PART. 9 I HATE YOU

1621 Words
Malam ketiga mereka di Pulau Seribu adalah malam tahun baru. Winda, dan teman-temannya beserta Dimas merayakan tahun baru bersama orang-orang yang ada di sana. Winda sangat larut dalam kegembiraan, Dimas hanya mengamati saja keriangannya dari kejauhan. Jam dipergelangan tangan Dimas sudah menunjukan pukul 02.12 dinihari. 'Tapi biarlah malam ini jadi milik Winda,' batin Dimas. Karena Dimas sudah berpesan pada Winda, agar jangan bertindak diluar batas, dan Winda sudah berjanji mengingat pesan Dimas, jadi Dimas tidak terlalu cemas meski Winda tidak terlihat oleh pandangannya. Tanpa sepengetahuan Dimas, Winda menatap Dimas dari kejauhan, dilihatnya Dimas duduk ditemani beberapa wanita cantik di sekitarnya. Wajah Winda langsung cemberut. Ia berjalan cepat kembali ke cottage sendirian, tapi Winda lupa dia tidak memegang kunci cottage, akhirnya dengan bibir manyun ia mendekati Dimas. "Mana kunci cottage, Winda ngantuk mau tidur" tangannya ditadahkan kepada Dimas. Dimas sangat terkejut melihat kehadiran Winda yang tiba-tiba. "Winda sudah mengantuk, ayo kita ke cottage sama-sama." "Enggak usah, Winda bisa ke sana sendiri, Daddy di sini saja sama teman-teman Daddy!" ketusnya. Dimas berdiri, ia merogoh kunci dari saku celana pendeknya. "Benar enggak apa-apa pergi sendiri?" Tanya Dimas. "Iya! Sini kuncinya, cepat!" Winda menghentakkan kakinya kesal. "Winda kenapa sih, lagi berantem sama Boy ya?" "Aaahhhh tahu ah, enggak jadi aja kuncinya!" Winda berbalik pergi, setelah melempar pandangan sinis pada wanita-wanita di dekat Dimas. Dimas langsung pamit pergi kepada teman-teman barunya, ia berlari menyusul Winda. "Winda! Tunggu" Panggil Dimas. Tapi Winda malah berlari menghindari Dimas, menjauhi tempat di mana dipusatkan perayaan tahun baru. "Winda!" Panggil Dimas, digapai tangan Winda, Winda menarik tangan Dimas, Dimas yang tidak siap menjadi jatuh tersungkur ke atas pasir pantai. Winda berbaring di atas punggung Dimas. "Di sini sepi," bisiknya. "Turun dari punggungku, Winda!" Perintah Dimas. "Takut kepergok ya?" Tanyanya menggoda. Winda berlari mengambil ranting, lalu menggambar bentuk hati di atas pasir pantai dengan diterangi cahaya bulan. "Daddy bikin api unggun dong, biar kita nongkrong dan menghabiskan malam di sini," rayu Winda. "Ayolah, bantu mencari ranting keringnya ya." "Oke!" Winda mengacungkan dua jempolnya. Setelah ranting terkumpul, dan jadi api unggun di tengah gambar hati yang dibuat Winda, mereka duduk berdua di dekat api unggun yang menari-nari diterpa angin pantai. Punggung Winda bersandar di dadanya Dimas, lengan Dimas melingkari tubuh Winda. "Kita seperti orang pacaran ya," katanya pelan. Dimas tertawa pelan. "Kita sudah menikah Winda," sahut Dimas. "Oh iya lupa hehehe ...." Keheningan tercipta di antara mereka, hanya debur ombak yang terdengar. Winda merapatkan tangan Dimas ke dadanya. Wajahnya mendongak. "Daddy ...." panggilnya dengan suara mendesah. "Hmm" "Dingin" Dimas membuka kemejanya, dipakaikan ke bahu Winda, dipeluk erat tubuh Winda. Winda memutar tubuh jadi duduk miring di depan Dimas. Dilingkarkan satu tangan di leher Dimas. Matanya intens menatap bibir Dimas. "Daddy!" "Hmmm" "Dirga marah nggak ya kalau tahu Winda sudah jadi Ibu tirinya?" "Aku tidak tahu Winda" "Kalau Dirga marah, apa Daddy akan usir Winda dari rumah?" "kenapa Winda berpikir seperti itu?" "Dirga anak tunggal Daddy, pasti Daddy lebih memilih Dirga dari pada Winda" kecemasan terdengar nyata dari suara Winda. Dimas menarik nafas dalam, Winda benar, Dirga anak satu-satunya, ia sangat menyayangi Dirga. "Daddy bingung mau jawab apa? Harusnya Winda sadar, kalau Daddy tidak akan pernah bisa Winda miliki. Sebagai Ayah, cinta Daddy milik Dirga. Sebagai pria, cinta Daddy milik Tante Calista, meskipun Daddy sudah nikah dengan Winda. Winda sudah seperti benalu dalam kehidupan Daddy, Winda janji setelah lulus, Winda akan belajar mandiri, Winda akan cari kerja, jadi begitu Dirga pulang, atau Daddy menikahi Tante Calista, Winda bisa pergi dari rumah, dan pergi dari kehidupan Daddy, Win ... hmpppppp ...." Bibir Dimas membungkam celoteh Winda yang seperti tidak ada akhirnya. "Winda akan tetap tinggal bersamaku, meski Dirga tidak suka, dan soal Calista, dia akan segera menikah dengan bule Jerman" "Haah benar? Kenapa di lepas tante Calista, dia baik.!" Winda menatap wajah Dimas tidak percaya. "Entahlah, yang pasti dia bukan jodohku, iyakan? Dan Winda mungkin saja jadi jodohku selamanya," jawab Dimas. "Apa itu harapan Daddy, atau hanya basa basi?" Pertanyaan Winda membuat Dimas menundukkan kepala untuk menatap Winda. 'Bisa serius juga ternyata bocah m***m ini' batin Dimas. "Apakah itu juga harapan Winda?" Tanya Dimas balik. "Daddy ditanya malah balik tanya. Kita balik ke cottage yuk, Winda ngantuk" "Ayolah!" "Gendong ala drakor style ya." "Eeh bagaimana itu?" Tanya Dimas bingung. "Aah Daddy kudet nih" "Nah kudet apaan lagi?" "Isshh dasar orang tua nggak gaul" gerutu Winda. Dimas tertawa mendengar gerutu Winda. Akhirnya mereka kembali ke cottage dengan Winda digendong di punggung Dimas. Sampai di cottage ternyata Winda sudah tertidur. Setelah meletakan Winda di atas ranjang, Dimas melepaskan semua penutup tubuh Winda lalu menyeka tubuh polos Winda dengan handuk kecil yang dibasahi. Gunung kembar Winda sungguh menggoda hatinya. Dirayu pelan puncak gunung kembar Winda. "Daddy" "Winda" "Daddy mau grepein Winda ya?" "Enggak aku cuma menyeka badan Winda" "Winda ngantuk banget." "Kalau ngantuk tidurlah" "Peluk Winda dong." "Aku bantu pasang baju Winda dulu ya!" "Enggak usah pakai baju," gumam Winda semakin pelan. Dimas menarik selimut menutupi tubuh polos Winda sebelum ia masuk ke dalam kamar mandi, dan mengguyur tubuh di bawah dinginnya air shower, untuk menghalau hasratnya yang mulai timbul. * 2 bulan kemudian Pak Wahid, dan Wildan duduk berhadapan di kantor Pak Wahid. "Wildan anak itu akan segera mencapai usia delapan belas tahun, kamu tahu apa artinya itukan?" tanya Pak Wahid. "Ya, Pah ... Aku tahu diumurnya yang kedelapan belas, dia berhak mengelola keuangannya sendiri dari hasil saham miliknya di perusahaan ini" jawab Wildan. "Jadi menurutmu, apa yang harus kita lakukan, diam saja, dan membiarkan dia menikmati separuh dari harta kekayaan kakekmu, atau kamu punya keinginan lain Wildan?" "Anak itu tidak pantas mendapatkan separuh kekayaan Kakek, aku akan mencari cara halus untuk mendapatkan saham bagiannya, Pah" "Lakukan apa yang ingin kamu lakukan Wildan, karena ini menyangkut masa depan kalian bertiga, kamu mengertikan maksud Papah" "Ya, Pah ... pasti". "Dan ingat, jangan sampai Mamahmu tahu soal ini, karena ia pasti akan menentang habis-habisan apa yang bakal direncanakan" "Ya, Pah" "Papah percaya kalau kamu sangat bisa diandalkan Wildan, jalankan dengan baik semuanya" "Ya Pah" * Winda berguling-guling di atas tempat tidur Dimas, seperti biasa kalau malam ia tanpa mengenakan bra. Winda mengenakan baju tidur baru berwarna merah menyala yang panjangnya hanya setengah paha. Dimas yang sedang di dalam kamar mandi tidak tahu, kalau Winda masuk ke dalam kamarnya. Ponsel Dimas berbunyi pelan, Winda melongok melihat siapa yang memanggil. Matanya melotot seperti hampir copot melihat nama yang tertera di layar ponsel. Diusapnya layar untuk menerima panggilan. "Hallo Daddy!" Sapa suara di seberang sana. Winda diam saja tidak menyahut, ia memasang speaker agar suara di seberang sana terdengar jelas. "Daddy uang yang Daddy kirim sudah Dirga terima, terima kasih ya, Daddy sudah kirimin Dirga uang tiap bulan" Tangan Winda yang memegang ponsel mulai gemetar. Dimas ke luar dari kamar mandi, mata Winda menyorot tajam ke arahnya. Winda menyerahkan ponsel Dimas ke hadapannya. "Daddy! Daddy masih disitu, halo, Daddy!" Dimas mengambil ponsel yang diserahkan Winda. Winda langsung ke luar dari kamar Dimas dengan perasaan terluka. Winda merasa, Dimas, dan Dirga sudah mempermainkan perasaannya. Ayah, dan anak itu sudah menipunya, membohonginya, Winda merasa sangat terluka, karena selama ini ia mengira Dimas sungguh berhati Malaikat, tapi ternyata ia salah. Dimas sudah berbohong, Dimas mengatakan pada Winda, tidak tahu sama sekali akan keberadaan Dirga. Dimas sudah membohonginya, menipunya, dan itu sungguh melukai hatinya. Winda masuk ke dalam kamar tidurnya. Diraih koper kecil miliknya, dibuka pelan lalu diambil pakaian, dan barang yang ia bawa dari rumahnya saat pindah ke rumah Dimas. Meski tidak ada air mata jatuh di pipinya, tapi rasa sakit yang dirasakan sungguh luar biasa. "Winda!" Dimas muncul di ambang pintu, tapi Winda tidak peduli, ia tetap memasukan barang-barang miliknya kedalam koper. Dimas menutup pintu kamar Winda, lalu mendekati Winda, dan merenggut koper itu dari hadapan Winda. "Apa yang kamu lakukan?" Tanya Dimas gusar. Winda tidak menjawab, ia seperti melamun, tangannya masih bergerak mengambil barangnya dari atas meja rias. Dimas menarik tangan Winda, dan membawa Winda ke dalam pelukannya. Winda tidak berusaha berontak, tapi tidak juga bersuara, dan tidak juga merespon pelukan Dimas. "Winda bicaralah." Dimas membawa Winda duduk di atas pangkuannya. Tapi Winda tetap diam, pandangannya kosong. "Winda, maafkan aku" Dimas menangkup wajah Winda dengan kedua telapak tangannya, tapi Winda tetap diam, jiwanya seperti tidak berada di dalam raganya. Dimas tak terasa menitikan air mata. "Winda tolong bicara, Winda boleh memaki , boleh mengumpat, boleh memukul, tapi aku mohon jangan seperti ini" Dimas menggoyang-goyangkan bahu Winda, tapi Winda tetap tidak bersuara, matanya terbuka tapi Dimas tidak bisa melihat apapun lewat mata Winda. Dimas mendekap tubuh Winda erat, air mata mengalir disudut mata Dimas. Ia tidak menyangka, kalau keputusannya yang selama ini menutupi keberadaan Dirga, membuat Winda seperti ini. Dimas mengelus pelan punggung Winda. "Winda, aku mohon maafkan aku. Aku menyesal tidak jujur soal Dirga, tolong maafkan ya, Sayang," bisik Dimas. Winda tetap tidak bereaksi, ia tidak bicara, tidak menangis, tidak bergerak, bahkan napasnya nyaris tidak terdengar. Lama sekali mereka dalam posisi sama. Tiba-tiba Winda bergumam. "I hate you, Daddy!" suara Winda terdengar tajam saat ia mengatakannya. Dimas terkejut mendengar suara Winda yang penuh nada kebencian kepadanya. "Winda boleh benci, tapi aku mohon jangan tinggalkan aku." Dimas merenggangkan pelukan agar bisa melihat wajah Winda. Ternyata mata Winda terpejam, ternyata Winda bicara dalam tidurnya barusan. Dimas merebahkan tubuh Winda ke atas tempat tidur. Ia harus menyusut air mata yang turun di sudut matanya sendiri. Seingatnya, terakhir kali ia menangis sudah lama sekali, dan malam ini ia meneteskan air mata lagi, karena merasa sangat berdosa sudah membuat hati Winda terluka. "I hate you, Daddy! I hate you," gumam Winda dalam tidur. Gigi Winda berbunyi, menandakan menahan amarah di dalam hati. Dimas menundukkan wajah dalam. Ia berbaring di sisi Winda, Dimas berharap saat pagi nanti, saat Winda terbangun, semua akan kembali baik-baik saja seperti semula. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD