16. Cerita Yang Terungkap

1671 Words
Dina mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kelas yang cukup luas itu. Sore ini ia bersama dengan calon pekerja yang lain baru saja selesai mengikuti les bahasa. Ya, tentu saja bahasa Malaysia. Mereka harus benar-benar menguasai bahasa Melayu, setidaknya agar mereka bisa berkomunikasi dengan majikan mereka nanti di sana. Namun, dari sekian banyaknya orang yang kesemuanya perempuan itu, Dina sama sekali belum mengenal satu pun dari mereka. Bukan karena tidak ingin berkenalan atau sekedar menyapa, tapi Dina merasa hatinya belum siap. Ia masih terbawa perasaan saat meninggalkan Sila pagi tadi. Suara tangisan Sila begitu terngiang dalam telinganya, tidak seperti tangisan Sila yang biasa ia dengar. Mungkin dalam hati kecil Sila, ia menyadari bahwa Bundanya akan pergi cukup lama. Sementara yang lain, Dina melihat banyak dari mereka yang sudah saling mengenal. Dina menebak, sepertinya mereka yang berasal dari satu kampung yang sama atau teman sepermainan. Sejak kedatanganya pagi tadi ke tempat pelatihan TKW, Dina langsung mengikuti rangkaian kegiatan yang cukup padat di tempat itu. Kegiatan demi kegiatan ia lalui dengan baik dan serius, walaupun sesekali ia menguap karena rasa kantuk yang menyergapnya. Ya, bagaimana tidak, semalaman tadi ia tidak bisa tidur, dan sama sekali tidak terlelap barang semenit pun. Tentu saja hal itu membuat konsentrasinya menurun. Itu pula yang membuatnya lebih pendiam. “Ya, silahkan kalau ada yang mau keluar lebih dulu, saya persilahkan,” ucap seorang pengajar yang usianya kemungkinan sepantaran atau di bawah Dina. Tanpa dikomando, beberapa dari mereka pun segera keluar untuk menuju ke tempat di mana mereka beristirahat. Koper-koper pakaian mereka pun sudah berada di sana setelah pagi tadi mereka mendapatkan pembagian kamar. Rasa lelah yang mendera setelah seharian beraktifitas membuat mereka berebut untuk keluar. Menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur sepertinya adalah ide yang sangat bagus. Tak ingin berdesakan seperti berebut sembako, Dina dengan santainya masih duduk di tempatnya. Ia menunggu sampai sebagian dari mereka keluar dan keadaan sedikit sepi. Kembali Dina mengedarkan pandanganya ke seluruh sudut ruangan. Bangunan tua itu terlihat kotor dengan bagian langit-langit yang banyak terdapat sarang laba-laba. Belum lagi sisa-sisa air hujan yang merembes masuk dan menyisakan noda berwarna kekuningan. Tak hanya itu, suasananya pun terasa sangat tidak nyaman. Ia tak bisa membayangkan bagaimana jika ia berada di tempat itu saat malam hari. Pasti membuat bulu kuduknya berdiri. Apa lagi ruangan itu terdapat di ujung belakang bangunan dengan kebun kosong yang tidak terawat di bagian sampingnya. Dina yang penakut mulai membayangkan hal-hal yang menyeramkan. Berada di tempat yang baru dan asing memang selalu membuatnya tidak nyaman. Ah, engga-engga! Aku ngga boleh mikir yang engga-ngga! Lagian kan di sini banyak orang, batin Dina sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Di saat yang sama ia dikejutkan oleh sesuatu yang menyentuh bahunya. “Astaghfirullah!” peikik Dina kaget. Untungnya ia tak menjerit dengan suara keras. “Eh, eh … maaf Mba,” ucap seorang perempuan berambut pendek yang merasa bersalah karena telah membuat Dina kaget. Ia tak datang sendiri, tapi berdua bersama dengan temannya yang berdiri di belakangnya. Dengan cepat Dina menoleh ke arah perempuan berambut pendek tadi. Dina pun merasa tidak enak, kenapa ia harus kaget hanya karena disentuh bagian bahunya. “Eh, ngga papa kok Mba.” “Maaf Mba, cuma mau ngasih tahu aja. Jangan nglamun di sini. Takut ada apa-apanya,” ucap perempuan berambut pendek itu mengingatkan. Sepertinya perempuan berambut pendek itu pun memiliki penikiran yang sama dengan Dina, bahwa tempat itu terasa tidak nyaman. “Eh iya Mba. Makasih lho udah diingetin,”jawab Dina sambil tersenyum. Akhirnya kedua perempuan itu pun duduk di samping Dina. “O ya, kenalin Mba. Nama saya Susi.” Perempuan berambut pendek itu mulai memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya ke arah Dina. Dina pun segera menyambut uluran tangan itu sambil menyebutkan namanya. “Dina.” Begitu pula dengan satu orang perempuan lagi yang ikut duduk di samping Susi. Perempuan itu bernama Ratna. Tak perlu ditanya lagi, mereka bertiga berada di satu kelas bahasa yang sama, otomatis mereka pun memiliki tujuan kerja yang sama, yaitu Malaysia. “Mba Dina sudah menikah?” tanya Susi. Dari mereka bertiga memang Susi-lah yang terlihat paling cerewet. Entah mitos atau suatu kebetulan, tapi di atas bibir Susi yang tak begitu merah itu terdapat tahi lalat kecil walaupun tidak begitu nampak jika dilihat dari jarak yang cukup jauh. “Sudah Mba. Mba Susi sendiri?” “Saya mah masih single, Mba,” jawab Susi. “Masih ting-ting ...,” lanjutnya sambil berbisik, membuat Dina dan Ratna tertawa. “Sudah ada anak, Mba?” Kali ini Ratna ikut bertanya. “Alhamdulillah sudah, Mba. Satu. Masih dua tahun,” jawab Dina. “Kalau Mba Ratna sendiri?” “Saya udah punya dua anak Mba. Suami saya sudah meninggal, makanya saya sendiri yang harus kerja. Ini anak-anaak saya, terpaksa saya titipin sama orangtua saya di kampung. Ya, sebenarnya sih kasian juga karena orangtua saya juga udah tua. Apalagi tinggal ibu saya. Untungnya anak saya yang pertama sudah agak besar, udah enam tahun, jadi bisa sedikit bantu-bantu neneknya. Maklum Mba, saya sendiri anak tunggal.” Dengan lancarnya Ratna menceritakan soal kehidupannya yang kurang beruntung. Mendengar itu, Dina merasa kasihan pada Ratna. Dengan kehidupannya yang sulit itu, ia sama sekali tidak memiliki seseorang yang bisa diajaknya berbicara, berbagi, atau paling tidak sekedar untuk memberi semangat dan dukungan. Dalam artian, pasangan hidup. Sementara Dina, ia masih memiliki Mas Adi, juga Mas Damar kakak laki-laki satu-satunya. “Sabar ya Mba ....” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Dina. “Iya, Mba. Saya mah udah kebal. Mentalnya udah kuat. Ya dikuat-kuatin aja. Hidup itu kan sudah ada yang mengatur, kita tinggal menjalani aja. Semua sudah digariskan, dan kita juga tidak bisa menolak. Sekarang kerja dulu lah cari uang yang banyak, ninggalin anak. Nanti udah selesai kontrak, punya tabungan, baru deh usaha kecil-kecilan di rumah. Asal ngga pake cara yang instan.” “Cara instan? Apaan?” tanya Susi. “Yaa … itu. Yang pake binatang muter-muter lilin. Kalah ngga anak kecil yang c*m pake celana dalam. Pokoknya yang berbau mistis gitu deh,” jawab Ratna tak bisa menahn tawanya. Begitu pula dengan Dina dan Ratna. Rupanya perkiraan Dina salah. Dari mereka bertiga, Mba Ratna lah yang banyak bicara. Ia bisa menceritakan kehidupan yang dijalaninya dengan detail. Bahkan tanpa ia menanyakannya. “Waah, kalau aku sih taunya mie instan.” Susi menimpali dengan tidak kalah kocak. Perbincangan mereka pun semakin seru, hingga tak menyadari bahwa kini dalam ruangan itu hanya tinggal mereka bertiga. “Eh, udah sepi, yuk ah keluar,” ajak Ratna yang mulai bergidik sambil mengelus bagian tangannya. Akhirnya ketiganya pun keluar dari dalam ruangan itu. Sepertinya Dina kini menemukan teman baru yang bisa diajaknya berbicara banyak hal. Apalagi keduanya terlihat sangat baik dan lucu. Dina berharap ia akan betah tinggal di tempat itu untuk beberapa bulan ke depan sambil menunggu visa kerjanya turun. Namun, rupanya mereka tidak berada dalam satu ruangan kamar yang sama. Dina berada satu ruangan kamar dengan Ratna, sementara Susi berada di kamar lain. *** Dina membolak balikkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tapi kedua matanya tak juga bisa terpejam. Padahal malam sebelumnya ia sama sekali belum tidur. Tubuhnya benar-benar merasa sangat lelah. Apalagi seharian tadi kegiatan sangat padat hingga malam hari. Jika setiap malam seperti ini, pasti akan membuat tubuhnya drop dan jatuh sakit. Tiba-tiba saja ia teringat pada Sila. Bagaimana Sila tidur malam ini tanpa kehadirannya? Biasanya jam dua belas seperti ini Sila akan terbangun dan merengek minta dibuatkan sebotol s**u. Dan Sila akan kembali tertidur jika Dina peluk atau bersenandung. Apakah Mas Adi berhasil menidurkan Sila kembali? Tak berbeda jauh dengan Dina. Ratna yang berbaring di tempat tidur samping Dina pun juga belum bisa memejamkan matanya. Sore tadi, ketika tahu bahwa ia berada satu kamar dengan Dina, Ratna memilih untuk berpindah tempat di samping Dina. Kebetulan tempat tidur di samping Dina masih kosong, atau mungkin memang tidak ada pemiliknya karena dalam satu kamar itu terdapat sepuluh tempat tidur, sementara di sana hanya ada delapan orang. “Belum bisa tidur juga Mba?” tanya Dina sambil berbisik, agar tidak mengganggu teman yang lain. “Iya, Mba. Inget anak di kampung. Tadi ibu saya kirim pesan katanya anak bungsu saya demam. Duh, saya tambah galau kalau begitu Mba. Kasian juga sama ibu saya.” “Ada ‘Mba’ yang bantu-bantu di rumah, Mba?” tanya Dina lagi. “Ngga ada Mba. Rencananya sih nanti saya bakal minta orang buat bantu-bantu, tapi kalau saya udah kerja dan dapat gaji pertama. Kalau sekarang belum sanggup Mba. Ini aja saya dipinjemin uang lima juta sama temen saya buat makan sehari-hari anak-anak saya di kampung selama saya di sini.” “Untungnya punya temen baik ya Mba, yang mau minjemin dulu.” “Iya, Mba. Alhamdulillah. Malah kadang temen saya itu ngga mau kalau duitnya saya balikin. Tapi ya itu, saya ngga suka sama sifatnya. Dia tuh pendendam.” “Pendendam gimana Mba?” tanya Dina heran. Dina merasa sikap teman Ratna yang baru saja diceritakan itu sangat kontras. Ia bisa sangat baik terhadap Ratna, tapi juga memiliki sifat pendendam, seperti memiliki kepribadian ganda. “Iya, jadi dia tuh dendam karna dulu pernah ditolak sama perempuan. Nah sekarang perempuan itu udah menikah. Eh, dianya masih aja ngga terima. Kebetulan suami peremouan itu kan punya usaha tempat makan. Nah, trus sengaja tuh dia bikin fitnah, sampe rumah makannya bangkrut sekarang. Trus ngga tau tuh sekarang nasib mereka gimana. Saya juga udah ngga pernah nanya. Saya ngga mau ikut campur yang kaya gitu. Yang penting udah pernah saya nasehatin.” Rumah makan? Bangkrut?? Dina mulai mengerutkan dahinya. Ceritanya hampir mirip dengan usaha suaminya. Apa mungkin ...?? “Boleh tau Mba, nama temennya siapa? Kok ada sih orang begitu?” “Namanya Agung, Mba. Temen saya dari kampung. Tapi udah lama pindah ke Jakarta.” Agung?? Seketika jantung Dina berdebar. Suhu tubuhnya tiba-tiba memanas. Ada rasa marah, kecewa yang ia rasakan. Ya, Agung adalah laki-laki yang pernah dikenalkan Devi kepadanya. Dulu Dina menolak dengan halus saat Agung menyatakan perasaan kepadanya, karena Dina mengetahui kebiasaan Agung yang buruk. Ia senang meminum minuman keras dan berjudi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD