang menjuntai hingga dadanya. Meski hanya terpejam dengan wajah pucat, hal itu tak mengurangi kecantikan yang tampak dari wajah bersihnya. Ummah berandai dalam hati, bagaimana cantiknya Maira jika sudah sadar apalagi dengan memakai kerudung itu. "Ummah nggak tahu, sekeras apa hidupnya selama ini. Namun, Ummah yakin, Allah melimpahkan hati yang besar sampai dia menjadi gadis kuat seperti sekarang." ***. *** Terima kasih sudah membaca. Salam, Rikarst
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD