Setelah Hari Itu

2727 Words
Kita hanyalah sepasang kalimat rumpang yang kupikir akan berujung pada indahnya pertemuan, namun nyatanya justru berakhir temu yang mengecewakan. Dear, Ustadz *** DUA - Setelah Hari Itu "Lagi ada masalah?" Fikri yang duduk di kursi depan Zainal melemparkan tanya juga segaris kerut dahi. Lelaki yang kini memakai kemeja putih yang dipadukan dengan jas hitam itu sejak tadi mengamati Zainal yang tak hentinya melempar pandang ke atas - atap ruangan. Sudah lima belas menit lamanya ia di sana, selama itu pula ia hanya menyaksikan Zainal yang tak juga membuka pembicaraan. Padahal tujuannya ke mari bukan untuk menyaksikan betapa heningnya ruangan itu sebab kebungkaman si pemilik. Ia ingin mengajak Zainal sholat Dzuhur sekaligus makan siang, karena waktu istirahat telah masuk. Zainal hanya melirik Fikri sekilas. Setelahnya, ia melorotkan bahu ke sandaran kursi lantas memejamkan mata. Menghiraukan Fikri yang kini menjatuhkan rahang selebar mungkin. "Kenapa lagi? Masih mikirin kondisi gadis itu?" tanyanya terheran. Tangan Zainal melonggarkan dasi. Ditatapnya sang sahabat sambil menegakkan duduk. "Iya. Udah satu tahun lebih, Fik, dia nggak sadar. Kamu tahu, aku selalu merasa bersalah saat melihat dia. Mungkin jika bukan karena kejadian itu, dia nggak akan begini. Dia masih sehat." Mendengarnya, Fikri membuang napas bebas. "Aku emang bukan ustadz atau ahli agama kaya kamu, Nal. Tapi, aku  paham kalau takdir seseorang nggak ada yang bisa mencampuri. Semua udah ada jalannya. Kalau takdirnya memang kecelakaan hari itu, sekalipun kamu menghindar, semua akan terjadi.... Lagipula bukannya kamu yang sering memberi aku nasihat kalau Allah lebih tahu banyak hal. Takdir-Nya nggak bisa kamu ubah kalau Dia sudah menetapkan." Zainal tahu itu. Ummah juga Abbahnya sering memberi nasihat demikian. Bahkan mulutnya sendiri sangat sering mengucapkan kalimat serupa kala mengisi kajian atau khutbah. Garis Allah tak ada yang bisa membelokkan atau memutar arahnya. Lauh Mahfuz-Nya sudah mencatat segala hal yang Dia kehendaki. Namun, baru kali ini ia merasakan betapa sulitnya ikhlas akan musibah yang menimpanya. Berdamai dengan diri sendiri rupanya bukan hal mudah. Ia sudah puluhan kali meyakinkan diri kalau kecelakaan itu bukan salahnya, Allah sudah mengaturnya. Semua yang terlibat dalam kecelakaan hari itu telah ditetapkan Allah, tak terkecuali dirinya dan Maira. Akan tetapi, kenapa ikhlas sulit kali ia lakukan? "Kamu ingat ucapan ini, Nal?" tanya Fikri, "kalau kamu ditimpa musibah, memintalah. Kalau kamu bersedih dan kesepian, beribadahlah. Kalau kamu bimbang, sujud dan berdoalah, minta petunjuk Allah." Kepala Zainal terangkat untuk menatap Fikri. "Kamu lebih cerdas dariku, bahkan kamu yang sering mengingatkan ketika aku melakukan salah, Nal. Kamu selalu memintaku menjadi dewasa saat menghadapi masalah, jadi kali ini aku minta kedewasaanmu atas ini semua." Lama Zainal termenung akan ucapan Fikri. Entah kenapa hatinya sedikit terlukai. Bukan karena perkataan sang sahabat yang menyinggungnya, akan tetapi ingatannya yang langsung memutar banyak hal. Dia pernah ingat perkataan seorang ulama, bahwa seseorang yang mengajak orang lain untuk berbuat kebajikan, namun dirinya sendiri tidak mengerjakannya, sungguh dia adalah orang yang tercela dan dibenci Allah. Seperti firman-Nya, "Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (QS. Ash Shaff: 2-3). Bibir Zainal yang tadinya masih rapat kini terbuka untuk menggumamkan istighfar. Tangannya yang tergeletak di meja mengusap wajah kasar. Betapa selama ini ia tak sadar kalau yang dilakukannya selama setahun belakangan ini amat dibenci Sang Mahakuasa. Allah, maafkan kesalahannya. Zainal bangkit dari duduk. "Mau ke mana?" tanya Fikri dengan alis merapat saat melihat Zainal melenggang melewatinya tanpa berucap. "Ke masjid, sholat Dzuhur." Fikri berdecak. "Dari tadi aku sudah mengajakmu, Bujang!." Tawa pelan Zainal yang terdengar membuat kekesalan lelaki itu semakin besar. "Ya dari tadi kamu cuma diam, mana aku tahu?" "Kamu yang terlalu banyak melamun." Dengan uring-uringan, Fikri melangkah mendahului Zainal yang hanya mampu menggelengkan kepala sambil menatap punggung lelaki itu. "Sabar ya Allah," gumamnya. *** Usai sholat Dzuhur di masjid kantor, keduanya memutuskan untuk ke kantin. Mengisi perut dengan makan siang karena sudah sejak tadi perut mereka keroncongan. Apalagi, pagi tadi Zainal hanya sempat sarapan selembar roti oles. Kini, keduanya tengah duduk di salah satu bangku kantin menunggu makan siang yang mereka pesan untuk diantar. Bincang-bincang singkat soal pekerjaan. "Kata Abbah, minggu depan kamu akan  ke luar kota, jadi?" tanya Fikri sembari menyesap es jeruk di depannya. Kepala Zainal terangguk dua kali. "InsyaAllah," jawabnya, "tapi jujur aku gugup. Ini pertama kalinya aku bertemu klien tanpa ada Abbah." "Kan bulan kemarin kamu udah pernah meeting sama klien dari Lampung kemarin." "Itu Cuma proyek kecil." Fikri berdecak sebal. "Sama aja. Intinya bahas pekerjaan." Sedangkan Zainal tak melimpali setelahnya. Beberapa saat kemudian, keduanya langsung menoleh begitu seseorang melempar tanya, "Maaf, Pak, boleh ikut duduk? Bangkunya sudah penuh." Fikri hanya mampu termangu menatap dua orang gadis yang kini menghadap meja mereka. Bukan, sebenarnya seorang gadis saja yang menarik perhatiannya. Fikri tersenyum aneh, padahal menurutnya itu adalah senyum terbaik yang pernah ia berikan pada orang lain. Sedang Zainal yang sadar kalau sahabatnya itu menatap perempuan tersebut tanpa jeda, langsung mengusap wajah Fikri kasar. "Boleh, silakan," jawab Zainal. Lantas ia berbisik pada Fikri, "Tundukkan pandanganmu, wahai kaum Adam." Bibir Fikri mendecak, "Aku cuma pandang dia sekali." "Iya satu kali, terus kebablasan." Bukannya menjawab, lelaki itu malah melengos lantas kembali memfokuskan diri pada dua gadis itu. "Kalian staff keuangan 'kan?" Salah satu gadis - yang sejak tadi tak lepas dari perhatian Fikri - mengangguk singkat. "Iya, Pak." "Aduh, jangan 'Pak', saya masih muda. Panggil Fikri." "Ah iya, maaf. Saya Salamah dan ini sahabat saya, Rumi." Rumi hanya tersenyum sekilas pada Fikri dan Zainal. "Rumi.... Apa kabar Abi sama Ummi?" tanya Zainal yang langsung membuat Fikri mengernyitkan dahi. "Kamu kenal?" "Iya. Dia sering datang ke pesantren, dulu murid Ummah." Sudut bibir gadis itu terangkat. "Alhamdulillah baik, Ust - Pak. Maaf ...." Zainal tertawa. "Nggak papa, jangan sungkan." Tangan Fikri menyenggol Zainal. "Nggak pernah cerita kalau udah ada calon, dari kantor kita pula." Zainal langsung mendengkus. "Rumi lumayan kok, Nal. Baik, cantik dan .... sholehah. Kalian cocok," bisiknya kemudian. "Terserah." *** Suara lantunan ayat suci memenuhi ruangan itu. Semilir angin yang menerobos lewat celah menyejukkan kulit siapa pun yang disentuhnya. Tak ada suara lain, seolah semua yang ada di ruangan terpaku pada suara Zainal yang begitu merdu di telinga. Zainal begitu fokus pada bacaannya. Sesekali menghapus sudut matanya kala mengeluarkan benda bening. Hatinya menghangat seketika. Tenang. Damai. Inilah yang selalu ia rasakan saat menikmati tiap kata dalam Al-Qur'an. Rangkaian yang merupakan tanda kebesaran-Nya tersebut berhasil menyihirnya dalam sekejab. Muram yang bergelayut di hati juga pikirannya menguap, terbang, lantas menghilang. "Nak." Bibir Zainal terus melanjutkan. Semakin deras air matanya keluar saat mendalami makna di dalamnya. Allah dengan segala kemurahan-Nya telah menyediakan berbagai nikmat di dunia ini. Namun, banyak dari manusia yang justru mengkufuri. Bencana dan kerusakan di muka bumi bukanlah tanda kalau Allah telah menzolimi manusia. Akan tetapi, bencana itu datang karena tangan manusia sendiri. Manusialah yang menzolimi dirinya sendiri. "Nak," tegur Ummah sambil menyentuh pundak anaknya tersebut. "Ya, Ummah?" Begitu tersadar, lelaki itu langsung mengelap air mata sambil mendongak menatap Ummah.   "Ummah panggil dari tadi, tahunya di sini...." "Maaf, Ummah." Ummah mengangguk. "Sudahi dulu ya, Nak, ada Rumi di depan. Temui dia, udah lama dia nggak ke mari." "Tapi...." "Di sana juga ada Abbah, kalau yang kau khawatirkan kalian ada berduaan saja." Senyum Zainal perlahan tampak. "Iya, Ummah." Lelaki itu lantas meletakkan benda yang tadi dia baca ke nakas, memakai alas kaki yang sempat ia lepas lantas berjalan keluar dari kamar. Suara Rumi terdengar dari ruang depan, diselingi suara Abbah yang sesekali melemparkan tanya. "Sin, Nal." Abbah melambaikan tangan. Rumi yang juga duduk di sana tersenyum. "Ini, Ustadz, tadi Abi titip oleh-oleh dari Makkah untuk Ustadz." "Alhamdulillah, Abi dan Ummi sudah sampai di rumah dengan selamat 'kan?" tanya Zainal sembari ikut ambil duduk di samping Abbah. "Alhamdulillah, Ustadz." Ummah yang baru meletakkan nampan di dapur mendekati Rumi lantas mengusap lengan gadis itu. "Kamu jarang ke sini, Nak." "Maaf, Ummah. Semenjak Abi-Ummi pergi umrah, rumah nggak ada yang jadi. Syifa sama Afra sering buat ulah. Mbak Siti sampai kewalahan." Semuanya tertawa singkat. Mulailah ketiganya dibanjiri perbincangan-perbincangan ringan sore itu. Rumi tampak begitu dekat dengan Abbah maupun Ummah. Memang, keduanya sudah menganggap gadis itu anak perempuannya. Karena anak perempuan - Zahra, kakak Zainal - sudah tak tinggal di rumah itu, ikut suaminya di Bandung. "Nah, kalau kamu cari isteri, carilah seperti Rumi, Nal. Cantik, sholehah pula." Zainal hanya mampu tersenyum kikuk mendengar ucapan Abbah. Lagi-lagi semua orang membicarakan betapa cocoknya dirinya dengan Rumi. *** Gadis itu tahu semuanya. Dia tahu siapa saja yang kerap keluar-masuk ruangan, siapa saja yang tiap hari mengelap tubuhnya dengan handuk basah, bahkan siapa saja yang selalu membacakan senandung merdu itu - yang biasanya ia dengar dari masjid dekat tempat tinggalnya. Namun, entah kenapa semua yang ada di tubuhnya seperti beku. Tak ada yang bisa digerakkan. Yang dilakukannya hanya satu ; meringkuk di sudut ruangan sambil memeluk kedua kaki. Dia hanya melihat, sebatas itu. Jeritan yang biasa ia dengungkan di tempat umum bahkan tak bisa dikeluarkan. Pita suaranya bak tak berfungsi. Berkali-kali ia berusaha menyentuh kaki tiap orang yang dekat jangkauannya, namun gagal. Tak ada yang tahu keberadaannya di sini. Entah mereka pura-pura buta atau memang dia sudah mati sehingga dia tak ubahnya sebuah arwah, tapi entahlah yang jelas keberadaannya di ruangan itu tak ada yang menyadari. Gadis itu, Maira. Humaira Sakhifah. Helaan napas keluar dua-tiga kali. Netranya sempat melihat sosok yang ada di ranjang depannya. Alisnya merapat, terheran sekian saat. Instingnya seolah mengatakan kalau dia sangat mengenali sosok itu. Sosok terbaring rapuh yang memakai selembar kain di kepala. Namun, dia tak mengenali dari samping. Siapa dia? Barulah beberapa jenak kemudian, dia sadar. Bibirnya terbuka-terkatup berkali-kali. "Ya Tuhan.... Itu gue?" batinnya bicara. Ap yang terjadi dengannya? Kenapa dia tertidur di sana? Bukan, sepertinya bukan tidur dalam arti sebenarnya, namun tidur panjang. Tampak jelas wajahnya yang biasa dekil oleh debu jalanan juga sengatan matahari kini jadi putih bersih. Tubuhnya juga berubah, makin kurus. Bahkan matanya yang biasa disebut Samara sipit seperti orang China, kini tampak cekung saat terpejam. Mungkin jika mata itu terbuka, ukurannya akan lebih besar. Maira makin merapatkan diri ke tembok takut-takut. Dia bingung, apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya. Apa dia sudah mati, lalu siapa yang di ranjang? Apa ini hanya mimpi, lalu kenapa mimpi ini begitu panjang sampai-sampai dia lelah terduduk di ruangan itu? Siapapun.... Dia butuh pertolongan dan penjelasan. Sekali lagi ia mengamati dirinya yang tertidur di ranjang. Baru ia sadari kalau kini wajahnya makin dewasa. Jika dilihat saksama, dia bukan lagi gadis enambelas tahun yang biasa wara-wiri di lampu merah. Di depannya ini Maira yang dewasa. Apakah selama itu ia tertidur sampai semua yang ada pada dirinya berubah? Entahlah, kepalanya jadi pening sebab persoalan ini. "Gue kenapa? Siapa wanita yang sering datang ke mari? Siapa pula pemuda yang tak sehari pun absen untuk sekadar berkunjung sejenak lalu keluar lagi?" Maira coba menggerakkan kakinya. Bangkit dari duduk, dan berhasil. Baru kali pertama sejak ia di sana, tubuhnya mampu bertindak. Dengan gegas ia mendekat ke ranjang. Beberapa jenak ia gunakan untuk meneliti lagi. Embusan napas meluncur begitu saja. Kenapa.... Ini bisa terjadi? Tangannya menggapai wajah di depannya ini. Namun, tinggal satu jengkal lagi mendadak tubuhnya terseret entah oleh apa. Napasnya memburu, tersengal, seolah oksigen musnah dari sekitar. Rasa sakit yang menjalar membuat jantungnya seakan diremas. Sakit sekali. Nyeri di tiap tempat. Kebas di mana-mana. Punggung Maira seperti disentak ke tembok. Terbentur keras hingga kepala belakangnya berdenyut. Apa yang akan terjadi setelah ini padanya? Dia sudah berusaha menghirup udara sebisa mungkin, tapi ia tak kuasa. Matanya terpejam, satu aliran air mata jatuh. Gelap. Matanya tak bisa lagi terbuka. Tak ada cahaya. Ketakutan menyergap. Berulang-ulang ia memanggil Samara, atau semua orang yang barangkali ia kenal. Dia menyerah. Tubuhnya lemas untuk sekadar memberi perlawanan pada keadaan. Dan ketika kesadarannya tinggal sebagian, ada sesuatu yang menarik kelopak matanya terbuka. Putih. Atap ruangan yang ia lihat serba putih. Dia merasakan sesuatu merangsek di penciumannya, seperti sebuah selang. Matanya berpencar. Menelti apa saja yang ada. "Alhamdulillah dia sudah sadar." Hanya suara itu yang selanjutnya ia dengar, diikuti seorang wanita yang menyentuh puncak kepalanya. *** Maira menarik dirinya ke sudut ranjang. Menjauhi empat orang yang kini saling menghela napas panjang sembari menatap dirinya seolah hendak menyergap. Dia takut. Takut untuk sekadar disentuh orang-orang itu. Kerudung yang sudah dua tahun lebih menutupi rambut legamnya sudah ia lempar ke segala arah. Menampakkan rambutnya yang menjuntai ke bawah. Ah, Maira yakin kalau ia sudah tertidur sangat lama sampai-sampai rambutnya yang selalu ia pangkas di atas bahu sudah memanjang sebatas pinggang. Ummah yang berdiri di ruangan itu sejak tadi tak mampu menyembunyikan senyum. Setelah penantiannya dan Zainal selama tiga setengah tahun, akhirnya gadis itu bangun. Benar sekali, Maira sangat cantik meski kini kerudung gadis itu sudah terlempar ke sembarang arah. "Nak," panggil Ummah sembari mendekat. Maira menggeser duduk lebih jauh, hingga nyaris terjatuh dari ranjang. "Jangan takut. Kami tak akan menyakitimu." Wanita itu mengelus puncak kepala Maira pelan setelah dirasa gadis itu menatapnya sangat dalam. Semacam tatapan minta pertolongan. "Gimana kondisimu? Masih sakit?" Maira tak mengeluarkan jawaban, barangkali gelengan atau anggukan. Hanya saja, kini gadis itu berani menatap wajah ayu di depannya. Entah kenapa relung hatinya bicara kalau wanita seperti ini tak mungkin berniat macam-macam padanya. Bisa ia lihat pancatan kelembutan yang tak mampu ia tolak. "Tolong...." Ummah menarik kepala Maira untuk bersandar di pelukannya. Wanita itu tersenyum samar. "Tenangkan dirimu, Nak. Kami semua ini bukan hendak melakukan apa-apa padamu. Panggil ibu Ummah, dan lelaki di sana Abbah." Maira mengikuti arah pandang Ummah. "Ah iya, dia Zainal putra Ummah." Alis Maira mengerut. Dia kenal pemuda itu. Ingatannya masih menyimpan rapat sosok lelaki yang kini berdiri di samping dokter itu. Matanya terpejam sesaat kemudian. "Saya.... Mau pulang." Maira menarik diri untuk melepas pelukan mereka. "Maira," panggil Ummah. Mata gadis itu membola. Dari mana Ummah tahu namanya? Dia tak merasa pernah mengenalkan diri pada wanita itu. Apa dia hilang ingatan? Ah, entah, pening kembali menyergap kala ia berpikir keras seperti sekarang. "Dokter menyarankan agar kamu perbanyak istirahat. Kondisimu belum stabil betul. Lagipula, kamu hendak pulang ke mana, Nak? Jangan bohong pada Ummah, kamu tinggal dengan kawan-kawanmu di rumah kardus dekat g**g sini 'kan?" Gadis itu makin tergugu dengan ucapan Ummah yang sepertinya banyak tahu tentang dirinya. "Maira." Kepala gadis itu terangkat. "Jangan merasa asing dan sendiri, Nak. Kami di sini juga keluargamu," ucap Abbah kemudian. Keluarga dari mana? Dan entahlah Maira harus menanggapi seperti apa. *** Sudah satu minggu lebih setelah kesadaran Maira, gadis itu masih harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Kondisinya masih perlu perawatan dokter. Memang, ada saat-saat tertentu di mana tubuhnya terasa remuk redam sebab tertidur sepanjang hari. Otot-ototnya perlu adaptasi lagi. Bahkan gerakan kakinya tak seleluasa sebelumnya. Dia tak langsung bisa berjalan, ke mana-mana harus ditemani kursi roda. Baru setelah satu minggu menjalani terapi, kakinya sudah bisa berjalan walau terseok. Kini, Maira memikirkan berbagai cara untuk pergi dari tempat ini tanpa mau diketahui pihak rumah sakit atau keluarga wanita itu. Dia takut kalau harus dimintai tagihan rumah sakit yang pasti bakal menumpuk. "Nak, Ummah mau ke kantin dulu, kamu sendirian di sini nggak papa 'kan?" kata Ummah membuat Maira dengan gegas mengangguk. "Mau dibelikan sesuatu?" Untuk kali ini gadis itu menjawab dengan gelengan. Ummah telah lenyap dari balik pintu setelah sebelumnya mengucapkan salam. Gadis itu tersenyum culas begitu sebuah ide melintas di kepalanya. Kenapa ia tak kabur saja? Lagipula, kesempatan utuk sendirian begini sangat jarang ia dapatkan. Gadis itu menurunkan kaki satu per satu dari ranjang, menggeledah laci kecil di bawah meja yang kebetulan ada sebuah gamis kotor milik Ummah. Dengan segera gadis itu melepas infus di tangannya dan segera memakai baju tersebut. Jangan sampai Ummah datang lebih dulu sebelum ia sempat melarikan diri dari ruangan itu. Maira menahan desisan mulutnya sebab rasa ngilu yang menyerang kakinya. Kalau begini, pergerakannya pasti terbatas apalagi untuk kabur-kaburan. Dia menghela napas lantas menegakkan posisi berdiri. "Gue nggak mau terus-terusan di sini. Gue harus pergi," gumamnya. Mata gadis itu menelisik tiap tempat. Dan ketika apa yang ia cari terlihat, dia lantas mendekat dan mengambil barang itu. Dibukanya pelan hingga suara deritan kecil terdengar. Tangannya yang terlihat kurus menarik lima lembar ratusan ribu dan dimasukkannya ke saku gamis sekali gerak. Diletakkannya dompet tersebut ke tempat semula dalam satu lemparan. Dengan langkah terseret, Maira membuka pintu dan segera keluar. Dia mengabaikan beberapa tatapan yang menjurus padanya. Dia tak peduli. Yang terpenting saat ini adalah dia harus pergi secepat dan sejauh mungkin. Dia tak ingin ada orang yang tahu, termasuk Ummah atau lelaki itu - Zainal. ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD