Yeay ketemu lagi sama aku dengan cerita yang sudah kujanjikan kemarin, Rara dan Alex. Senang gak tuh?
****
Terdengar sebuah kericuhan dari arah parkiran mobil di lorong ujung sebelah kanan, saling debat tak mau kalah dan dorong mendorong. Suara seorang gadis melengking tajam dengan jari telunjuk terarah pada lawannya yang terdiri dari tiga gadis lainnya, terlihat dari pakaian nampak urakan. Celana panjang sobek-sobek, atasan dengan serba mini serta rambut warna-warni. Mereka bertiga kelihatan sempoyongan, alkohol telah menyelimuti dengan baik hingga kehilangan beberapa persen kesadaran. "Minggir!"
Bos dari ketiga sekawan itu maju, dia menarik secara tiba-tiba kerah leher Rara. "Lo yang minggir, b*****t!" desisnya tak kalah tajam dan tak segan mengeluarkan kata kotornya untuk menampakkan jika dia sedang marah.
Rara Putri Frenzo, gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas beberapa bulan yang lalu. Wajahnya terpahat apik bak seorang Dewi Yunani, memiliki mata bulat dengan bulu yang lentik serta iris hitam pekat, hidung mancung, dan bibir seksi berwarna kemerahan. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, tetapi memiliki lekuk yang amat memesona--membuat pria mana pun jatuh hati kepadanya. Dia, putri pertama kesayangan seorang Remon Frenzo.
"Sinting!" maki Rara balik dengan senyuman miring. Dia dalam keadaan tak jauh berbeda dari ketiga gadis di hadapannya. Rara juga sedang dipengaruhi alkohol, sejak tiga jam yang lalu dia menghabiskan waktu malamnya dalam sebuah club malam. Meliukkan badan sekehendak hati sambil menegak minumannya, seolah hanya dengan cara inilah besok pagi pikirannya lebih baik.
Mereka berdebat karena ketiga gadis itu tidak sengaja menabrak mobil bagian belakang Rara hingga penyok di beberapa bagian. Tidak banyak, tetapi itu mampu membuat emosi Rara tersulut. "Lo yang nabrak mobil gue, terus lo juga yang berani sumpah serapahin gue? Lo nggak tau gue anak siapa? Mau gue buat menyesal sudah hidup di dunia ini?!" teriak Rara menjadi-jadi ketika salah seorang dari mereka ingin melayangkan tamparan, untung sempat Rara menghindarinya.
"Memangnya lo siapa, bocak tengil! Jangan sok paling berkuasa, cuman penyok sedikit." Dia mendorong bahu Rara hingga terdorong sedikit ke belakang.
Rara ingin menyerang ketiga gadis itu, tetapi segera dicegah oleh seorang pria yang entah sejak kapan berada di sana. "Cukup, Rara! Nggak malu berantem di sini, ada banyak orang yang menonton kalian!" Rara tidak mendengarkannya, malah kembali berniat ingin memberikan pukulan agar lawannya tersebut jera berurusan dengannya. Berani sekali memaki dirinya!
"Rara, plis berhenti!" Alex kembali bersuara dengan sebuah bentakan. Lalu menarik Rara, membawanya masuk ke dalam mobil tanpa mau ditolak.
"Apa-apaan kamu?!" Rara meneriaki Alex. Gadis itu meminta keluar, namun pintu mobil lebih dulu dikunci oleh Alex. Tidak menunggu lama, pria itu menjalankan mobil meninggalkan area parkiran. "Buat apalagi kamu ke sini mendatangiku? Sungguh, itu sama sekali tidak perlu. Keluar dari mobilku, aku bisa pulang sendiri!" Sorot tajam dari Rara di arahkan pada Alex yang nampak tak acuh. Dia tetap mengemudikan mobilnya dengan baik seolah tidak ada ucapan sebelumnya.
"Berhenti, Alex! Apa kamu tidak mendengarnya?" Rara memukul lengan Alex kesal, berkali-kali hingga mobil berhenti di pinggir jalan. Alex merebut paksa kedua tangan Rara, memenjarakan tubuh gadis itu agar tidak bisa bergerak lagi. Sangat mudah bagi Alex untuk melakukannya, tubuh atletisnya jauh lebih besar dari Rara.
"Apa kamu nggak bisa diam sebentar saja? Lihat keadaan kamu sekarang, apa masih bisa disebut waras?" tanya balik Alex penuh penekanan. "Berapa banyak kamu minum? Paman Remon harus tahu kelakuan putri kesayangannya ini."
Rara mencoba menjauh dari Alex, kakinya ingin menendang namun segera dikunci lagi. "Jangan sok peduli, aku tahu kamu sebenarnya nggak ada niatan untuk itu. Jauhi aku, urus saja semua kehidupanmu sendiri. Hidupku, terserah mau bagaimana itu pilihanku."
"Kenapa kamu bisa sebebas ini sekarang? Tidak begini caranya lari dari sebuah rasa sakit. Aku tahu kamu terluka, aku minta maaf untuk semua goresan itu." Alex menatap dalam Rara dalam kegelapan, dia dapat melihat banyak luka dari sorot gadis itu saat menatap padanya.
Rara menggeleng, dia hanya bisa menangis akhirnya. "Bukan urusan kamu, aku menyukai kehidupanku yang sekarang. Dan dengar ... semua ini nggak sama sekali tentang kam--"
"Bohong!" Alex langsung menyela. Dia tahu Rara sedang berdusta, keduanya mengenal sejak kecil, Alex tahu bagaimana gadis itu. Dulu tidak seperti ini, malah terkenal gadis ceria yang banyak akal. Selalu bisa menghibur orang-orang dengan tingkah konyolnya. "Sudah berapa kali aku bilang, kamu sudah aku anggap adikku, sama seperti Ayaa. Aku menyayangi kamu layaknya--"
"Nggak! Cukup ... a-aku mohon, jangan katakan itu lagi. Kamu menyakiti, kamu sunggu menyakitiku." Rara terisak amat pilu. Ini adalah mimpi buruk baginya, saat dia mencintai Alex kemudian pria itu hanya menganggapnya seorang adik. "Aku mencintai kamu, kenapa serumit ini? Dulu kamu bilang aku masih kecil, belum boleh bilang cinta. Tapi sekarang apa, aku sudah delapan belas tahun. K-kamu masih saja menganggapku adik kecil, aku nggak mau. Aku mau menjadi bagian terpenting di hati kamu, bukan ... bukan seorang adik tapi seorang pasangan. Aku mau kamu menjadi milik aku, apa kamu nggak mengerti juga?"
Alex memejamkan matanya. Sangat sulit memberikan pengertian pada gadis kecilnya satu ini. "Aku sudah memiliki kekasih, kamu tahu itu. Aku mencintainya." Lalu Alex melepaskan cekalan tangannya pada tubuh Rara, dia kembali pada kursi pengemudi.
Rara memeluk tubuhnya, menangis sejadi-jadinya tanpa memedulikan Alex yang sedang mengemudikan mobil. Tadi sore saat Rara mengunjungi apartemen Alex, pria itu sedang berduaan bersama sang kekasih di dapur. Keadaan keduanya sama sekali tidak layak dilihat oleh Rara. Rok mini yang Syeila kenakan terangkat ke atas hingga perut, kemudian dengan Alex yang berada di sela-sela kedua kakinya. Rara sudah cukup dewasa untuk mengartikan kegiatan keduanya beberapa saat lalu, sangat menyakiti hatinya.
Berbeda dengan Alsen yang sangat anti dengan hubungan intim sebelum menikah, Alex malah kebalikannya. Namun semua hanya berlaku kepada Syeila, kekasihnya yang dia kencani sejak 3 tahun belakangan. Bahkan Syeila sering menginap di apartemen Alex, menghabiskan siang dan malam bersama.
"Tidak perlu mengantarku sampai dalam, cukup di sini saja!" Rara menegaskan jika dia menolak Alex mengantarnya hingga dalam apartemen. Dia sudah cukup miris menampakkan tangis begini di hadapan Alex.
"Tidak, aku akan mengantarkanmu ke dalam. Bagaimana bisa kamu berjalan dalam keadaan setengah sadar begini?" Alex keluar dari mobil, membukakan pintu untuk Rara. "Sini, aku bantu."
Rara menolak, dia menepis kasar tangan besar pria itu. "A-aku bisa sendiri!" Kamudian berusaha berdiri dan melangkah meninggalkan area parkir. Baru beberapa langkah dia berjalan, tubuhnya ambruk. "s**t! Kenapa bisa aku selemah ini, alkohol sialan!"
"Sudah kubilang, kamu tidak akan bisa berjalan sendiri. Jangan keras kepala, aku akan menggendong kamu sampai ke dalam." Tidak menerima penolakan, Alex menggendong tubuh Rara hingga tiba di depan pintu apartemennya. "Eh, kamu mengubah password apartemenmu?" tanya Alex ketika salah memasukkan password sebelumnya yang dia ketahui selama ini.
"Ya, dan aku tidak akan memberitahukannya kepadamu. Pergilah, aku bisa masuk sendiri."
"Kenapa mengubahnya? Beritahu aku sekarang juga. Aku akan tetap mengawasimu, ini adalah perintah Paman Remon."
Rara mendesis, dia mendorong tubuh Alex dengan sisa tenaga dan kesadarannya. "Menjauh, pergi saja jauh-jauh. Jangan kembali lagi, mungkin hidupku akan jauh lebih baik kalau kamu nggak ada. Aku akan melupakanmu, pergilah!"
"Aku tidak akan pergi."
Rara berdecak. "Apa aku perlu berteriak?! Kenapa kamu memaksaku, urus saja hidup kamu sendiri dan kekasihmu itu! Ini hidupku, ngapain kamu repot-repot menjagaku? Aku sudah besar, terserah mau bagaimana. Bukan hanya mabuk-mabukan, lebih dari ini pun akan aku lakukan!"
"Rara! Jangan ucapanmu, kamu masih terlalu kecil untuk memasuki dunia orang dewasa."
"Omong kosong! Terserah aku, ini hidupku. Mulai dari sekarang, nggak ada lagi aturan ... aku akan melakukan apa pun sekuka hatiku. Jika hal buruk membuatku bahagia, kenapa tidak. Aku akan lebih liar dari malam ini, kamu akan menyaksikannya!" Rara mendorong lagi tubuh Alex yang mendekat. "Menjauhhh!!!"
Alex hanya mendengarkan, dia memilih memeluk Rara untuk menenangkannya. Meski awalnya memberontak, namun lama kelamaan gadis itu luluh. Dia bahkan ketiduran dalam dekapan hangat Alex.
Dengan kecerdasannya, Alex memasukkan digit angka kelahirannya. Dan ... berhasil! Alex tertawa kecil. Sangat mudah menebaknya, Rara sangat mencintai dirinya. "Gadis kecil yang nakal!" ucapnya pada Rara.
Alex membawa Rara ke dalam kamarnya, merebahkan gadis itu di sana lalu menyelimutinya. Helaan napas berat terdengar sambil memerhatikan wajah tidur Rara. Tenang sekali.
Alex duduk di pinggiran kasur, dia membantu melepaskan jaket yang Rara kenakan menyisakan mini tanktop yang hanya menutupi bagian d**a, untuk bagian pusar tidak. Alex menggelengkan kepala, "Jadilah gadis yang manis, kamu terlalu bebas sekarang. Pakaian ini, tidak sama sekali cocok untuk kamu kenakan. Ada banyak pria jahat di luar sana, mereka akan memanfaatkan keadaan dan tubuh kamu untuk kepuasan semata." Lantas mengusap puncak kepalanya.
"Aku pulang, besok pagi sekali aku akan mampir membuatkanmu sarapan sebelum kembali menjadi gadis bar-bar. Berontak juga perlu tenaga." Alex meninggalkan apartemen Rara setelah beberapa saat lalu memeriksa seluruh ruangan, dirasa aman-aman saja ... dia pulang.
****
Ketika pagi tiba, sesuai ucapannya kemarin malam, Alex akan datang untuk menyiapkan sarapan.
"Rara, bangun. Ini sudah jam delapan, apa kamu nggak ada kegiatan di luar hari ini?" Alex membawa sarapan ke dalam kamar Rara, meletakkannya ke atas nakas. Pria itu sudah gagah dengan stelan jas kerjanya, membuat siapa saja yang memandang akan terpesona oleh ketampanan yang dia miliki. Alex tetap seperti lima tahun yang lalu, datar dan tidak acuh. Namun jika semua hal berurusan tentang keluarganya, dia akan turun tangan lebih cepat dari orang lain. Rara misalnya, dia sudah Alex anggap seperti adik sendiri.
Alex melangkah ke arah gorden, membukanya hingga silau dari matahari pagi mengenai Rara dan berhasil membuatnya terbangun. Telapak tangan terbuka Rara gunakan untuk menutupi wajah. "Tutup kembali gordennya! Aku masih mengantuk, aku akan tidur sepanjang hari ini. Tolong, jangan mengganggu."
Alex tidak mendengarkan, dia tetap membuka gorden itu. "Jangan mengada-ngada, cepat bangun dan sarapan. Aku sudah menyiapkan obat sakit kepala, kamu harus meminumnya agar lebih baik."
"Bawa kembali semuanya, aku nggak butuh itu. Aku baik-baik saja, pergilah!" Rara menarik selimut hingga menutupi seluruh bagian tubuhnya. Memeluk guling dan membenamkan kepalanya agar kembali tertidur.
"Bangun atau kuadukan semua kejadian semalam ke Paman Remon?" ancam Alex. Dia tahu hanya ancaman satu ini yang mampu meluluhkan Rara, dia sangat takut ayahnya tahu dan membuat kecewa orang tuanya.
"Menyebalkan! Menjauh dariku, nggak usah mencampuri urusanku lagi. Aku benci kamu, benci banget!" Rara memberontak lagi, dia bahkan membuat nampan berisi sarapannya terjatuh dan berhamburan di lantai. "Aws!" ringisnya ketika pecahan gelas melukai kakinya saat dia ingin ke kamar mandi untuk menghindari Alex yang menatap tajam padanya.
Saat Alex ingin membantu, Rara menggeleng dan menolak. "Menjauh dariku, jangan sok peduli!" teriaknya penuh penekanan. Dia kembali melangkah meski kakinya sudah berdarah cukup banyak, mengotori lantai. Lalu menghilang di balik pintu kamar mandi.
Alex memanggil asisten rumah tangga yang akan datang setiap pagi dan pulang ketika sore, tugasnya ialah membersihkan rumah dan menyiapkan semua keperluan Rara. Gadis itu tidak sama sekali mengolah masakan atau melakukan pekerjaan rumah. Sekarang Rara malas membuat kue, padahal dulu dia senang membuat kue dan membantu orang lain yang memasak di dapur.
Rara bisa memasak, namun entah kenapa semua nampak berubah. Alex tahu penyebab besar berubahan diri Rara adalah dirinya. Memangnya siapa lagi?
"Bibi tolong bersihkan semuanya. Biar saya siapkan sarapan yang baru. Gadis itu kembali berulah pagi ini."
Bibi An mengangguk mengerti. Dia mulai membersihkan pecahan kaca dan makanan yang berhamburan. Bi An ini bekerja sejak pertama kali Rara memutuskan tinggal berpisah dengan orang tuanya, ke apartemen--kurang lebih satu setengah tahun.
Remon maupun sang istri sering kali mengunjungi apartemen Rara, mungkin seminggu dua sampai tiga kali. Kadang membawakan makanan, minuman, atau pakaian baru yang Julia belikan--istri Remon.
Mereka sangat menyayangi Rara, maka dari itu tidak sedikitpun niat hati Rara mengecewakan keduanya meski tahu kelakuannya sekarang seperti anak setan, tidak tahu aturan dan keras kepala sekali. Entah kenapa dia bisa seperti ini, dia hanya pusing karena terlalu memikirkan soal perasaannya yang tak terbalaskan. Bertahun-tahun dia mengagumi sosok Alex, tetapi setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri hubungan Alex dan Syeila semua rasa dalam diri bergejolak. Melebihi dari kata kecewa, dia begitu terluka. Tangis bahkan tak dapat membayar apa yang sudah dia lihat, terbayang di kepala hingga dia muak.
Selesai mandi, Rara keluar dari dalam sana hanya menggunakan handuk yang dia lilitkan pada d**a--panjang handuk itu cuman setengah pahanya. Sedangkan rambut panjangnya nampak dililit dengan handuk lebih kecil. "Ngapain masih di sini?!" tanya Rara membentak ketika melihat Alex masih berada di kamarnya. Sedang duduk santai di sebuah sofa dengan nampan berisi makanan di atas meja bulat di depan sana.
Alex yang sedari tadi melipat sebelah kakinya ke atas sambil memikirkan banyak hal, kini pandangannya teralih pada Rara. Matanya membulat, ini pandangan yang pertama kali dia dapatkan, melihat Rara hanya dalam balutan handuk. Oh, tolong. Dia pria normal, kenapa harus keluar menggunakan penutup seperti itu?
"Gunakan pakaian kamu terlebih dahulu." Dengan datar, Alex memerintah.
"Tidak, sebelum kamu angkat kaki dari sini. Untuk apa sih masih di sini, aku bisa melakukan apa saja yang ku mau. Aku sudah dewasa, sudah mengerti banyak hal."
Alex tertawa sinis. "Cih, omong kosong. Kamu masih labil, jangan mengada-ngada. Dunia orang dewasa tidak seindah yang kamu bayangkan, sangat berbahaya jika tidak pandai membatasi diri. Kamu akan terjerumus pada kesialan, dan akhirnya ... hanya penyesalan yang kamu dapat."
Rara mengangkat bahu cuek. "Aku tidak peduli. Lagi pula, apa saja yang aku lakuin sekarang bukan urusan kamu. Apa masih kurang jelas kalimatku untuk membuat kamu menjauh dariku sekarang?"
"Aku minta maaf untuk kejadian kemarin sore. Tidak seharusnya kamu melihat keadaan kami, aku benar-benar minta maaf untuk semu itu." Alex menatap Rara, lalu bangkit dari posisinya menuju gadis itu. Alex membawanya ke dalam dekapan. Tidak tahu apa yang sedang Alex pikirkan, dia hanya ingin Rara kembali menjadi gadis manis. Liar begini membuatnya tidak tenang, Alex sangat mengkhawatirkan Rara jika sampai jatuh ke tangan lelaki b******k yang hanya memanfaatkan tubuhnya. Lihat sekarang, siapa yang dapat berpikir jernih ketika melihat tubuh montok ini hanya terbalut handuk setengah paha selain dirinya? Mungkin jika pria lain, dia sudah menerkam Rara saat ini juga. Oh ayolah, dia begitu mencemaskan.
Rara tertunduk. "Aku kecewa, tapi aku sadar. Inilah yang aku dapatkan sejak dulu bukan, aku selalu menjadi nomor kesekian dalam hidup kamu. Aku terlalu mencintai, hingga nggak mampu menahan rasa sakit dari luka yang aku ciptakan sendiri. Sejak awal memamg aku yang salah."
Alex mengangkat dagu Rara, menyuruh gadis bermata hitam dengan sorot tajam itu menatapnya. "Kamu adalah bagian terpenting dalam hidupku. Kita keluarga, sejak kecil sudah bersama. Apalagi yang kurang?"
"Inilah uang aku nggak suka. Kamu dan aku hanya sebatas keluarga tanpa boleh mengukir rasa lebih. Coba bisa memilih, aku ingin menjadi orang lain hingga kamu bisa jatuh cinta kepadaku. Aku ingin memiliki kamu, bukan sebagai kakak ... t-tapi, ah sudahlah." Rara tersenyum miris melihat keadaannya. Dia tidak boleh menangis lagi, dia tidak boleh terlihat lemah apalagi hanya karen seorang pria. "Tidak apa, aku baik-baik aja kok. Lupakanlah, anggap saja tidak pernah terjadi sesuatu. A-aku mau ke ruang pakaian dulu, kamu pergilah ke kantor." Setelah itu, dia pergi tanpa memberikan kesempatan untuk Alex menyela ucapannya. Alex dibungkam, dia kehabisan kata-kata. Rara yang dia kenal memang tak lagi kecil, dia sudah menjadi gadis dewasa yang selalu dia anggap adiknya.
"Jangan terlalu lama, aku menunggu kamu. Sarapan, minum obat, lalu aku akan membersihkan luka kakimu."
Rara yang sudah sampai pada depan pintu ruang pakaian, dia hanya mengangguk pelan. Tidak guna berdebat lagi, dia sungguh lelah dan Alex tak mau meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Meski sangat kecewa, sungguh rasa itu sama sekali tidak perkurang. Sangat bodoh memang kedengarannya, tapi rasanya begitu besar hingga untuk semua kata benci sangat sulit bersemayam di hati. Yap, Rara kecewa ... hanya sebatas kata, namun hatinya seolah tak tergerak sedikit pun, seolah tak ada apa-apa terus. Dia tetap pada pendiriannya memilih untuk mencintai, maka tak akan goyah meski ada banyak luka yang dia terima selama ini. Luar biasa, dia tidak tahu rasa cinta ini terbuat dari apa hingga sulit dipecahkan dan habis tanpa sisa.
Tapi tidak menutup kemungkinan jika suatu saat Rara lelah, dia memilih untuk diam, kemudian membiarkan rasanya benar-benar mati oleh banyak luka yang diterima. Semua akan membekas dalam ingatan, mengikis perlahan benteng pertahanan hatinya. Tentu saja Rara akan bahagia, nanti ... mungkin ketika bersama dengan orang lain.
Rara keluar dari ruang pakaian, seperti biasa dia akan menggunakan celana super pendek dan kaos kelonggaran yang menutupi celana tersebut. Kaki jenjang dan putih mulus itu melangkah perlahan ke arah Alex. Sekarang nampan tak lagi satu, kini berpasangan. Apa pria itu akan menemaninya sarapan?
"Kenapa nampannya ada dua? Kamu tidak melihat sekarang jam berapa?" tanya Rara masih sinis. Dia duduk di sofa berseberangan dengan Alex, jarak mereka kini terpisah meja bulat di tengah-tengah.
Alex melepas jas kerjanya, lalu menghela napas. "Keadaan kamu lebih penting sekarang. Sarapan, minun obat, lalu aku akan membersihkan luka di kaki kamu."
"Cuman luka kecil, tidak masalah."
"Aku tidak percaya sebelum memeriksanya terlebih dahulu. Tolong, jangan keras kepala lagi. Makan makananmu dengan baik seperti biasanya, kembali hidup sehat seperti kemarin. Oke?"
Rara hanya diam, lalu memakan perlahan sarapannya. Ini yang membuat Rara tak bisa melepaskan rasa cintanya, Alex begitu memperhatikan dan mengutakan dirinya di atas segalanya. Kalau ditanya kenapa demikian, Alex pasti akan menjawab jika Rara adik kecilnya yang harus diberikan banyak perhatian. Dia begitu manja dan selalu ingin disayang. Namun nyatanya, perhatian ini membuat perasaannya semakin tidak tahu diri. Semakin Alex menyayanginya, semakin besar pula rasa Rara ingin memiliki. Alex yang membuatnya candu, tidak bisa lepas dan jauh dari diri pria itu. Semua perhatian itu selalu disalah gunakan oleh hati Rara yang sudah terlanjut cinta, lalu dia bisa apa sekarang? Ingin hubungan lebih pun nampak seperti mimpi, ingin menyudahi tapi tak mungkin. Sial! Dia sudah terpenjara dalam rasa yang membuatnya semakin tersakiti kemudian hancur secara berkala.
"Apa hari ini kamu memiliki jadwal kegiatan di luar?" tanya Alex di sela-sela makan mereka. Sebenarnya tadi Alex sudah sarapan, hanya saja lebih baik jika dia ikut makan pikirnya. Rara akan merasa lebih nyaman jika dia ikut makn bersama, dia sangat tahu gadis itu.
Rara mendongak, menatap Alex beberapa saat kemudian menggeleng. "Tidak, aku akan tidur seharian penuh."
"Apa nanti malam akan menghabiskan waktu di club lagi? Aku pastikan akan menyeretmu sebelum masuk ke dalam sana jika benar." Alex berkata tajam, dia tidak mungkin membiarkan Rara kembali ke tempat terkutuk itu, sangat tidak baik untuk gadis seusianya.
Rara menaikkan bahu. "Tergantung."
"Jangan main-main, Rara, tolong. Kita semua mengkhawatirkan keadaanmu, apalagi kedua orang tua kamu. Mereka pasti akan kecewa jika tahu putri kesayangannya begini, melangkah ke jalan gelap yang tidak seharusnya."
Rara tersenyum miring. "Kamu yang buat aku begini," serunya dalam hati. "Oke, baiklah." Dia pasrah saja, berdebat sekarang bukanlah waktu yang tepat. Dia malas, lelah sekali rasanya. Kepala terasa sakit sekali, ingin mengistirahatkan diri dalam waktu panjang.
Alex tersenyum, manis sekali. "Baguslah, aku akan ke sini nanti malam. Kamu mau aku bawakan makanan apa?"
"Hem, tidak usah. Aku akan memakan masakan Bibi An."
"Oke, aku akan membawakanmu Pizza."
Rara menggertakkan gigi. Alex memang selalu berkuasa atas dirinya. "Ya, ya, terserah."
Alex terkekeh. "Kapan jadwal masuk kuliah kamu? Ayaa katanya dua minggu lagi." Berbicara soal Alya, gadis itu mengambil pendidikan lanjut di luar negeri. Jalan kedua gadis yang bersama sedari kecil itu sangat berbeda sekali. Sementara Alya yang kian meningkatkan kemampuannya di bidang musik, Rara malah kian merosot ke hal tidak benar. Kenapa dia bisa sekacau ini sekarang? Benar-benar sial!
"Nanti aku tanyakan pada teman dulu kapan pastinya. Hem ... aku lupa." Rara mengangkat bahu. Dia memang gadis bodoh sekarang, bahkan pendidikan bukan lagi hal terpenting. Kenapa? Rara harus segera menyadarkan diri sebelum semua benar-benar hancur. Tapi bagaimana, keadaan percintaan Alex dan Syeila sangat mengganggu ketenangan. Kenapa dia bisa segila ini dengan sosok di hadapannya? Apa kelebihan Alex hingga Rara begitu candu dengannya? Bahkan berpisah untuk mengenyam pendidikan ke luar negeri dia tidak sanggup, berjarak jauh sangat menyiksa.
Alex menggelengkan kepala semakin heran. "Kamu nampaknya tidak serius untuk kuliah. Kenapa? Ini adalah cita-cita kamu sejak kecil, raihlah."
"Ya, ya, okelah. Aku mengerti, aku emang pemalas sekarang."
"Jangan terlalu banyak memikirkanku. Aku akan baik-baik saja."
"Tentu saja baik, kamu selalu bersenang-senang dengan kekasihmu di atas ranjang! Benar-benar memuakkan sekali!" pekik Rara dalam hati. Giginya menggertak, hatinya mendesis tajam. "Gak guna memikirkan kamu. Aku punya kesibukan sendiri. Harusnya aku yang menyuruhmu begitu, kamu yang terlaku mencampuri urusanku!" Lalu dua mendengkus kesal.
Alex terkekeh. "Itu sudah menjadi kewajiban, kamu tidak aku awas aja bisa sebebas ini. Apalagi kalau aku biarkan begitu saja. Kamu akan terbang sampai aku tak bisa menggapainya lagi. Tidak akan aku biarkan."
"Aku sudah dewasa, sudah sekian kali aku katakan. Sewajarnya saja kalau ingin melindungi, aku juga mempunyai kehidupan pribadi yang nggak semua harus kamu tahu."
Alex mengerti, dia hanya mengangguk kecil. Mereka telah menyelesaikan sarapan, kemudian dia menyuruh Rara meminum obat pereda sakit kepala akibat mabuk semalam. "Sini, aku periksa luka di kaki kamu dulu, baru setelah itu istirahat dan aku kembali ke kantor."
Rara memutar bola mata malas. Dia mengangguk saja mengiyakan, kemudian Alex berpidah duduk ke sampingnya dengan membawa kotak P3K. Rara menjulurkan kakinya ke pada Alex, ditelakkan di atas paha pria itu.
"Apa ini yang kamu sebut luka kecil?" Alex menggerutu. Dia mulai membersihkan luka yang lumayan besar itu sobeknya. "Apa ini perlu dijahit?" tanyanya kemudian. Rara membelalakkan mata.
"Jangan asal ngomong! Luka sedikit doang, jangan berlebihan!"
Alex terkekeh. "Aku tahu kamu penakut."
Rara membuat muka dengan wajah memberengut. "Kamu menyebalkan!"
"Tentu saja, jika aku tidak menyebalkan kamu tidak akan diuji kesabarannya."
Rara menggertakkan gigi ingin memukul Alex. "Tidak usah banyak bicara! Aku lagi marah sama kamu."
"Ya, ya, aku tahu itu. Terlihat sangat jelas wajah kesal kamu."
"Aw! Sakit, kamu apakan lukaku!" Rara ingin menarik kembali kakinya, namun segera Alex tahan. "Sudah, biarkan saja dia begitu. Nanti juga sembuh sendiri!"
"Diam, Rara."
"Aw! Aw! Ini kenapa pedih banget. Jangan kayak gini, aku nggak tahan. Udah, udah!" Rara menggelengkan kepalanya, dia menolak untuk Alex memberikan obat pada lukanya.
"Sebentar, tahan sedikit. Ini akan cepat sembuh setelahnya," ucap Alex sambil meniup-niup pelan luka Rara.
Lihat kan, bagaimana Rara tidak terjatuh lagi dalam perasaannya jika Alex terus memperlakukan dirinya semanis ini. Perhatiannya membuat rasa tidak tahu dirinya meronta-ronta. Apa Rara salah jika mencintai pria yang terlihat amat menyayanginya ini?
Kenapa keadaan begitu kejam dengan menciptakan dua orang saling bersama tetapi tidak boleh memiliki rasa cinta dan keinginan memiliki selain adik-kakakaan?
Sungguh, ini menyedihkan sekali.
Beberapa saat melamun, Alex kembali menyadarkannya. "Sudah selesai, Rara. Ini akan cepat pulih, ayo aku bantu ke tempat tidur. Kamu harus istirahat, gadis kecil."
Rara mendengkus. "Berhenti menyebutku gadis kecil, aku sudah besar. Besok pun kalau ada yang mengajakku menikah, bisa saja aku menerimanya."
Alex tertawa, dia mengacak-acak rambut Rara. "Kamu menggemaskan sekali merajuk seperti ini, kamu tahu itu?" Lalu menarik selimut menutupi kaki Rara.
"Cepatlah membaik, kamu nggak seru kalau marah-marah begini."
Tidak sama sekali ada sahutan. Rara lebih memilih bungkam, tidak juga berniat menatap Alex.
Pria itu menarik napas, dia duduk di pinggiran kasur lalu mengusap puncak kepala Rara. "Jangan marah lagi ya, nanti malam aku akan datang membawakanmu Pizza kesukaan. Sekarang, aku pergi ke kantor dulu, jam sepuluh nanti ada rapat penting." Alex tersenyum manis. "Aku pergi, kamu baik-baik di rumah ya."
Masih tidak ada sahutan, Alex gemas mencubit ujung hidung Rara. "Jangan ngambek terus. Dahhh ... aku berangkat. Akan aku beritahu pada Bibi Ann untuk membuatkanmu jus dan makanan sehat untuk nanti siang."
****