Pagi yang cerah dan hangat telah berlalu, Naomi berjalan menelusuri jalanan usai turun dari taksi. Wajahnya terlihat lusuh kelelahan usai berkeliling ke sana-kemari hingga harus mengeluarkan banyak biaya transfortasi.
Naomi kesulitan mencari tempat tinggal yang murah dengan fasilitas yang lengkap seperti apa yang dia inginkan, sudah lebih dari lima apartement yang dia singgahi, sayangnya apa yang Naomi butuhkan membutuhkan biaya uang sewa yang lebih besar.
Jika Naomi mengeluarkan uang yang lebih banyak untuk tempat tinggalnya, dia takut uangnya tidak akan cukup dengan biaya makan dan gaya hidupnya.
Dua koper besar dan ransel yang berat masih harus Naomi tarik dan gendong, gadis itu masih belum memutuskan akan menetap di mana karena masih mengharapkan mendapatkan tempat tinggal yang layak.
Kaki Naomi berjalan terseok-seok mulai merasa pegal, terik panas matahari kian dia rasakan karena kini mulai memasuki jam istirahat para pekerja.
Naomi menahan tangisannya, ini belum sehari penuh, rasanya kini dia mulai merasa putus asa, belum lagi rasa lapar mulai melilit perutnya, rasanya Naomi ingin menyerah dan menelpon ayahnya meminta di jemput.
Susah payah berjalan akhirnya, akhirnya Naomi memilih singgah di salah satu café sekadar memakan sandwich dan roti panggang sambil berselancar di internet mencari-cari apartement lain yang bisa dia lihat.
Naomi sudah memutuskan, jika untuk yang ke enam kalinya dia gagal mendapatkan apartement yang di carinya, Naomi akan menerima tempat tinggal seperti apapun.
Atau mungkin saja, Naomi bisa meminta tolong pada temannya yang memiliki rumah kosong di North Emit.
Setengah jam menghabiskan waktu di café, Naomi kembali melanjutkan perjalanannya menuju arah taman kota, di sekitar tempat itu ada banyak perumahan yang di sewakan, ini akan menjadi pilihan lain yang bagus untuk menjadi tempat tinggalnya sementara waktu.
Rasa malu menguliti Naomi, mata Naomi berkaca-kaca dengan bibir menekan kuat menahan tangisannya, gadis itu tertunduk menyembunyikan wajahnya dari beberapa orang yang melihatnya penuh perhatian, saat ini Naomi benar-benar terlihat seperti pengangguran lama yang kini akan menjadi tunawisma.
Naomi tidak pernah menjalani kehidupan seperti ini, namun dia harus terus bertahan lebih lama lagi untuk menghindar dari segalanya sampai masalah terselesaikan sendiri.
Jauh Naomi melangkah, banyak rumah kosong yang dia lihat, sayangnya kini gadis itu berakhir terduduk di bangku taman karena rumah yang di lihatnya sangat mahal.
Naomi semakin putus asa, dia benar-benar lelah dan mulai menyadari bahwa kabur itu tidak segampang apa yang di pikirkan jika tidak memiliki banyak uang.
Naomi mengusap wajahnya, menyingkirkan beberapa tetes air matanya karena menangis, Naomi sangat kecewa kepada dirinya sendiri karena menjadi gadis yang lemah seperti ini. Untuk mencari tempat tinggal saja Naomi kesulitan, apalagi mencari pekerjaan dan mengatasi masalah-masalah lain yang mungkin nanti menyusul datang.
‘Pantas ayah selalu mengkhawatirkanku, aku tidak bisa melakukan apapun’
Bayangan tubuh seseorang yang meneduhi sebagian tubuh Naomi membuat gadis itu mengusap air matanya lagi dengan terburu-buru.
“Hay,” suara lembut seorang pria terdengar.
Wajah Naomi terangkat, melihat seorang pria muda berjaket hitam dan memakai topi, pria itu tersenyum lebar menunjukan keramahan kepada Naomi agar gadis itu tidak takut dengannya.
“Ada apa?” Tanya Naomi dengan napas tersenggal.
“Sejak tadi aku melihatmu dari sana.” Pria asing itu menunjuk ke arah toko, “Sepertinya kau memiliki masalah dan membutuhkan bantuan. Namaku Jamal.”
Naomi langsung bersedekap, gadis itu ingin curiga, namun dia kembali teringat mengenai riset pencarian fakta-fakta yang dia temukan di internet mengenai kota North Emit. Yaitu, kota dengan peringkat kejahatan paling rendah.
“Siapa namamu?” tanya Jamal.
“Naomi,” jawab Naomi pelan, sedikit lancang gadis itu meneliti penampilan Jamal dari ujung kaki sampai ujung kepala untuk memastikan bahwa Jamal tidak membawa senjata tajam.
“Kau sedang ada masalah?” tanya Jamal lagi.
“Apa urusannya denganmu? Kenapa ingin tahu?” tanya balik Naomi dengan ketus.
Masih dengan senyuman ramahnya Jamal menunjuk ke atas, tepatnya ke jalan penyebrangan yang tidak jauh dari posisi mereka. “Dalam satu tahun ini, sudah ada tiga orang yang duduk di sini dan menangis sepertimu, lalu mereka melompat dari atas sana untuk mengakhiri hidup mereka.”
Bulu kuduk Naomi meremang merasakan ketakutan yang begitu kuat. “Aku kesulitan mencari apartement,” pada akhirnya Naomi memberitahu masalahnya.
“Lalu?”
“Aku butuh apartement murah namun bagus,” jawab Naomi malu.
Jamal bersedekap, meneliti barang bawaan Naomi dan penampilannya yang tidak menunjukan bahwa Naomi adalah gadis biasa.
Jamal pun berkata, “Kebetulan aku tinggal di sini, di apartement Luxury itu” Jamal menunjuk sebuah gedung apartement di sisi pantai.
Mata Naomi berbinar seketika seakan keputus asaannya sirna hanya dengan mendengar jawaban Jamal. Naomi sangat berharap jika melalui orang asing yang baru beberapa menit dia kenal itu, dia mendapatkan tempat tinggal yang di inginkan. “Benarkah? Bagaimana dengan biaya sewanya?” tanya Naomi berantusias.
“Terjangkau, bagus dan nyaman. Kau bisa berkonsultasi terlebih dahulu, jika kau ingin melihat-lihat aku bisa mengantarmu ke sana, kebetulan aku juga akan pulang sekarang.”
Naomi mengangguk penuh semangat, dengan terburu-buru gadis itu segera beranjak. Tanpa curiga dan berpikiran dua kali, Naomi percaya begitu saja dengan kebaikan yang di tawarkan Jamal kepadanya.
Naomi kembali menggendong ranselnya dengan senyuman cerahnya.
“Mau aku bantu?” Jamal mengulurkan tangannya dan tetap tersenyum ramah terlihat begitu hangat dan baik.
“Terima kasih,” Naomi mendorong satu kopernya di berikan kepada Jamal, mereka segera pergi menyusuri jalan, Naomi mengikuti Jamal yang berjalan di depannya.
Kesedihan di mata Naomi hilang, kini gadis itu bisa kembali tersenyum lebar dan berharap besar bahwa bantuan Jamal akan menjadi penyelamatanya di hari ini.
“Kau dari mana? Kenapa terlihat kebingungan di sini?” tanya Jamal.
“Aku kabur dari rumahku dan baru pertama kali ada di kota ini sendirian,” Naomi tertunduk sedih memberitahu semuanya dengan jujur.
“Kau terlihat tidak terbiasa bepergian.”
“Ya, begitulah, biasanya ada pengawalku yang membantu,” cerita Naomi.
Senyuman Jamal melebar, pria itu senang kegirangan karena ternyata gadis yang menjadi targetnya kali ini akan sangat mudah di atasi. Senyuman yang semula terlukis di bibir Jamal perlahan menghilang, pria itu membungkuk mengangkat koper besar Naomi untuk di panggul. Di detik selanjutnya, dengan cepat Jamal berlari kencang meninggalkan Naomi.
Naomi sempat mematung kaget melihat Jamal berlari meninggalkannya.
“Hey! Jamal!” Teriak Naomi menjerit begitu tersadar jika pria asing yang membantunya itu adalah pencuri. “Berhenti Kau! Dasar b******n! Jamal berhenti!” Jeritan Naomi kian keras, dengan bersusah payah gadis itu menarik satu kopenya dan berlari mengejar Jamal yang bergerak kian jauh.
“Tolong! Dia mencuri koperku!”
To Be Continued..