Bagian 18

1244 Words
Aku coba ke rumah ketua rukun tetangga saat itu juga. Aku ingin coba menanyakan ke mana pindahnya Ardina dan kedua orang tuanya. Aku berharap, aku akan mendapatkan jawaban yang aku inginkan. Aku disambut dengan baik di sana. Meski ketua rukun tetangga bernama Pak Warsito yang sudah menjabat sejak aku akan menikah dengan Ardina, sampai sekarang itu, sudah tidak ingat lagi denganku. Tapi untungnya ia masih ingat dengan cerita kami. Tentu saja. Karena cerita semacam itu akan selalu sangat populer di lingkungan para tetangga, dan akan membekas selamanya. Bukan menghakimi, hanya membicarakan fakta. "Saat itu mereka mengajukan surat pindah dari kelurahan, yang membutuhkan tanda tangan saya. Alhamdulillah saya masih simpan datanya, sehingga bisa saya informasikan pada Pak Anara." Lelaki paruh baya itu duduk dengan menyilangkan kedua kaki. "Silakan diminum dulu, Pak, kopinya. Silakan dimakan juga singkong kejunya. Maaf hanya sekedarnya." "Iya, Pak. Terima kasih. Saya jadi ngerepotin." Anara berusaha mengikuti alur, meski sebenarnya ia sudah tidak sabar menunggu Pak Warsito untuk mengatakan ke mana Ardina dan keluarganya pindah. "Jadi kalau boleh tahu, ke mana Ardina dan keluarganya pindah, Pak?" "Oh, iya, Pak. Kalau begitu saya Carikan dulu di dalam lemari, ya. Karena datanya sudah cukup lama, mungkin nanti akan sedikit lama. Tidak apa - apa, kan, Pak Anara?" Aku berusaha tersenyum. Sekali lagi, aku sudah bertekad untuk berubah, dan menjadi manusia yang lebih baik. Meski sebenarnya seandainya Pak Warsito mencari sejak tadi, bukannya terus mengobrol santai, data itu akan semakin cepat ditemukan juga. "Iya, Pak. Tidak apa - apa. Akan saya tunggu." Itu lah jawabanku kemudian. "Baik, saya cari dulu ya, Pak. Permisi." "Iya, Pak. Silakan." Aku terus menerus memalsukan senyuman. Dan terus berusaha menyabarkan diri. Akhirnya Pak Warsito benar - benar pergi kemudian. Aku sedikit lega karenanya. Aku pun menunggu dengan sabar, sembari mengecek ponsel yang sudah aku diamkan sejak berangkat tadi pagi.  Tentu saja ada pesan dari Mama. Aku segera membukanya. 'Nara, gimana? Sudah ketemu dengan Pak Abdullah dan Bu Mus?' Pertanyaan dari Mama itu membuat aku kembali teringat dengan pedihnya kala aku tahu bahwa kedua mantan mertuaku sudah tidak tinggal di desa ini lagi. Dengan berat hati, aku pun menulis pesan balasan untuk Mama. 'maaf baru bales ya, Ma. Ternyata Pak Abdullah dan Bu Mus udah nggak tinggal di sini lagi. Mereka dibawa pindah sama Ardina sejak lama.' Aku memutuskan untuk menjawab apa adanya. Tidak mau menutupi apa pun dari Mama. Mama langsung membaca pesanku itu. Dan sekarang sedang menulis pesan balasan. 'astaga ... yang sabar ya, Nara. Insya Allah kamu akan segera dipertemukan kembali Dengan Ardina, demi Arkana. Lalu apakah kamu sudah dapat informasi mereka pindah ke mana, Nak?' Aku segera menulis pesan balasan. 'belum, Ma. Tapi saat ini aku sedang di rumah ketua RT. Data kepindahan mereka sedang dicarikan beliau. Semoga segera ketemu.' 'aamiin. Kamu udah makan belum, Nara?' Dari pertanyaan Mama, aku baru ingat kalau aku belum makan sejak pagi. Astaga ... aku benar - benar lupa. Dan aku pun tidak merasa lapar ataupun lemas sama sekali. 'udah kok, Ma.' Pada akhirnya aku berbohong juga. Tapi aku akan segera mampir untuk makan nanti setelah dapat informasi alamat kepindahan Ardina dan keluarga. Supaya Mama tidak bertanya lebih jauh, aku segera mengalihkan topik pembicaraan. Sekaligus untuk mengetahui apa yang ingin aku ketahui saat ini. 'Arkana gimana, Ma? Apa dia sudah sadar?' Aku menanyakan pertanyaan yang sekiranya sudah bisa aku tebak sendiri. Tapi aku tidak mau berpikir negatif. Aku ingin mencoba berpikir positif supaya terbawa dalam harap dan doa. Sehingga ada kemungkinan akan segera menjadi kenyataan. 'belum, Nara. Kondisinya masih sama. Dokter Lugas baru aja masuk buat periksa keadaannya. Dan masih bum ada perubahan yang berarti. Sabar ya, Nara. Arkana itu anak yang kuat. Dia pasti akan bisa melalui ini semua segera.' Entah mengapa kata - kata Mama membuat dadaku terasa sesak. Kenapa aku ini? Aku segera menulis pesan balasan singkat. 'aamiin.' Aku sengaja hanya membalas seperti itu. Supaya Mama tidak lagi membalas. Dan aku langsung memasukkan ponsel ini dalam saku kembali. Aku menarik napas dalam. Berharap rasa sesak di dadaku akan segera hilang. Aku menatap ke atas, lalu ke sekeliling. Aku melihat kopi dan singkong keju yang disuguhkan di atas meja. Aku segera meyesap kopi hitam yang sudah hampir dingin. Kemudian melahap satu potong singkong keju dengan dadaku yang masih begitu sesak. Arkana ... Papa tahu kamu anak yang kuat. Bertahan ya, Nak. Papa saat ini sedang mencari mamamu. Doakan Papa supaya cepat bisa bertemu mama kamu, nenek kamu dan kakek kamu. Papa akan bawa mereka ke kamu. Kamu pasti akan sangat bahagia. Kamu pasti akan cepat pulih setelahnya. Bertahan ya, Nak. Papa berjanji akan menjadi sosok ayah yang lebih baik. Sosok manusia yang lebih baik. Pak Warsito tiba - tiba muncul dengan membawa beberapa lembar berkas. Aku segera menyambutnya dengan senyuman hangat, meski rasa sesak masih tersisa dalam d**a ini. "Gimana, Pak? Apakah data mereka masih ada?" Aku segera bertanya. Dan aku berusaha memasang tampang secerah mungkin meski ini sangat sulit. Wajah Pak Warsito nampak menyesal. "Maafkan saya Pak Anara. Ya, saya menemukan berkas itu. Tapi sayangnya karena sudah sangat lama, tulisan dan juga kertasnya sudah lapuk dan pudar. Bahkan ada beberapa bagian dimakan rayap." Pak Warsito menunjukkan berkas - berkas itu padaku. Benar saja. Bentuknya sudah tidak keruan. Sobek di sana - sini. Dan tulisannya sudah tak bisa dibaca sama sekali. Aku ingin sekali marah meluapkan emosi. Kenapa Pak Warsito tidak menyimpan berkas itu dalam wadah yang lebih aman? Kenapa tidak ia jaga sebaik mungkin? Tapi setelah aku pikir - pikir. Pak Warsito itu tidak salah. Sudah bagus berkas ini masih ia simpan. Dan ia juga tidak tahu kalau bertahun - tahun sejak ia menyimpan berkas ini, aku akan datang untuk mencari berkas ini. Aku menarik napas dalam. Aku harus bersabar. Meski ini sulit. Teramat sangat sulit. Aku pun kembali tersenyum. Tentu saja senyuman palsu. "Apakah Pak Warsito tahu, di mana saya bisa mendapatkan duplikat data ini, Pak?" Aku bertanya masih dengan menahan amarah. Semoga Pak Warsito tidak melihat emosiku. "Ah, tembusannya ada di balai desa. Dan juga di kantor dinas kependudukan, Pak. Tapi jam segini balai desa sudah tutup. Dan kantor dinas kependudukan selalu ramai dan antre. Kalau tidak datang pagi - pagi buta, tidak akan kebagian nomor  antre." Astaga ... aku kembali harus bersabar ternyata. Ya Tuhan .... Sungguh aku ingin sekali marah. Semua yang sudah aku lakukan hari ini terasa sia - sia. ~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~ Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Single Father. Mau tahu kenapa dikasih judul Single Father? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD