LS part 3 sudah revisi

1505 Words
“Eh, Vay! Lo mau kemana?” Melihat temannya masuk lagi ke dalam sekolah, Tari berteriak memanggil. Vaya yang sudah berlari cuma berteriak, “Lo duluan aja, gue masih ada perlu!” Di sepanjang lorong yang sudah sepi, dia berlari dan baru berhenti seratus meter sebelum perpustakaan. Vaya menunduk dengan kedua tangan di atas lutut, napasnya terengah-engah. Kemudian mendekat ke jendela buat mengintip. Di mejanya yang terletak di pojokan perpustakaan, Emil memeriksa hape Vaya yang ia sita pas jam mata pelajarannya. Dari tampang anak itu yang kelihatannta nggak iklash saat memberikan hape miliknya ke ketua kelas, Emil yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh gadis kecil itu. Paling nggak jauh-jauh dari cinta monyet khas remaja. Ketika membuka aplikasi WA, matanya perlahan mendingin. Emil paling nggak bisa menoleransi anak yang mengabaikan pelajaran demi hal-hal yang nggak berguna. Apalagi pacaran! Emil sedang mempertimbangkan hukuman apa yang harus dia berikan ke Vaya ketika dia menemukan nggak ada aktivitas mencurigakan yang berkaitan dengan hubungan mesra antara cewek dan cowok. Jadi apa? Belum menyerah, Emil kembali menggeser layar, dan menemukan aplikasi bacaan fiksi romance dan membuka salah satu judul dan membacanya secara acak. ‘Aahhhh…berhenti…aku…akan mati.’ Gadis itu berlutut di tempat tidur abu-abu besar, meraih selimut dengan satu tangan, dan ingin mendorong pria yang menidurinya. Tetapi sebelum tangan itu menyentuh, dia kembali ditekan di tempat tidur. Anthony membungkuk dan mendorong pinggulnya dengan kuat. Pria itu menggigit daun telinga wanita muda di bawahnya, dan suaranya rendah seperti cello dengan pesona yang tak terlukiskan, “Aku nggak bisa berhenti, milikmu ketat dan sempit, benar-benar enak.’ Batang k*********a sudah terbenam penuh di dalam surga dunia, tapi dia belum merasa puas dan ingin terus bergerak. “Anthony… Aahhh...” wajah gadis itu memerah, merintih dengan suara bercampur desahan, dan berbalik untuk bertukar posisi dengan pria yang semakin keras menggenjotnya. Anthony tidak mau kenikmatan ini hilang. Dia mencubit pinggang kecil dengan satu tangan, meletakkan satu  tangan kepala kecil di bawahnya dan menekannya kembali ke bantal. Kepala pria itu miring ke belakang, dan gerakan panggulnya yang memompa semakin kencang, tanpa berhenti dia menutup matanya dan berkata dengan suara tertahan, “Tahan, sebentar lagi keluar.” Gadis itu masih memutar dan meronta, posisi tengkurap anjing tidak terlalu dalam. k*********a bukan hanya penuh dengan tingkat daging besar, tetapi juga penuh dengan gelembung udara yang membuatnya kurang nyaman. Tetapi  dia tidak bisa menahan erangan, “Ahhhhh…” Dan Jakun Emil yang menonjol bolak-balik berguling di lehernya ketika membaca bab yang ia pilih sembarangan. Fu*k!!! Ini nggak jauh berbeda dari stensilan yang dulu sering dibaca teman satu kostnya jaman dulu kuliah.   Cover, judul, dan isi semuanya vullgar dan nggak jauh dari dadda dan s**********n. Bisakah cerita ini dijual bebas sekarang ini? Ini dia mainnya kurang jauh atau bagaimana? Ataukah dirinya yang terlalu tua untuk mengikuti perkembangan zaman? Seingatnya jaman SMA dulu, dia dan teman-teman sekelasnya nggak tahu ada bacaan model begini. Paling nakal nonton bokep beramai-ramai, itupun banyak skip adegan karena anak cewek yang sok-sok an mual dan muntah-muntah! Dan sekarang cerita seperti ini dengan gampangnya ditemukan di hape anak SMA. Nggak heran nilainya sangat kacau dan berantakan! Emil menggeser layar lagi, melanjutkan membaca adegan ranjang yang lebih panas dari cerita sebelumnya. Tenggelam dengan bacaannya membuat batang kemaluan di balik celana yang tadinya tidur dengan anteng perlahan mulai menggeliat bangun. ~~~ Bahkan sampai menginjakkan kaki di komplek rumahnya, Vaya masih memiliki wajah yang memerah. Adegan saat Emil mengelus tongkat daging yang membesar masih berputar dalam kepalanya.   Biarpun belakangan ini dia kecanduan membaca cerita dewasa plus-plus, sejujurnya Vaya belum pernah satu kalipun nonton film bokep atau sejenisnya. Bisa dibilang nih ya otak dan daya khayalnya sudah tercemar, tetapi matanya masih suci tanpa dosa. Dan sekalinya berdosa, matanya ini  melihat adegan dalam bentuk live action. Kalau  tadi penjaga sekolah yang memergokinya nggak teriak-teriak, mungkin tadi bakal ada adegan meng- unboxing burung keluar dari sangkarnya karena pengap. Karena  gagal unboxing, sekarang Vaya  jadi penasaran seberapa besar ukuran daging yang tersembunyi di balik kain celana hitam itu.   Segini... Segini... atau segini? Berturut-turut Vaya membuat ukuran mulai kelingking, jempol, dan terakhir kepalan tangan. Dia nggak tahu pastinya seberapa, tapi kayaknya sih lumayan besar. Ketika membayangkan itu dengan cerita yang pernah di bacanya, dia mulai punya pikiran yang bengkok tentang Emil. Oke, dia butuh minuman dingin untuk ngademin pikirannya. Berpikir begitu, gadis kecil itu berhenti depan toko yang menjual minuman dingin untuk menurunkan suhu tubuhnya panas. Rumah Vaya nggak begitu jauh dari sekolahan, sekitar dua puluh menit berjalan kaki.  Sambil menyedot teh  s**u, Vaya berjalan menuju rumahnya. Setelah hampir sampai, dia melihat ada mobil besar yang biasa dipakai untuk orang pindahan terparkir depan halaman rumahnya. Tiga bapak-bapak memindahkan barang dari dalam ke mobil, diawasi oleh ibunnya yang berdiri di teras.     Vaya berlari menghampiri ibunya, “Bund, siapa yang pindahan?” Hannah melirik anaknya, pandangannya jatuh ke tangan Vaya. “Es terossss. Wajar nggak denger omongan orang.” Vaya melongo mendengar jawaban ibunya yang nggak nyambung, “Lah? Apa hubungannya sama es?” “Ya adalah!” omel ibunya, “es bikin pilek, kalau pilek ingusmu nggak cuma nyumbat hidung, kupingmu juga kesumbat. Makanya nggak denger pas bunda bolak balik ngomong.” “Loh, emang ngomong apaan? Siapa yang nggak denger?” “Lupa?” Hannah berdecak, merasa ada yang tidak beres dengan otak anaknya, “Nggak cuma sekali lho, Vay, Bunda bilang kerjaan ayahmu di pindahin ke luar pulau!” Vaya menepuk dahinya, Ahhhh! Kenapa bisa lupa sih. Beta Setia, ayah Vaya kerja di perusahaan alat berat. Termasuk perusahaan internasional lah, gaji, terutama bonusnya gede. Tapi ya gitu, kerjanya sering berpindah-pindah tempat. Kadang di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi. Tergantung perusahaan mau nempatin di mana. Lamanya menetap di satu daerah tuh sekitar satu sampai dua tahun. Jadi yaa gitu deh, Vaya dan keluarganya tinggalnya nomaden. Kebanyakan di kota kecil. Paling lama tuh di Sumatera, Vaya tinggal di daerah Muara Enim  dari kelas enam sampai lulus SMP, pas dia masuk SMA, ayahnya ditarik ke kantor pusat sampai sekarang. Eh, baru tiga tahun menetap di kota besar, sudah mau dipindahin lagi ke Sulawesi. Vaya mengikuti ibunya yang berjalan masuk ke rumah, “Bukannya masih tahun depan ya, Bund?” “Di majuin akhir bulan ini!” “Eh?” gerakannya menarik kaos kaki berhenti, “Kok mendadak banget, kenapa?” “BM yang sekarang ketahuan korupsi. Langsung dipecat, ayahmu langsung di suruh gantiin.” “Yaah, terus sekolahku gimana dong?” Vaya merajuk layaknya anak kecil. Dan tinhkahnya itu dihadiahi tatapan mendelik dari ibunya, seolah-olah dia melakukan hal-hal yang tabu dan terlarang yang bertentangan dengan norma-norma agama. “Emangnya ngaruh sama sekolah kamu?” akhirnya Hannah bersuara, “Mau pindah sekarang kek, besok kek atau tahun depan pun, kamu tetep di sini kan? Nggak ikut sama kami! Gimana sih.” Vaya menjilat bibirnya dan tersenyum cerah, “ Eheheheh, cuma ngetes. Mana tau bunda lupa. Jadi ayah sama bunda berangkat kapan?” Sembari tangannya menuang air, Hannah memberitahu. “Ayahmu sih harus udah ada di sana dua hari lagi. Bunda masih satu atau dua minggu lah.” “Kok nggak bareng aja?” upsss, keceplosan. Sebelum dimarahi ibunya, Vaya segera menambahkan, “Kasihan ‘kan ayah sendirian. Mana tempatnya sepi kan?” Hannah memperhatikan bahwa anaknya serius, dan menjawab, “Mau gimana lagi, bunda mesti ngurus ini itu. Belum lagi masak buat stok lauk kamu di sini.” Vaya yang duduk di depan Hannay memutar poninya  yang agak berantakan dan menjejalkan rambut menganggu itu kebelakang  telinganya, “Ishh bunda nih. Ngapain sih repot-repot nyiapin stok. Jaman sekarang mah gampang, asal ada hape sama duit, tinggal pesen aja.” “Beda dong, Vay. Masakan bunda kan dibuat dengan cinta.” “Alay.” Meskipun dilihat dengan tatapan mencibir oleh anaknya, Hannah tidak marah. Malahan  berkata, “Kamu ikut ke sana aja, Vay. Di sana juga ada sekolah bagus kok.” Vaya segera menolak dengan, “Nggak mau ah. Males banget pindah-pindah lagi, masuk circle baru lagi.” “Tapi kamu di sini sendirian, Vay. Bunda kan jadi khawatir.” “Aku kan udah kelas dua belas, Bun.” Vaya mengingatkan ibunya, “bentar lagi ujian akhir. Tanggung banget pindah sekarang. Mending aku selesain SMA di sini, ntar pas SBMPTN cari di sana.” Mengingat Vaya yang pemalas, dan nilai rata-rata untuk masuk ke perguruan tinggi incarannya, Hannah meragukan kemampuan Vaya, “Kamu yakin bisa tembus di sana?” “Yakin dong.” Sahutnya pede. Vaya  juga janji, selama tinggal sendiri di sini, dia akan lebih rajin belajar biar bisa masuk perguruan tinggi negeri yang ada di kota tempat ayahnya dinas. Tetapi janji tinggal janji. Malam hari waktunya belajar, baru megang buku sebentar saja matanya seperti diganduli batu sepuluh kilo. Berat dan ngantuk. Berguling diatas tempat tidur, Vaya  menyalakan laptop dan menyetel musik biar nggak ngantuk. Ketika dia tidak sengaja melihat buku tugas matematika, sekarang pikiran Vaya bukan pada soal yang susah, tetapi ke seelangkangan pria itu. Vaya menjadi bengkok saat memikirkannya, dan otaknya penuh dengan bayangan plus-plus. Dia harus mencari tahu tentang hal itu sekarang, dan mulai mengetik di kolom pencarian Chrome. “Cara untuk mengetahui seberapa besar ukuran kelamin seorang pria.”                            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD