10. Uang Dalam Amplop

1764 Words
“Terima kasih banyak ya, Pak, Bu,” ucap Adi sambil menjabat tangan keduanya secara bergantian. “Ya, sama-sama,” sahut laki-laki bertubuh tinggi dan gempal itu. Setelah menyelesaikan segala urusannya, Adi pun bergegas menuju ke tempat sepeda motornya terparkir dan segera pulang ke rumah. Hari sudah cukup sore dan tubuhnya pun sudah sangat letih. Ingin rasanya cepat sampai ke rumah dan mandi air hangat agar tubuhnya kembali rileks dan segar. Tak lupa sebelum kembali ke rumah, Adi berhenti di sebuah minimarket yang tak jauh dari komplek perumahannya, sekedar untuk membelikan satu bungkus wafer rasa coklat kesukaan Sila dan juga seblak kuah yang biasa berjualan di depan minimarket, untuk siapa lagi kalau buka untuk Dina. Ia masih ingat betul bagaimana ekspresi Dina ketika ia pulang kerja sambil membawa tentengan kantong plastik berisi makanan. Ya, itu sudah lama sekali. “Diin, Dina …,” panggil Adi saat sampai di depan pintu rumah sambil mengetuk pintu beberapa kali. Sementara tangan kirinya menenteng kantong plastik makanan yang tadi ia beli. Beberapa kali ia mengetuk pintu, tapi Dina tak kunjung membukakannya. Padahal biasanya ketika terdengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah, pasti Sila akan langsung berlari untuk memastikan siapa yang datang. Ia akan berteriak dan cepat-cepat meminta Dina untuk membukakan pintu jika ternyata ayahnya yang datang. Adi mencoba menekan handle pintunya. Krek! Terbuka. Rupanya sejak tadi pintunya tidak terkunci. Kemana Dina dan Sila, kenapa Dina membiarkan pintunya tidak dikunci? Bagaimana kalau ada orang iseng atau maling yang masuk ke rumah mereka? Pikir Adi. Mereka memang tidak memiliki barang berharga, tapi Zaman sekarang banyak orang yang sudah kehilangan akal sehatnya hingga mencelakai pemilik rumah jika posisinya terdesak atau tidak menemukan apa yang mereka cari. Adi menoleh ke arah jalanan di depan rumah dan menyapu seluruh sudut jalan untuk memastikan apakah Dina dan Sila ada di sana. Siapa tahu tadi ia melewatkannya. Tapi rupanya mereka tidak ada. Adi pun melangkah masuk sambil meletakkan bungkusan kecil berisi makanan itu di atas meja. “Ya ampun, Dina. Rupanya kamu di sini,” ucap Adi saat mendapati Dina tengah mengambil jemuran pakaian di halaman belakang rumah yang tidak terlalu luas. Mungkin ukurannya hanya sekitar enam meter persegi. Sementara Sila tengah asyik duduk di atas tanah dengan pakaian yang sudah kotor sambil bermain tanah yang dicampur dengan air kran. “Ya-yah …,” panggil Sila sambil menoleh ke arah Adi sembari mengacung-acungkan sendok yang dipakainya untuk bermain. Terlihat sila begitu menyukai mainan barunya itu. Ya, biasanya Dina tidak pernah mengizinkan Sila untuk bermain kotor-kotoran seperti itu. “Eh, Sila … Sila lagi main apa?” “Inyiii,” jawab Sila sambil menunjukkan kembali sendok makan yang digunakannya untuk bermain. Adi kembali mengalihkan pandangannya ke arah Dina yang tadi hanya menoleh sekilas ke arahnya lalu kembali melanjutkan pekerjaannya mengambil baju-baju yang sudah kering di atas tali jemuran. “Aku ketok-ketok kok kamu diem aja, Din? Trus kenapa itu pintu depan ngga dikunci? Kan bahaya. Kalau ada orang masuk gimana?” “Mas liat kan aku lagi ngapain? Lagian ini udah sore. Mas Adi juga sebentar lagi pulang. Daripada aku lagi angkat jemuran, trus mas Adi pulang, aku harus repot bukain pintu,” jawab Dina tanpa mengalihkan pandanganya dari baju-baju yang tergantung rapi di hadapannya. “Kamu lagi kenapa sih, Din? Aku bikin salah sama kamu?” tanya Adi yang terlihat bingung dengan sikap Dina. Nada bicara Dina memang terdengar datar, tapi Adi tahu betul Dina sedang tidak baik-baik saja. Ada yang membuat suasana hatinya berubah. “Memangnya aku kenapa, Mas?” tanya Dina yang langsung menghentikan pekerjaannya. Lagi pula tangannya sudah penuh dengan baju-baju yang sudah kering. Lagi-lagi nada bicara Dina tak menunjukkan penekanan sama sekali. Ia seolah tidak ingin berdebat dan terjadi keributan di antara mereka, tapi ia juga tak bisa menyembunyikan perasaannya yang tengah gundah. Tak cepat mendapat balasan dari Adi, Dina pun segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Ia biarkan Sila tetap bermain tanah sampai pekerjaannya selesai agar Sila tidak rewel dan tak banyak berceloteh. Lagi pula memang itu tujuannya. Adi hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya karena bingung sambil mengikuti langkah Dina yang menuju ke kamar tamu untuk meletakkan baju-baju yang dibawanya. “O ya, Din. Tadi Mas Damar telfon katanya nanti malam mau pergi ke rumah temennya deket-deket sini. Jadi, pulangnya mau mampir ke sini. Mas Damar bilang katanya tadi telfon kamu, tapi hape kamu mati,” ucap Adi. Seketika itu Dina melemparkan baju-baju dalam tangannya ke atas tempat tidur dan langsung berbalik arah menghadap Adi yang berdiri di belakangnya. “Mas Adi bisa angkat telfon Mas Damar tapi ngga bisa angkat telfon aku?” tanya Dina. Kali ini Dina sedikit menaikkan intonasinya. Bukannya takut atau merasa bersalah, Adi justru tertawa. “Oooh … jadi gara-gara itu kamu marah sama aku?” “Memangnya kenapa Mas? Ada yang lucu?” “Iya, lucu. Kamu ini ada-ada aja. Masa begitu aja marah,” sahut Adi yang masih menyisakan tawa kecil di bibirnya. “Oke deh, aku itu sengaja ngga angkat telfon kamu karna aku mau kasih kejutan sama kamu. Nih, liat … aku bawa apa buat kamu ….” Adi membuka resleting jaket kulitnya dan merogoh kantong bagian dalam. Diambilnya amplop coklat yang ia letakkan di sana, lalu memberikannya pada Dina. Beberapa saat Dina memandangi amplop itu. “Ambil,” kata Adi lagi karena Dina tak juga mengambil amplop itu. “Apa itu?” tanya Dina, walaupun sebenarnya ia juga sudah tahu apa yang ada di dalam amplop itu. Mungkin maksud Dina, itu uang apa dan dari mana asalnya. Adi meraih tangan kanan Dina dan meletakkan amplop coklat itu di tangannya. “Jadi, ruko yang kita kontrak bekas warung makan padang kemarin udah ada yang sewa. Ya … walaupun hanya sisa beberapa bulan, tapi paling ngga kita ngga terlalu rugi. Lumayan lah buat nambah-nambah biaya hidup sehari-hari birpun ngga banyak. Itu kamu pegang aja.” Alhamdulillah, ucap Dina dalam hati. Akhirnya mereka bisa mengoper sisa kontrak sewa kepada penyewa baru, atau lebih dikenal dengan over sewa. “Berapa?” tanya Dina masih berusaha menekan nada bicaranya. “Dia setengah juta. Lumayan lah ….” “Apa?? Lima bulan cuma dua setengah juta?” tanya Dina tak percaya. Itu artinya biaya sewa ruko dua lantai yang menurutnya cukup luas itu hanya dihargai lima ratus ribu per bulan. Sangat tidak masuk akal. Sangat jauh berbeda dengan biaya sewa yang ia bayarkan kepada pemilik ruko. “Iyalah, memangnya berapa? Sudah ada yang melanjutkan sewa aja kita harusnya bersyukur.” “Mas yakin uangnya ngga Mas Adi pake sendiri untuk keperluan yang lain?” tanya Dina dengan nada menyelidik. Sekarang ia mulai menghubungkan uang dalam amplop itu dengan kalung emas yang dipakai Mba Siska. Apa yang ia pikirkan tadi siang ternyata salah. Ya, rupanya Mas Adi memiliki sejumlah uang yang tidak ia duga sebelumnya. Bisa jadi memang Mas Adi lah yang membelikan kalung itu dengan uang yang ia terima dari over sewa, dan mengaku uang yang diterimanya hanya lima ratus ribu per bulan. “Maksud kamu apa, Din? Kamu mau bilang kalau aku bohong?” tanya Adi sambil mengerutkan keningnya. “Aku kan nanya Mas. TinggL jawab iya atau engga. Simpel kok.” “Ya engga lah ... memang cuma segitu yang aku terima. Kalau aku terus-terusan pasang harga tinggi, siapa yang mau menyewanya? Bisa jadi kita ngga dapet apa-apa karna masa sewanya sudah habis. Percayalah Din, bahkan satu rupiah pun ngga aku ambil,” sahut Adi menegaskan. Dina terdiam sambil menatap Adi lekat-lekat. Entah harus bagaimana ia mengungkapkan kecurigaannya agar suaminya itu menjelaskan semuanya tanpa ia harus menuduh. “Sisa uangnya ngga Mas Adi belikan kalung untuk perempuan lain?” Dengan seluruh keberaniannya, akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulut Dina. Sorot matanya kini semakin terlihat tajam, seolah menuntut Adi untuk segera mengakuinya. “Kamu ngomong apa sih Din? Ngawur kamu! Kita ini lagi susah! Bisa-bisanya kamu mikir kaya gitu!” Dalam keadaan lelah dan dituduh seperti itu tentu saja membuat emosi Asi naik. Hari ini ia sudah berusaha semampunya untun mendapatkan banyak uang. Dan memang hari ini ia lebih banyak mendapatkan pelanggan, tapi justru tidak diterima baik oleh Dian. Kedua bola mata Dian kini terlihat memerah menahan tangis. Dibentak seperti itu oleh Adi membuat hatinya semakin terasa sakit. Sebenarnya ia hanya ingin Adi berkata jujur dan menjelaskan semuanya. Karena seluruh bukti sudah mengarah pada kecurigaannya itu. “Trus kenapa Mas Adi harus ngumpet-ngumpet waktu pergi sama Mba Siska. Maksudnya biar apa? Biar aku ngga liat Mas?!?” Kali ini air mata Dina tak bisa dibendung lagi karena sudah semakin mendesak keluar. Hatinya antara siap dan tidak siap untuk mendengar pengakuan Mas Adi jika perselingkuhan itu benar-benar terjadi. Adi terdiam beberapa saat untuk mengingat semua kejadian pagi tadi. Tapi justru membuat Dina semakin yakin dengan apa yang dipikirkannya karena Mas Adi tidak langsung menyanggah apa yang ia katakan. “Bener kan Mas apa yang aku bilang?” Tanpa menunggu jawaban Adi, Dian sudah langsung memvonisnya. “Terserah kamu lah, Din. Percuma juga aku jelasin ke kamu kalo itu semua ngga seperti apa yang kamu pikirin. Kamu pasti akan lebih percaya sama pikiran negatifmu itu!” Tanpa banyak bicara lagi, Adi segera keluar dari kamar tamu dan menuju kamar mereka dengan membanting pintu. Brakkkkk!! Hentakannya yang keras cukup membuat Dina tersentak. Dan kini air matanya jatuh semakin deras. Namun, tiba-tiba saja ia teringat pada Sila. Tadi ia meninggalkannya seorang diri di halaman belakang. “Sila ….” Segera Dina menyeka air matanya di kedua pipi dan dilemparkannya amplop coklat yang masih dalam genggamannya itu ke atas tempat tidur, lalu keluar dari kamar dengan setengah berlari. Langkahnya langsung terhenti di depam pintu kamar begitu melihat Sila sudah berdiri ketakutan sambil menatapnya di samping pintu keluar yang menuju ke halaman belakang. Sepertinya Sila mendengar pertengkarannya dengan ayahnya tadi. “Sila sini yuk sama Bunda. Sila ganti baju dulu ya …,” kata Dina sambil mendekat ke arah Sila. Ia raih tubuh Sila dan digendongnya sambil ia belai lembut kepala Sila untuk meredakan rasa takutnya. Sebenarnya ia tidak ingin putri kecilnya itu melihat dan mendengar pertengkaran kedua orangtuanya. Tapi tadi itu Dina benar-benar tidak bisa mengendalikan emosinya. Ia hanya ingin segera mengetahui kebenaran dari mulut suaminya. Nyatanya tidak. Mas adi sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Ia tak mengakui tapi juga tidak menyanggahnya. Sebelum mengganti baju Sila, Dina melangkah menuju ruang tamu. Mungkin tadi Mas Adi belum menutup pintu atau menguncinya karena mengira ia dan Sila tengah berada di luar rumah. Bungkusan apa itu? Tanya Dina dalam hati ketika melihat bungkusan kantong plastik tergeletak di atas meja ruang tamu. Ia dekati kantong plastik berwarna putih itu dan dibukanya perlahan. Ah, rupanya Mas Adi membelikn makanan untuk mereka sebelum pulang tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD