Setelah kepergian Alex, Rara bangun dari posisi berbaringnya dengan wajah sudah memberengut kesal. Dia memukul kasur dengan kedua tangan yang terkepal erat sambil berdecak. "Sial! Kenapa sih perlakuan kamu selalu buat aku salah dalam mengartikannya? Kamu begitu perhatian padaku, apa aku salah juga begitu mencintaimu?" tanyanya pada angin, tidak ada yang menyahut tetapi kesunyian itu mampu meluruhkan air matanya. "Apa aku salah mencintai kamu? Kamu yang bikin aku nyaman, kamu yang bikin aku nggak bisa lepas. Kalau kamu nggak cinta aku, kenapa perhatian kamu begini? Semua membingungkan. Kita bersama layaknya sepasang kekasih, nyatanya kamu hanya menganggap aku ade terus. Apa menurut kamu aku nggak sakit hati?" Sekali lagi, dia bertanya. Kini dengan sebuah foto yang baru saja dia ambil dari dalam laci nakas. Alex dan Rara yang sedang tersenyum lebar di tengah lapangan basket, gambar itu di ambil lima tahun yang lalu.
"Inilah yang membuat duniaku terasa kacau, aku mencintai kamu yang tidak mencintaiku. Aku mencintai kamu Alex, tapi nyatanya ... aku selalu berada di posisi kegagalan." Seperti inilah luka yang paling menyakitkan, sulit sembuh, tetapi banyak orang yang terperangkap oleh rasa cinta itu. Orang berlomba-lomba ingin memulainya, tapi ketika kenyataan tak sesuai harapan keluhan seolah Tuhan tak Adil mulai merajalela. Seolah Tuhanlah yang paling jahat telah membuat skenario percintaan mereka yang amat rumit. Padahal sebenarnya yang memulai liku ini, luka ini, kehancuran ini ... adalah diri sendiri.
Rara melipat kakinya, membenamkan kepala di lutut dengan keadaan memeluk erat. Dia begitu kacau, menangis adalah jalan ninja untuk membuat perasaan lebih tenang dan penuh kelegaan. Sesak di dadanya tak tertahankan sejak kemarin sore, begitu menyakitkan rasanya hingga dia tidak bisa berpikir jernih walau sebentar. Rara tahu jika dirinya sangat egois sekarang, mana mungkin bisa dia melarang seorang Alex tidak bersama dengan cewek lain. Memangnya dia siapa? Hanya sebatas adik, lagi-lagi seorang adik. Ternyata, sepilu ini kisah rasa yang dia tahu tak main-main selama lima tahun belakangan, sungguh membuatnya kesakitan.
"Nona Rara," panggil Bibi An sambil mengetuk pintu.
Rara mendongakkan kepala, menatap ke arah pintu. "Buka aja, Bi An, pintunya nggak di kunci."
Bibi An kemudian masuk ke dalam, sedikit kaget melihat keadaan Rara dengan jejak air mata yang masih terlihat jelas pada kedua pipi. "Nona Rara, kenapa menangis, Sayang?" tanya Bibi An yang sudah menganggap Rara sebagai putrinya, wanita berusia 50 tahun itu begitu menyayangi Rara. Ucapannya yang selalu lemah lembut membuat Rara semakin nyaman untuk berbagi cerita, selain kepada Julia--ibunya.
Bibi An dapat menduganya jika tangis itu lagi-lagi soal Alex. Tapi tidak salahnya mencoba mencairkan suasana dengan sebuah pertanyaan terlebih dahulu. Tangannya dengan hangat mengusap jejak air mata Rara. "Tidak perlu menangis, Nona. Semua akan baik-baik saja. Jika Den Alex memang yang tepat untuk Nona di masa depan, Tuhan akan menyiapkan rencana yang lebih indah."
Rara mendekat pada Bibi An, memeluk wanita itu dan menangis lagi. "Tapi Bibi An, dia sekarang makin serius dengan Syeila. Mereka bahkan tidak segan menghabiskan waktu berdua di apartemen Alex, siang maupun malam. Gimana aku bisa yakin apa yang mereka lakukan baik, sementara keduanya adalah orang dewasa. Ak-aku melihat mereka ... aku kalah, mereka sudah melangkah semakin jauh."
Bibi An menarik napas, dia mengusap puncak kepala Rara sembari mendengarkan gadis itu menceritakan perihal kemarin sore. Rara tidak mengatakan secara langsung jika dia melihat Alex dan Syeila berhubungan intim, tetapi mungkin meski begitu Bibi An paham ke mana arah pembicaraannya.
"Kita hanya bisa meminta kepada Tuhan untuk semua yang terjadi. Jangan putus asa secepat ini, Nona, karena masih panjang perjalanan menuju kehidupan yang lebih baik. Mending Nona Rara pikirkan bagaiman cita-cita yang diimpikan, caranya membanggakan kedua orang tua yang begitu menyayangi Nona tanpa batas dan tidak akan habis sampai kapan pun. Jika Nona sudah meraih semua itu sembari memperbaiki diri, Tuhan akan hadirkan lelaki yang tepat menurut Dia. Percayalah, semua akan adil jika apa yang Nona lakukan sesuai dengan perintah Tuhan."
Rara mendongak, menatap Bibi An dalam dan mencoba membuka mata untuk mencerna semua ucapan wanita itu. Air mata kembali mengalir, bukan ... bukan soal kepedihan lagi. Tapi dia seolah tersihir dengan kalimat penuh makna Bibi An, banyak tersimpan dukungan di dalamnya. "Sehat selalu Bibi An biar bisa temani aku lebih banyak waktu, aku menyayangi Bibi An. Terima kasih selalu memberikan saran terbaik, selalu bisa membuka mata hati aku. Aku bersyukur karena Tuhan masih beri aku kesempatan di kelilingi orang yang tulus. Papi, Mami, Bibi An, keluarga Alex dan semua yang kukenal selama ini."
Bibi An mengangguk. Dia menangkup wajah Rara, mengusap sisa air mata. "Sudah ya, cukup sedih-sedihannya. Sayang banget air mata ini dibuang secara sia-sia, bikin kecantikan Nona Rara berkurang sedikit." Kemudian mencolek ujung hidungnya, gemas.
Rara tertawa kecil, dia mengulas senyum lebar yang terlihat begitu manis. "Siap, Bibi An. Mungkin hari ini aku berjanji untuk nggak nangis lagi, tapi untuk besok dan seterusnya nggak bisa. Karena aku biasanya semakin sesak dadanya kalau nggak nangis." Diiringi dengan kekehan tanpa dosanya. "Cemen banget ya Bibi An, aku nangis cuman karena seorang lelaki. Aku terlalu menyayanginya, Bibi An. Entah kenapa." Hanya senyuman tipis sebagai penutup ucapannya, Rara memberikan tatapan yang mengartikan jika perasaannya begitu tulus tanpa alasan omong kosong. Ada banyak luka yang dia terima, tetapi tetap saja tidak mengurasi rasa yang sudah terlanjur tumbuh selama ini. Rara bahkan yakin tidak ada wanita di luar sana yang benar-benar bisa mengalahkan rasa cintanya--kecuali Arabelle dan Alya.
Bibi An memperbaiki tatanan rambut Rara. "Sudah, cukup ya nangisnya. Sekarang Nona Rara istirahat, Bibi ke sini untuk mengambil pakaian kotor." Rara mengangguk, dia juga merasakan jika mulai mengantuk mungkin efek obat yang dia minum tadi.
"Baik, Bibi An. Aku juga rasa mulai ngantuk, aku lelah banget rasanya. Semua anggota badan aku terasa mau lepas, aku terlalu memikirkan semua hal hingga tanpa sadar membuat beban semakin besar hingga sulit keluar dari zona itu sendiri." Rara menghela napas dengan kepala tertunduk lemas, sekarang lelah itu mulai dia rasakan setelah semua tenang.
Bibi An mengangguk. "Istirahatlah. Nanti jika bangun semua sudah lebih baik, akan Bibi buatkan makanan enak kesukaan Nona Rara. Tidurlah."
"Baik, Bibi An. Sekali lagi terima kasih banyak."
"Sama-sama, Sayang. Oh iya, mungkin nanti sore Nyonya Julia datang katanya ingin melihat keadaan Nona. Segeralah membaik agar tidak ada yang tahu soal kesedihan ini, Nona kan gadis yang ceria. Semangat dong!" Bibi An kembali memberikan semangt dan dorongan agar Rara tidak cepat menyerah oleh semua rasa sakitnya.
"Siap! Aku janji akan lebih baik ketika bangun nanti, aku baik-baik aja."
Bibi An mengusap pipi Rara. "Gadis yang begitu membanggakan, semoga Tuhan selalu melindungi dan memberikan cinta kepada Nona Rara. Tuhan memberkati!"
Keduanya kembali berpelukan sebelum akhirnya Bibi An meninggalkan kamar Rara yang sudah waktunya beristirahat. Meninggalkan jejak luka sebelumnya dalam dunia mimpi, kemudian menggapai masa yang membuat perasaan lebih baik.
****
Sekitar jam empat sore, Julia menyambangi apartemen Rara dengan membawakan banyak makanan kesukaan gadis itu. Menjadi sosok seorang ibu membuatnya banyak belajar lagi agar selalu menjadi panutan terbaik. Seperti saat sedang bertengkar dengan sang suami--Remon, biasanya selalu di ruang tertutup yang tidak akan terdengar oleh siapa pun termasuk anak-anaknya. Meski sedang marahan atau tidak bertegur sapa saat berduaan, namun di ruang makan Julia maupun Remon tetap menunjukkan jika hubungan mereka baik-baik saja. Sebab menurut keduanya perkelahian orang tua dapat berdampak buruk untuk anak-anak.
"Sore, Bibi An. Tumben ruang tengah sepi, Rara masih di dalam kamar?" tanya Julia ketika memasuki apartemen Rara yang terbilang elit dengan segala peralatan rumah bernilai fantastis. Membuat siapa saja yang mendiaminya sangat betah dengan fasilitas lengkap, tak kalah dari rumah utama--rumah keluarga Frenzo.
Bibi An tersenyum ramah, dia membungkukkan sedikit badannya sebagai tanda hormat kepada Julia. "Selamat sore, Nyonya. Betul, Nona Rara masih bersiap di kamar. Baru saja saya cek, Nona masih membersihkan diri di kamar mandi. Mungkin sebentar lagi akan turun." Dengan sangat sopan, Bibi An menjawab pertanyaan Julia. Kemudian wanita itu membantu bawaan Julia menuju ruang makan, kemudian melakukan kegiatan bersama di dapur untuk menghidangkan makanan yang dibawakan oleh Julia.
"Sore, Mam." Rara melangkah lebar mendekati Julia yang sedang berada di balik pantry, keduanya saling mencium pipi kanan dan kiri serta berpelukan hangat. "Apa kabar, Mam?" tanyanya masih betah dalam dekapan Julia yang sambil mengusap punggungnya.
Julia tersenyum. Dia mengecup puncak kepala Rara gemas dengan putrinya tersebut. "Anak Mami sudah sebesar ini masih saja kelewat manja begini?" godanya dengan menoel ujung hidung Rara. Senyumnya merekah, sangat senang melihat wajah cantik putrinya. Berpaduan antara dirinya dan Remon, sempurna sekali.
Mata lebar dengan iris hitam pekat itu melebar sempurna mendengar godaan sang ibu. "Mam, jangan kayak gitu. Untung hanya Bibi An yang mendengarnya, coba orang lain ... aku pasti akan malu banget. Aku sudah besar, tapi nggak ada salahnya kan kalau ingin selalu disayang sama wanita paling berarti dalam hidup aku?" Rara mengulum senyum, pipinya tengah berwarna kemerahan.
Rara memang sangat senang bermanja-manja dengan sang ibu, terlebih lagi melihat sikap Julia yang sangat hangat penuh kasih sayang. Tidak pernah Rara mendengar Julia memarahinya penuh murka padahal sejak kecil dia sangat banyam gaya, loncat sana sini membuat kegaduhan sampai tak mengenal yang namanya malu. Julia hanya mengeluarkan jurus andalannya, menegur dengan perkataan paling manis yang pernah Rara dengar, mampu membuatnya tenang dan tersenyum berulang kali. Julia menyuruh Rara mendatanginya ke tempat sunyi--seperti kamar pribadi, taman, tempat bersantai, tidak ada siapapun selain mereka berdua--kemudian mengobrol untuk menelaah kembali sikap Rara yang telah salah. Rara selalu diajarkan bagaimana bersikap yang baik dan benar, tetapi tetap saja kadang lupa. Dia kebablasan, luar biasa bukan?
Julia merangkul Rara, membawa gadis itu menuju ruang makan yang sudah tersedia beberapa makanan di sana. "Iya, iya, Sayang. Mami tahu kamu selalu menyayangi dan pengin disayang. Akan selalu seperti ini, kami mencintai kamu melebihi apa pun yang ada di dunia ini." Tangan kanan penuh jasa itu mengusap rambut lurus Rara.
"Terima kasih banyak, Mam, karena nggak pernah lelah menyayangi aku meski Mami tahu aku masih banyak memiliki kekurangan. Aku bukan anak baik, tapi aku berjanji akan selalu menjadi anak penurut Mami sama Papi."
"Tentu saja, Sayang." Julia mengangguk mantap. "Oh ya, kapan kamu mengecat rambut? Tiga hari lalu Mami ke sini masih berwarna hitam, sekarang udah kecokelatan aja."
Rara menggembungkan pipinya. "Kemarin, Mam. Apa jelek aku warnain begini?" tanyanya, Julia menggeleng cepat.
"Tetap cantik, dan akan selalu seperti itu. Boleh saja mewarnai rambut asal jangan dengan warna mencolok. Kalau begini masih wajar, lebih fresh kelihatannya."
Rara mengangguk semangat. "Siap, Mam. Paling nanti kalau udah bosan aku cat warna hitam lagi. Aku cuman bosan aja kemarin, nggak ada kerjaan jadi aku pergi ke salon sekalian perawatan yang lain."
Julia tersenyum. "Apa tabungan kamu masih cukup, Sayang? Mau Mami transfer lagi buat jajan satu bulan ke depan?"
Rara menggeleng cepat. "Cukup, Mam, cukup banget. Jangan kirim lagi, kebanyakan. Aku malah bingung mau habisinnya gimana, heran sama Mami kok ya baik banget. Nggak takut aku pakai uangnya buat yang macem-macem?" Julia menarik napas, lalu menggeleng pelan. Dia tahu bagaimana putrinya, tidak mungkin seperti itu.
"Cicipi dulu kuenya, Sayang. Mami tadi bawain kamu gado-gado, lagi disiapkan Bibi An." Julia mempersiakan Rara memakan kue gulung yang sudah dia potong-potong tadi sementara Bibi An menyiapkan gado-gado, sate, dan makanan lain sebagai pelengkap. "Mami percaya sama kamu, Sayang, kamu nggak akan macam-macam di luaran sana. Lagi pula kan ada Alex yang bantu Mami memantau pergaulan kamu. Dia selalu lapor apa saja yang kamu kerjakan setiap harinya, aman."
Mendengar nama Alex disebut, kunyahan Rara pada gue kesukaannya terhenti. Apa Alex juga melaporkan kejadian semalam, dia mabuk berat? Bisa mati kalau sampai benar, Rara akan membuat perhitungan pada pria itu.
"Hem ... Alex resek, Mam." Rara menaikkan bahu, tanda tidak minat membicarakan Alex.
"Tumben banget, biasanya selalu semangat kalau sudah berurusan sama Alex. Kalian lagi berantem, Sayang?" Julia bertanya tepat sasaran. Wanita itu menopang dagu, siap mendengarkan cerita Rara jika gadis itu ingim bercerita padanya. Namun sayang, Rara benar-benar sedang tidak minat membicarakan Alex. Takut moodnya menjadi buruk kembali, akan sulit mengembalikannya. Seharian ini, dia seperti bertarung sekuat tenaga demi memperbaiki mood yang telah hancur berkeping-keping sejak kemarin sore.
"Biasalah, Mam. Kalau nggak Rara yang cari gara-gara, ya dia berarti yang cari masalah sama Rara. Kita emang nggak pernah akur lama-lama pasti ada aja bahan dibuat berantem. Heran juga, nggak paham pakai banget aku, Mam. Mohon maklum."
Julia tertawa mendengarnya. "Sampai hapal Mami sama kelakuan kalian berdua. Bersama sejak kecil layaknya kucing dan tikus. Siapa tahu berjodoh kalian." Sambil terkikik geli.
Dibalik tawa Julia, Rara malah merasakan hal sebaliknya. Hatinya kembali patah. Bagaimana bisa mereka berjodoh sementara Alex sudah melangkah ke hal serius dengan Syeila. Bahkan mereka sudah melakukan sesuatu yang membuat ikatan cinta semakin dalam, tragis sekali nasibnya. Benar-benar memuakkan. Dia yang berjuang selama ini meluluhkan hati Alex, malah wanita lain yang memiliki hati dan raganya. Sangat tidak adil!
Sangat benci ketika mengingat sejauh apa hubungan Alex dan Syeila. Memuakkan!
Rara berusaha terhibur dengan godaan Julia, dia tetawa pelan meski terdengar garing. "Ya nggak mungkin lah, Mam. Alex sudah punya calon, kita berdua nggak cocok. Beda pemikiran dan banyak hal lain." Lantas mengangkat bahu. Dia kembali mengambil potongan kue gulung, memasukkan ke dalam mulut hingga penuh kemudian mengunyah cepat. Setiap kunyahan yang terjadi terdapat banyak keresahan.
"Oyakah? Kok Mami liatnya kalau kalian cocok ya, saling melengkapi. Kamu ibarat api, dan Alex ibarat air. Kalian saling membutuhkan satu sama lain." Setelah itu omongan Julia terpotong dengan kedatangan Bibi An, wanita itu menyusun makanan yang sudah dia letakkan dalam piring maupun mangkuk ke atas meja makan.
Bibi An tidak ikut makan, dia izin ke ruang bersih. Ingin membereskan pakaian yang harus segera di setrika dan ditata rapih ke dalam lemari agar tidak ada debu yang menempel. Rara sangat apik, dia suka sekali dengan kebersihan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Dari ruangan pribadi, barang-barang kesayangan, bahkan seisi ruangan apartemen--meskipun kelakuannya seperti anak setan yang tidak kenal aturan.
"Mam, ini gado-gadonya enak banget. Mami bikin sendiri kan?" tebak Rara. Sebenarnya dia berusaha mengalihkan pembicaraan sebelumnya, sangat tidak ingin melanjutkannya.
Julia mengangguk. "Tau aja kamu, Sayang. Gimana ... enak banget rasanya?" Rara mengangguk mantap mengiyakannya. "Enakan mana sama gado-gado Mbok Dina?" Seorang penjual gado-gado langganan keluarga Frenzo, terkenal dengan cita rasa yang khas.
Rara terdiam, nampak berpikir beberapa saat. "Punya Mami, cuman kurang pedas dikit. Kalau soal rasa, terbaik! Mami selalu paling unggul dari siapa pun, aku bangga."
Julia mencubit gemas pipi Rara. "Anak Mami bisa banget ngasih pujiannya. Terima kasih, Sayang. Nanti Mami belajar lagi biar makin makin jago masaknya. Mami senang kalau kamu selalu doyan makanan rumahan, lebih terjamin kesehatannya."
Rara mengangguk, senyum mengembang sempurna dari bibirnya. "Mami juga makan dong, ini enak banget lho. Nih liat, aku udah mau setengah aja habisnya. Bikin nagih, heran deh."
Julia mengiyakannya, dia mengambil seporsi gado-gado lalu memakannya bersama dengan Rara. Keduanya sama-sama lahap, ternyata benar ... cita rasa masakannya juga tak kalah. Julia bangga dengan dirinya sendiri, meski begitu dia tetap harus belajar lagi.
"Nanti kalau ke sini lagi nggak perlu belikan aku baju baru lagi, Mam. Aku sudah punya banyak, takutnya ruang pakaian aku kepenuhan. Bingung mau dikemanain lagi." Rara menggelengkan kepala. Julia senang sekali membelikan dirinya pakaian model terbaru anak jaman sekarang. Tidak peduli Rara suka atau tidak, yang penting jika di matanya bagus maka akan Julia beli. "Mungkin nanti aku akan menyumbangkan sebagian pakaianku ke anak-anak yakin atau anak jalanan kurang beruntung, Mam. Biar kepake, bermanfaat buat mereka dan kita juga."
"Pintarnya anak Mami. Semakin ke sini makin nggak bosen buat Mami kagum. Semoga selalu menjadi anak baik, selalu melangkah di jalan yang benar. Mami panjatkan selalu harap kepada Tuhan semoga kamu selalu dalam lindungan-Nya dan bahagia. Senyum kamu adalah penawar jenuh dan lelah untuk keluarga dan semua orang. Mami bangga punya kamu, Sayang."
Rara memeluk ibunya, mengusap-usap punggung wanita yang sangat dia sayangi tersebut. "Mam, panjang umur ya. Papi dan ade juga. Kalian sangat berarti dalam hidup aku."
Julia mengangguk. "Amin, semoga Tuhan selalu memberkati keluarga kita."
****
Sepulangnya Julia, Rara kembali merasa kesepian. Dia senang tinggal di apartemen begini, membentuknya menjadi pribadi yang mandiri, tapi ada saja kalanya dia merasa sepi karena tidak mendengar teriakan orang-orang rumah. Rara ingin pandai melakukan semua kegiatan sendiri tanpa dicampuri tangan oleh keluarganya, hal ini dapat meningkatkan pola pikir yang baik juga. Sehabis makan tadi, Julia sempat menemani Rara menyiram tanaman di halaman belakang dan menggunting dedaunan yang sudah layu. Keduanya menghabiskan waktu lebih banyak untuk bersenang-senang dan bercerita hal menarik, membuat perasaan tenang.
Sekarang jarum jam sudah menunjuk ke angka tujuh. Rara menyingkap selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, melangkah ke ruang pakaian untuk berganti. Dia akan ke kafe, mungkin jalan-jalan sebentar akan membuatnya lebih baik.
Hanya mengenakan celana jeans dan kaos. Gadis itu melangkah ke arah meja rias, menggerai rambut indah panjangnya, kemudian menambahkan sedikit polesan pada wajahnya agar tidak terlihat memucat. Dia masih sakit sebenarnya, tapi sangat bosan jika di rumah terus.
Rara mengambil sepatu putih dengan merk ternama kesayangannya, sepatu itu dibelikan oleh Remon saat dia melakukan pekerjaan di luar negeri. Selain modelnya yang bagus, Rara sangat nyaman mengenakannya.
Tidak terlalu ribet dengan pakaian, Rara segera beranjak meninggalkan kamar. Dia harus menghurup udara luar agar cepat sembuh, ya itu adalah alasan yang tepat untuknya bepergian disaat kondisi tidak begitu bersahabat. "Bibi An, Rara pergi keluar sebentar ya. Mau ke kafe seperti biasa, mungkin akan kembali jam sepuluh," pamitnya setelah menuruni tangga. Dia melangkah lebar menuju pintu utama, namun gagal setelah ada tangan besar yang sedang mencekal pergelangannya. "Lepas! Kapan kamu datang, kayak maling aja keluar masuk tempat orang tanpa izin!" Rara memicingkan mata, pria dengan postur tinggi menjulang itu berdiri di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan si resek Alsen?
"Kamu mau ke mana? Tidak melihat ini sudah malam?" Bukannya menjawab pertanyaan Rara barusan, Alex malah menghadiahi dengan pertanyaan balik. Kebiasaan sekali pria itu, senang mengabaikan pertanyaan dari orang-orang. Jika menurutnya tidak penting, maka jangan harap mulutnya akan bergerak untuk memberikan jawaban. Mengesalkan memang, tapi itulah sosok Alex.
"Kamu kira aku buta?" Rara menyentak tajam, dia melepaskan cekalan Alex. "Sudah, aku mau pergi. Terserah kamu mau apa di sini."
Tidak, Rara belum berhasil melangkahkan kaki tangan Alex lebih dahulu menghalanginya. Kali ini bukan cekalan, melainkan lingkaran lengan pada perut Rara. Alex memeluknya dari belakang, tubuh mereka sekarang dalam keadaan yang benar-benar dekat. Hal ini mau tidak mau mampu membuat Rara diam di tempat seperti patung dengan kepala tertunduk sedih. "Aku cuman mau ke kafe, cari angin. Puas sekarang?"
"Kenapa repot-repot nyari angin ke kafe? Nggak sekalian ke London aja biar nggak nanggung jauhnya?" Alex menyindir tajam, dia membalik tubuh Rara untuk menghadap kepadanya, meminta gadis itu menatap tepat pada matanya. "Kamu lagi nggak sehat, jangan mengada-ngada pengin keluar. Bukannya sembuh yang ada kamu bakal lambat pulih. Banyakin istirahat, jangan banyak berpikiran. Udah, gitu doang padahal. Cuman kamu aja yang banyak gaya, ngeyel kalau dibilangin." Alex menghujami banyak nasihat kepada Rara.
Rara kehabisan kata-kata, dia mendesah kecewa karena kalah berdebat dengan Alex. Tidak ada pilihan, dia melangkah malas menuju ruang keluarga. Melempar tasnya sembarang tempat, menjatuhkan diri di sana tak kalah mengenaskan. Seperti orang yang benar-benar hilang arah. "Oke aku nggak bakal keluar, tapi kamu pulang."
Alex berdiri sambil berkacak pinggang, kepalanya menggeleng-geleng heran. "Aku akan tetap di sini, sampai kamu benar-benar tertidur dengan nyenyak. Sebelum istirahat, isi perut dulu kemudian minum vitamin. Di dapur, ada salad buah kesukaan kamu dengan toping full keju, pizza, sama banyak minuman lain aku taruh dalam kulkas."
"Nggak, aku nggak mau makan apa pun. Aku kenyang."
"Jangan terlalu keras kepala Rara anak Paman Remon Frenzo! Jangan buat aku emosi ya, dikhawatirin kok malah kayak minta ditampol ... nggak nahan sama kelakuan kamu."
Rara mendengkus. Dia memukul sofa dengan tangan terkepal, tanda jika dia melawan ucapan Alex. Rara masih kesal, tentu saja.
"Bibi An ... tolong ambilkan salad buah yng tadi. Biar di makan habis sama Rara. Anak ini harus diberi banyak makanan biar kenyang terus tidur sampai besok pagi." Alex memanggil Bibi An untuk meminta wanita itu mengambilkan salad yang sudah Alex persiapkan. Dia membeli dua wadah jumbo, keduanya berisi full buah dan keju. Tentu saja berbeda dari pesanan yang lain, salad buah pesanan Alex harganya lebih mahal. Sebenarnya Alex bisa membuat salad, hanya saja tidak ada waktu. Hari ini dia sibuk mengurus kerjaan dan mengantar Syeila ke Bandara untuk melakukan perjalanan luar kota mengurus pekerjaannya sebagai seorang desainer muda yang sangat berbakat.
Tidak lama, dengan kecepatan kilat dan super penurut kepada Alex, Bibi An datang membawakan salad buah beserta minuman untuk keduanya. "Silakan, Nona, Den. Bibi permisi kembali ke dapur, jika butuh sesuatu panggil saja." Lantas beranjak kembali ke dapur menyelesaikan sisa pekerjaan yang sempat tertunda.
Alex menyandarkan punggungnya pada kepala sofa. Kaki kanan dia angkat, menumpukan pada lutut sebelah kiri dengan kedua tangan menyilang di depan d**a. Sorot matanya tajam menatap Rara yang masih diam tidak sama sekali melakukan pergerakan mengambil wadah salad buahnya. "Menunggu apalagi, Rara? Inu salad buah kesukaan kamu, aku belikan kayak biasanya. Makanlah, aku tahu kamu sangat menyukainya."
Rara berdecih. "Kamu nyebelin!" Meski menggerutu kesal, dia tetap mengambil wadah saladnya. Sungguh, dalam keadaan marah pun dia tak bisa menolak salad buah yang luar biasa nikmat tersebut. Tanpa peduli dan pikir panjang soal tatapan Alex padanya, Rara memakan lahap salad itu.
"Marah ya, tapi makannya tetap lahap." Alex tersenyum miring sambil menggelengkan kepala. Heran saja, Rara begitu menguji kesabarannya.
Tidak menjawab, Rara hanya memberikan balasan dengan mendengkus. Resek sekali mimik wajahnya, lalu gadis itu mengubah posisi duduknya menyamping. Enggan berhadapan apalagi bersitatap dengan Alex.
Sambil menonton telivisi yang sedang menyiarkan acara lumayan menarik, tidak terasa sewadah salad buah jumbo sisa setengah bagian. Rara sangat cepat memakannya, napsunya benar-benar meningkat. Penjualnya sangat paham bagaimana kesukaan Rara, dia memberikan banyak keju dan potongan buahnya tidak terlalu kecil atau besar.
"Besok kamu ada jadwal latihan biola jam sembilan pagi, bangunlah lebih awal." Alex mengingatkan jadwal Rara. Dia sangat hapal dan tahu apa saja yang setiap harinya Rara lakukan, persis seperti orang tua kepada anaknya.
"Aku malas, minggu depan aja." Rara menaikkan bahu, tidak peduli dengan latihan itu. Moodnya sedang buruk, konsentrasinya akan terbang ke mana-mana.
"Jangan mengada-ngada! Berangkat latihan, aku akan mengantar kamu nanti." Alex menggertakkan gigi, rahangnya mengetat. Rara mencibir. "Sejak kapan kamu malas latihan? Jangan jadikan kesedihan kamu sebagai penghambat meraih cita-cita. Ayaa pasti akan sedih jika tahu kamu seperti ini, kamu akan menerima tatapan kecewa darinya."
Mata Rara menyipit, dia menoleh pada Alex beberapa saat. "Jika Ayaa tahu maka dalang dari semuanya adalah kamu! Jangan adukan pada Ayaa, maka dia tidak akan tahu."
"Begitu? Bagaimana jika guru musikmu yang menghubungi Ayaa, mengatakan secara langsung jika kamu akhir-akhir ini sudah malas berlatih." Alex menaikkan alis, dia selalu menang dalam berdebat. Wajah pria itu datar, namun sorot matanya penuh keseriusan--tidak main-main sama sekali.
Entah kenapa, ucapan Alex selalu memenjarakan Rara. Dia selalu kehabisan kata-kata, lagi lagi kalah. Sial!
"Ya, baiklah. Aku akan latihan besok, tapi nggak mau diantar sama kamu. Aku bisa pergi sendiri, tangan dan kakiku masih lengkap. Aku bukan anak manja yang bila mau ke mana-mana harus diantar dulu. Aku bisa jaga diri."
"Ck! Sok banyak gaya. Paling jika aku tidak ke sini setiap pagi kamu akan selalu bangun kesiangan. Terlambat melakukan segala macam kegiatan."
"Aku sudah besar, nanti juga bisa berlatih bangun lebih awal. Semua akan terbiasa, liat aja."
Alex menggeleng heran. "Besar ya, tapi masih saja sering merajuk dan marah tanpa sebab yang jelas."
"Terserah aku dong, itu hak aku!"
"Ya sudah, makan saja yang benar. Kamu semakin lama ucapannya makin gak ada benernya. Asal-asalan kalau ngomong."
Rara memutar bola matanya malas. Sewadah salad buah sudah berhasil dia habiskan dengan baik. Rara tersenyum singkat, moodnya sedikit lebih baik. "Aku sudang kenyang." Kemudian akan beranjak dari tempat duduknya, Alex segera mencegah.
"Mau ke mana lagi?"
"Nggak ke mana-mana, aku mau ke dapur bikin teh. Mau nyantai sebentar sambil nyari angin di halaman samping." Tidak peduli Alex akan menghalanginya lagi, Rara lebih dulu melenggang pergi begitu saja. Dasar gadis tidak ada akhlak!
Alex mengikuti langkahan Rara, lalu menarik salah satu kursi bar dapur. "Buatkan teh untukku sekalian. Aku akan menemani kamu bercerita atau hanya sekadar melihat bintang bersama.
"Enggak! Pulang aja sana, kamu kan besok kerja. Kayak nggak ada kerjaan aja nemenin aku setiap hari. Sungguh, aku bosan melihat wajahmu." Bohong, yang benar adalah Rara tidak bisa membentangkan jarak dengan Alex. Bulan lalu, Alex pergi ke luar kota mengurus pekerjaan cuman tiga hari tapi rindu sudah sebesar lautan saja. Konyol kedengarannya, tapi sungguh nyata.
"Paman Remon--"
Rara mengangkat tangannya. "Paman Remon sudah menitipkan kamu ke aku, memberikan kepercayaan besar agar aku bisa menjaga kamu sebaik mungkin." Rara melanjutkan dengan lancar. Seperti itulah kalimat yang selalu Alex ucapkan pada Rara, mengulangi pesan Remon yang meminta menjaga putrinya. "Itukan yang mau kamu ucapin? Aku sudah hapal dengan baik, sudah di luar kepala."
"Baguslah kalau kamu mengerti dan hapal. Bisa kamu ingat saat berniat mengusirku seperti tadi. Kamu tahu itu sangat mengesalkan, untung aku bisa mengontrol emosi." Alex menarik napas. "Aku buat aku lelah akhir-akhir ini. Berhenti membuat ulah. Oke? Jadilah adik yang manis seperti sebelumnya, aku akan lebih mudah merangkulmu."
Rara mencibir. "Terserah, sebahagianya kamu aja. Aku nggak peduli!"
Alex geleng-geleng, dia lebih memilih diam sambil memerhatikan setiap gerakan Rara membuat teh untuk mereka berdua. Seberapa keras Rara menolak agar Alex menjauh darinya, semakin banyak cara yang bermunculan agar keduanya nempel terus. Alex sudah berjanji akan melindungi Rara, dia tidak bisa membiarkan gadis itu sendirian apalagi berada dalan bahaya. Dia sangat tahu Rara, gadis itu sangat nekat. Tidak bisa diduga dan selalu berhasil membuat Alex hampir terkena serangan jantung mendadak. Kelakuannya ... sangat memusingkan!
Untung Alex sayang.
****