9. Kalung Emas Berliontin Sepasang Hati

1232 Words
Sampai siang hari, perasaan Dina tidak pernah tenang. Celotehan Arsila yang biasanya ia tanggapi dengan suka cita dan dibalas dengan ungkapan-ungkapan sayang, kini sebaliknya. Dina lebih banyak terdiam dan hanya tersenyum simpul, membuat Arsila sering kali kesal karena Dina tak menjawab panggilan atau pertanyaannya. Tumpukan baju dalam keranjang yang hendak disetrika pagi tadi pun tak ia lanjutkan setelah melihat suaminya pergi dan berboncengan dengan Mba Siska, tetangganya. Bahkan ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, Mba Siska sampai menyentuh bagian pinggang Mas Adi saat hendak naik ke jok belakang. Dan itu sangat membuatnya risih. Ya, suasana hatinya kini berubah drastis. Kalau saja ia tak membuat janji dengan Bu Bayu untuk mengambil baju-baju kotor di rumahnya untuk dilaundry, tentu ia malas untuk keluar rumah. Dina mencoba berpikiran positif karena ia pun belum meminta penjelasan pada Mas Adi apa yang sebenarnya terjadi. Lagi-lagi ia tidak ingin bertindak gegabah dengan menuduh Mas Adi macam-macam. Apalagi ini ada kaitannya dengan orang lain, yang tak lain adalah tetangganya sendiri. Mau ditaruh di mana muka Dina jika ia salah menuduh. Tentu tak hanya akan merusak hubungannya dengan Mas Adi, tapi juga hubungannya dengan Mba Siska yang selama ini sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Belum lagi jika tuduhanya itu sampai ke telinga warga di komplek perumahannya. Sudah pasti ia akan menjadi pergunjingan. Tapi, tidak semudah itu, bayangan-bayangan negatif mengenai perselingkuhan masih saja menghantuinya. Apalagi selama ini Mba Siska jauh dari suaminya. Entah apa alasan Mba Siska tidak ikut saja dengan suaminya yang bekerja di luar kota. Walaupun usia mba Siska lebih tua sekitar tiga atau empat tahun di atas mereka, tapi penampilan fisiknya terlihat jauh lebih muda dibanding usianya. Mungkin saja karena mba Siska pandai merawat diri dan selalu meluangkan waktunya untuk pergi ke salon. Ya, beberapa kali mba Siska memang sering kali mengajak Dina untuk pergi ke salon bersama sekedar melakukan facial atau totok wajah, tapi Dina selalu menolaknya. Bukan karena ia tidak mau dan tidak ingin, tapi ia tidak bisa meninggalkan Sila yang masih terlalu kecil. Sementara, saat itu ia tidak bisa menitipkannya pada Mas Adi karena Mas adi sendiri juga harus mengurus warung makan mereka. Akan sangat repot jika Mas Adi juga harus menjaga Sila. Tidak seperti mba Siska yang kedua putrinya diasuh oleh “Mbak” yang merangkap sebagai asisten rumah tangga, jadi Mba Siska bisa pergi ke mana pun tanpa harus memikirkan hal itu. Terlebih kedua putri mba Siska sudah cukup besar, masing-masing sudah berusia tujuh tahun dan lima tahun. Dengan menggendong Sila yang kelelahan karena berjalan terlalu jauh, Dina pun harus membawa keranjang besar yang ia lekatkan di pinggangnya sebelah kanan. Keranjang pakaian kotor berukuran besar yang ia ambil dari rumah Bu Bayu. Dina terlihat sangat kewalahan karena ia lupa tidak membawa kain jarik untuk menggendong Sila. “Sila jalan sendiri ya. Bunda ngga kuat. Bunda kan bawa keranjang ini,” bujuk Dina. “Ga mau. Cila ape Unda ...,” jawab Sila yang kini justru menjatuhkan kepalanya di bahu Dina. Tak hanya lelah, mungkin ia juga mengantuk karena siang ini adalah jadwal Sila tidur siang. Yah, mau bagaimana lagi. Terpaksa Dina harus mengerahkan seluruh tenaganya dan berjalan lebih cepat agar cepat sampai di rumah. Belum lagi panas terik yang membuat keringatnya mengucur deras dan membasahi baju daster yang dikenakannya. Sebentar-sebentar ia harus berhenti untuk memperbaiki posisi Sila yang melorot dan telapak tangannya yang sakit karena menggenggam tepi keranjang plastik yang tajam. Sampai di depan rumah, Dina sempat melirik ke arah rumah Mba Siska yang tertutup rapat. Suasana terlihat sangat sepi, tidak seperti biasanya. Padahal kedua putrinya mungkin berada di rumah. Dina hanya ingin memastikan apakah yang empunya rumah sudah kembali ke rumahnya atau belum. Karena beberapa saat yang lalu, Dina sempat menelepon Mas Adi, sekedar basa basi dan menanyakan di mana keberadaannya, tapi sama sekali tidak diangkat. Padahal nada teleponnya tersambung dan Mas Adi bukan tipe orang yang senang mematikan nada dering telepon, termasuk saat ia masih bekerja di kantor asuransi hampir tiga tahun yang lalu. Tak hanya sekali Dina mencoba meneleponnya, tapi sampai tiga kali dan ketiganya pun tidak diangkat. Sepertinya Mba Siska belum kembali ke rumah, batin Dina karena biasanya jika ia sedang di rumah, pasti ia akan membuka daun pintu kayu bagian luar dan akan menyisakan pintu besi yang dikombinasikan dengan kasa nyamuk agar udara luar bisa masuk ke dalam rumah, membuat bagian dalam rumah terasa sejuk. Begitu alasan Mba Siska ketika suatu hari Dina menanyakannya. Tapi, .... Krek! Terdengar bunyi handle pintu runah Mba Siska dibuka dari dalam. Cepat-cepat Dina mengalihkan pandangannya dan berpura-pura sibuk dengan keranjang pakaian kotornya. Ia tidak ingin tertangkap mata sedang memperhatikan rumah itu, jika memang benar yang membuka pintu itu adalah Mba Siska. “Mba Dina. Mba Dina dari mana?” Terdengar suara seorang perempuan yang sudah begitu Dina kenal. Ya, itu adalah suara Siska. Rupanya Siska sudah pulang. Dina pun langsung menoleh ke arah Siska. Dilihatnya Siska masih mengenakan pakaian yang sama saat ia pergi pagi tadi bersama Mas Adi, setelan tshirt polos warna abu yang dipadukan dengan celana denim. Terlihat cukup seksi menurut Dina dengan bagian d**a yang terbuka cukup lebar. “Eh, Mba Siska ...,” sahut Dina yang terlihat canggung. Terlebih saat Siska melangkah mendekatinya. Kalau saja Dina bisa menghindar, tentu ia akan memilih untuk menghindar. Ia takut Siska menyadari sikapnya yang tak biasa. “Habis ambil cucian kotor di blok depan, Mba. Maklum, sekarang kan saya buruh cuci.” Kalimat itulah yang akhirnya keluar dari mulut Dina. Siska terlihat heran dan sedikit mengerutkan keningnya karena jawaban Dina yang kurang bersahabat. Tidak seperti Dina yang ia kenal. Siska pun berusaha tak terlalu memikirkannya. Mungkin ia yang salah mengartikan jawaban Dina. Lagi pula terlihat Dina sedang repot dengan Arsila yang kini tertidur dalam gendongannya. “Sini saya bantu, Mba,” ucap Siska yang semakin mendekat dan terlihat mengulurkan kedua tangannya hendak mengambil keranjang cucian yang dibawa Dina. “Eh, ngga usah, ngga usah. Saya bisa sendiri kok Mba. Saya duluan.” Dengan cepat Dina pun meninggalkan Siska yang masih terbengong dan menatap Dina dengan heran. Nada bicaranya pun tak selembut biasanya, walaupun masih terbilang cukup sopan. Setelah membuka pintu rumahnya, Dina segera menuju ke kamar untuk membaringkan Sila di tempat tidur. Lalu kembali lagi ke teras rumah untuk mengambil keranjang cucian yang tadi ia letakkan begitu saja dengan kasar di depan pintu. Kali ini pikirannya tertuju pada sebuah kalung emas yang dipakai Mba Siska. Ya, saat tengah berhadapan dengan Mba Siska tadi, Dina melihat kalung itu melingkar dengan cantik di leher jenjang Mba Siska. Kalung yang sangat cantik dengan liontin berbentuk dua hati yang menyatu dengan mutiara di bagian tengahnya. Kalung yang selama ini baru pernah dilihatnya, dan Dina yakin Mba Siska baru membelinya karena kemarin sore saat Dina menemani Sila bermain dengan kedua putri Mba Siska, leher Mba Siska masih nampak polos hingga Dina tidak melihat sesuatu yang aneh. Mungkin saja Mba Siska membelinya tadi saat pergi bersama Mas Adi, pikir Dina dengan perasaan yang kembali kalut. Cukup lama Dina terdiam sambil terus memegangi keranjang cucian di balik pintu rumah yang sudah kembali ditutup. Kalau saja pikiran buruknya itu benar-benar terjadi, Mas Adi berselingkuh dengan Mba Siska, tentu tidak mungkin Mas Adi yang membelikan kalung emas yang tadi dipakai Mba Siska. Uang dari mana? Untuk kenutuhan sehari-hari mereka saja mereka harus banting tulang dari pagi sampai malam. Dian menghembusnya napasnya pelan sambil memejamkan mata. Ia menyadari bahwa dirinya benar-benar sudah dirasuki pikiran-pikiran buruk. “Istighfar, Din,” gumamnya pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD