Bagian 17

1145 Words
Aku telah sampai di sini. Di desa di mana dulu aku datang untuk melamar salah satu gadis yang tinggal di sini. Kenangan - kenangan itu kembali berputar. Di saat aku pertama kali datang ke rumah Ardina. Di saat aku pertama kali memintanya pada orang tuanya. Di saat aku pertama kali membawa orang tua, saudara, dan kerabat - kerabatku semua untuk melakukan proses tukar cincin menjelang pernikahan. Dan saat aku sayang me rumah itu untuk melakukan ikrar suci pernikahan berupa kalimat ijab kabul, kemudian disahkan oleh para saksi. Sejak saat itu, tanggung jawab merawat Ardina telah beralih dari orang tuanya menjadi ke padaku. Kami begitu saling mencintai. Kami begitu bahagia. Sampai kami memiliki Arkana. Dan sampai prahara itu terjadi, merusak hubungan kami, dan berujung pada perceraian. Aku telak mengingkari janji yang aku buat dengan Tuhan. Aku berjanji untuk mencintainya sepenuh hati selamanya, bahkan sampai maut memisahkan, bahkan sampai kami berada di kehidupan setelah mati. Tapi kami justru bercerai. Aku gagal mempertahankan rumah tangga kami. Jalanan ini sudah banyak berubah. Dulu jalanan kecil ini hanya berupa makadam yang tidak nyaman untuk dilalui berkendara. Tapi sekarang sudah berupa aspal halus. Kanan kiri rumah - rumah besar berjajar. Padahal dulu masih berupa sawah - sawah dan perkebunan. Jumlah manusia semakin banyak, otomatis juga membutuhkan lebih banyak tempat tinggal. Ketika aku membelokkan mobil ke gang kecil itu. Bayangan - bayangan masa lalu kembali terputar dalam otakku ini. Saat aku mengantar Ardina yang rindu pada orang tuanya satu bulan sekali. Ia menginap di sana selama seminggu. Sebelum akhirnya aku jemput lagi. Begitu seterusnya, sampai kami memiliki Arkana juga. Sehingga Arkana tidak hanya dekat dengan pada saudara dari pihakku. Tapi juga dari pihak Ardina. Namun lagi - lagi, semuanya terhenti karena perceraian itu. Arkana tidak lagi pernah aku izinkan main ke daerah sini. Padahal ini adalah daerah rumah kakek dan neneknya sendiri.  Mengingat masa - masa itu, aku benar - benar merasa bagaikan orang paling jahat di dunia. Atau mungkin memang benar, bahwa aku adalah manusia paling jahat di dunia ini. Aku berbelok ke pelataran rumah itu. Rumah Pak Abdullah dan Ibu Musdalifah. Mantan mertuaku. Orang tua Ardina. Kakek dan Nenek Arkana. Rumah itu nampak sepi. Setahuku sejak kami menikah, memang Pak Abdullah dan Bu Musdalifah hanya tinggal berdua. Mengingat Ardina adalah anak bungsu. Dan aku mengambilnya untuk tinggal bersamaku. Rumah itu akan ramai ketika Arkana datang. Tapi pasti tidak lagi setelah perceraianku dan Ardina. Bisa aku bayangkan betapa kesepiannya kedua mantan mertuaku itu. Aku turun dari mobil, mempersiapkan diri untuk menghadapi kedua mantan mertuaku dengan jantan. Aku akan jujur pada mereka tentang segala hal. Aku akan bilang pada mereka tentang kondisi Arkana. Sehingga mereka bisa datang untuk menjenguk anakku. Aku berharap dengan kedatangan Kakek dan Neneknya, bisa menjadi obat rindu, sekaligus obat penyakitnya supaya ia lebih semangat lagi untuk sembuh. Semoga saja. Tentu saja aku juga akan bertanya pada mereka, di mana aku bisa bertemu dengan Ardina. Tentu saja. Aku mengetuk pintu berwarna cokelat itu. Sembari mengucap salam. Aku menunggu, namun pintu urung dibukakan. Jangan - jangan mereka sudah mengintip dari dalam, tahu yang datang adalah aku. Makanya mereka memutuskan untuk tidak membuka pintu. Aku menggeleng. Ah tidak. Aku tidak boleh berpikir negatif seperti ini. Bukannya aku sudah bertekad untuk memperbaiki segala keadaan sulit yang disebabkan oleh diriku sendiri ini. Aku mengetuk sekali lagi lagi, tak lupa kembali mengucap salam. Dan aku kembali menunggu. Sayangnya lagi - lagi tidak ada tanggapan sama sekali. Ke mana mereka? Apa mereka sedang keluar? Tak ingin menyerah, aku segera mengetuk pintu sekali lagi. Dan mengucap salam sekali lagi. Dan lagi - lagi harus menunggu. Sayangnya tidak ada perubahan pada hasilnya. Pintu urung jua terbuka. Ke mana mereka sebenarnya? Sebenci itu kah padaku sampai tidak mau membukakan pintu? Tapi aku memang pantas dibenci, sih. Atau mereka memang sedang tidak berada di rumah saat ini. "Pak ... cari siapa?" Ada suara seorang perempuan dari arah belakang. Aku segera menoleh. Ternyata ada seorang wanita paruh baya mengenakan gamis dan kerudung syar'i. Aku sepertinya ingat orang ini. Ini adalah tetangga depan rumah sana. Tapi aku lupa siapa namanya. "Permisi, Bu. Saya mau ketemu sama Pak Abdullah dan Bu Musdalifah. Orangnya ada di dalam atau sedang keluar, ya, kira - kira? Soalnya dari tadi saya ketuk, nggak dibukain juga pintunya." Aku berusaha menjelaskan dengan sebaik mungkin tentang tujuanku datang ke mari. Bukannya menjawab, ibu itu malah menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Anda ini Mas Anara, ya? Mantan suaminya Mbak Ardina?" Ah, aku bersyukur sekali ibu itu ternyata juga masih mengingat aku. Bahkan juga mengingat namaku. "Iya, Bu. Saya Anara." Aku tersenyum padanya dengan ramah. Ibu itu tidak membalas senyumku. Hanya langsung memberi jawaban. "Duh ... sayang banget Mas Anara. Pak Abdullah sama Bu Mus udah lama nggak tinggal di sini. Ya sejak Mas Anara dan Mbak Ardina cerai tuh. Jarak 3 bulan doang. Mereka diboyong sama Mbak Ardina pindah ke luar kota. Soalnya Mbak Ardina kasihan mereka kesepian. Mereka pindah, rumah ini dijual. Sekarang rumah ini sudah bukan milik mereka lagi. Tapi juga nggak ditinggali sama pemilik barunya. Cuman rajin dibersihkan secara berkala aja." Duniaku seakan terhenti mendengar penjelasan dari ibu itu. Ternyata mereka sudah pindah. Astaga ... terbayang dalam otak ini. Ke mana lagi aku harus mencari mereka kalau begitu? "Bu, apa ibu tahu ke mana mereka pindah?" Aku coba bertanya, berharap akan mendapatkan jawaban yang aku inginkan. Sayangnya ibu itu menggeleng dengan raut wajah penuh penyesalan. "Saya nggak tahu, Mas Anara. Kami semua nggak tahu. Mereka hanya pamit saat itu, tapi tidak bilang ke mana akan pindah. Sejak saat itu pun kami sudah nggak pernah berhubungan lagi." Aku masih berdiri mematung. Kembali memikirkan bagaimana caraku menemukan mereka setelah ini. Aku rasa aku memang sedang dihukum oleh Tuhan atas segala sikap burukku selama ini.  ~~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~ Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Single Father. Mau tahu kenapa dikasih judul Single Father? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD