LS part 2 revisi

1612 Words
“Aaahhhh!!!” Vaya berteriak dan melempar hape nya ke atas meja agak kesal, “pake bersambung lagi!” Seolah-olah sebuah batu jatuh ke dalam air, perhatian kelas yang tadinya fokus pada guru yang lagi menjelaskan rumus di papan tulis segera pindah ke meja belakang, dan menemukan bahwa itu adalah Vaya, dan beberapa seruan tertahan terdengar. “Vay, lo udah gila ya?” Dan setelahnya, Vaya langsung terdiam dengan wajah kaku saat menyadari sedang berada di mana. Ini kelasnya Emil Andreas, guru matematika yang jadi momok di sekolahnya. Emil belum lama mengajar di SMA Global, baru tiga bulan, tapi ganasnya jangan ditanya. Tugas sama PR yang dia kasih termasuk sedikit dibandingkan guru yang lain, tapi buat satu soal, satu tambah satu contohnya,  minimal setiap siswa harus menulis  tiga cara darimana mendapatkan jawaban satu tambah satu itu adalah dua. Satu lagi, pantangan yang nggak tertulis di kelas Emil itu, jangan berisik, jangan lihat selain ke papan tulis selagi dia lagi jelasin soal, dan jangan main hape saat kelas kalau nggak mau diamuk jelmaan roh jahat. Dan sekarang, Vaya melanggar ketiga pantangan itu. Benar saja, gurunya yang masih muda itu membidiknya. Wajahnya gelap, alisnya terkunci rapat, dan suaranya yang berat lebih ditekan dari sebelumnya. Dan teman-teman sekelasnya berbisik, ngomongin kenekatan Vaya dengan suara rendah. “Bawa ke sini hape kamu!” Mampus! Vaya panik karena hapenya mau disita, masalahnya dia belum keluar dari aplikasi novel yang barusan dia baca, mana ceritanya messum banget. Duh, gimana dong? Emil tidak punya kesabaran menghadapi murid yang mengacaukan pelajarannya, apalagi kalau itu siswa yang punya nilai di bawah standarnya, melihat Vaya tidak mematuhinya dia kembali mengeluarkan perintah,“Tunggu apa? Cepat!” Vaya nggak juga bergerak, sebaliknya dia lagi mencari cara untuk menghapus aplikasi novel di hapenya  biar nggak ketahuan. Hapenya kan nggak pakai kunci pelindung, asalkan tangannya bergerak cepat dan internetnya nggak lemot, bisa kali itu sudah terhapus sebelum dia sampai ke  depan meja guru. “Vay, cepetan ih, ntar makin ngamuk lho dia.” Mala menendang bangku Vaya, dan gadis itu segera berdiri. Ketika tangannya terulur untuk mengambil hape yang tergeletak di atas meja, penghapus yang dari tadi tergeletak di sisi papan tulis tiba-tiba punya kekuatan, benda itu melayang  di udara, lalu ada bunyi. “Pop" yang sangat samar, disusul dengan suara keluhan yang keluar dari mulut Vaya, “Aduuhhh.” Vaya mengusap dahinya yang barusan jadi sasaran  tembak, matanya yang membangkang menatap Emil yang berdiri di depan kelas. Dia mau protes,enak saja! Mentang-mentang guru, main lempar jidat orang seenak udelnya, beliin skincare juga nggak!   Belum juga orasinya keluar,dia sudah keduluan sama Emil yang memberi perintah. “Enzy, ambil hape Vaya dan bawa ke sini!” “Baik, Pak.” Nggak usah disuruh dua kali, ketua kelas langsung berdiri menghampiri Vaya, mengambil hape pink di atas meja. Mata bundar gadis itu memberi tatapan mengancam, mulutnya yang mungil bergerak tanpa suara, “Coba aja kalau lo berani, Zy!” Enzy mencibir, matanya seolah ngomong, ‘berani lah timbang sama lo ini. Sama Pak Emil tuh, baru gue takut!’ Dan Vaya hampir menangis  tanpa airmata saat hapenya sudah pindah ke tangan Enzy, dan langsung dia kasih ke Emil. “Ini,Pak.” Emil mengangguk tanpa ekspresi dan menyimpa hape milik Vaya dalam tasnya untuk diperiksa. Malihat hape nya pandah tangan ke orang ketiga, Vaya cuma bisa menjerit dalam hatinya, “Oh, nooo!!! Tamat nih riwat gue!” . Tidak peduli dengan Vaya yang masih berdiri dengan tampang ketakutan kayak maling ketahuan, Emil berbalik ke papan tulis dan berkata tanpa memandangnya. “Keluar dan berdiri di lorong. Kamu nggak diijinkan masuk sampai kelas selesai!” Ini adalah perintah yang nggak bisa dibantah. Vaya mendorong bangkunya dan berjalan keluar melewati pintu dengan sedikit enggan. Ahhh, hari ini  benar-benar sial! Sudah jidatnya benjol, hape disita, masih disetrap pula! Lorong sekolah sepi pas lagi jam pelajaran. Paling cuma guru yang lewat, tetapi tiap kali lewat, semua selalu bertanya dengan pertanyaan yang sama. “yang lain belajar, ngapain kamu malah berdiri diluar? Kelas siapa?” Nggak ngerti lagi deh sama mereka. Yang namanya berdiri diluar sendirian, ya pasti lagi disetrap. Masih juga ditanya ngapain? Capek benar jawabinnya! Setelah seharian berdiri kayak penjaga pintu neraka. Akhirnya bel berdering panjang. Ini adalah pelajaran terakhir, semua siswa sudah nggak sabar buat ngerapiin buku, terus pulang. Vaya juga, dia sudah bolak balik ngintip lewat celah-celah pintu, nungguin kapan Emil keluar. Tapi si kampret itu masih duduk setengah bersandar di meja paling depan dengan kaki menyilang, kedua tangannya terlipat di d**a. Pandangan lurus ke papan tulis, mengawasi siswa yang dari tadi nulis angka dipapan tulis, terus dihapus, nulis lagi, hapus lagi karena nggak yakin dengan jawabannya. Keringat yang mengalir di dahinya sudah segede-gede biji kacang hijau. Yaah,gimana nggak keringetan, ini sudah jam pulang,kelas yang lain sudah pada bubar, pada ketawa-ketawa nggak ada beban. Tetapi yang di dalam kelas ini masih ketahan gara-gara satu orang yang disuruh maju nggak bisa ngerjain soal di papan tulis. Asal tahu saja, Emil ini agak sakit jiwa. Kapan hari tuh Vaya yang di suruh ke depan ngerjain soal statistik, sudah setengah jam nggak bisa, terus bel bunyi pikirnya, yess save by the bell. Dan tahu apa yang dia bilang? “Nggak apa-apa, lanjutin sampai bisa. Waktu luang saya banyak buat nungguin kamu!” Mamposs nggak tuh? Belum lagi mesti ngadepin teman sekelas yang sudah siap ngerujaknya. Perkara dia nggak bisa jawab,anak-anak sekelas yang kena imbas. Vaya sih strong, bisa melawan kalau di-bully sama anak-anak sekelas. Nah, kalau cewek yang sekarang di depan ini? Moon maap,ini anak agak cupu, Bund. Kasihan banget kalau beneran dirujak sama yang lain. Tetapi Vaya dibuat kaget oleh kata-kata Emil sedetik kemudian. “Oke, ini sudah lewat jam pelajaran. Kamu boleh duduk!” pria itu berjalan kembali ke singgasananya di depan kelas. Mata Vaya bergerak ke papan tulis, jawabannya baru setengah jalan, dan tampangnya langsung masam. Dih! Kemarin dia mesti berdiri di depan berjam-jam, gerutu Vaya. Tidak melihat tampang Vaya yang kusut, Emil menulis jawaban yang benar di papan tulis “Kerjakan halaman dua puluh, soal tiga bagian C sampai E buat PR Senin depan! Selamat siang.” Emil  tegas, dan meninggalkan ruang kelas tanpa melihat ke belakang. Begitu dia membuka pintu, Vaya segera mengekori di belakangnya.   Di koridor masih banyak anak-anak yang berlalu lalang. Melihat Vaya megikuti guru yan paling ganteng dan paling killer di sekolah,  sebagian dari mereka melihatya dengan pandangan kepo, Itu membuat Vaya tidak leluasa memanggil Emil untuk meminta ponsel kesayangannya yang ada di tangan pria itu. Tinggi Emil lebih dari seratus tujuh lima dengan sepasang tungkai yang panjang. Vaya yang posturnya kurang dari seratus enam puluh harus lari-lari kecil saat mengikutinya. Berbeda dengan guru senior yang ruangannya menjadi satu di lantai pertama gedung utama, Emil yang masih muda dan dianggap junior di tempatkan di gedung sebelah yang jadi satu dengan perpustakaan lama yang lebih mirip gudang. Di sana,  Emil berbagi tempat dengan guru PenJas dan guru PPL. Karena guru PenJas lebih sering berada di gedung olahraga, dan belum ada guru PPL, secara otomatis Emil lah yang menjadi penguasa tempat ini. Semakin jauh mereka berjalan ke gedung sebelah, semakin sedikit murid atau guru yang lewat. Vaya menggunakan kesempatan ini.  “Pak Emil.” Dia memanggil, dan yang mengejutkan adalah, Emil berhenti. Vaya mempercepat langkahnya, memasang senyum lemah dan tidak berdaya. “Hape saya—“ Baru juga dia ngomong satu kata, Emil langsung memberondongnya dengan perintah. “Tulisan ulasan sebanyak lima puluh ribu kata kenapa kamu lebih memilih main hape daripada memperhatikan pelajaran saya!” Glek! Ekspresi Vaya seperti menelan lalat, yakali dia nulis alasannya begini, saya main hape karena baca cerita ena-ena yang lebih menarik dari pelajaran bapak. Bisa-bisa mati dirajam dia. “Bisa yang lain aja nggak, Pak? Lari lima keliing, mungut sampah, atau apa gitu kek. Asal nggak bersihin WC atau nulis ulasan. Lima puluh ribu kata banyak banget lho, Pak.” Mencoba untuk bernegoisasi, Vaya mengikuti Emil sampai depan pintu perpustakaan. Tetapi Emil bukan tipe orang yang lunak yang gampang diajak kong kalingkong. Berhenti di depan pintu perpustakaan, Emil sedikit menunduk saat menatap lurus ke Vaya dengan sedikit mengancam, “Kamu punya waktu sampai besok kalau mau hapemu kembali! Kalau sudah jelas, silakan kembali!” Lalu pintu itu tertutup tepat di depan hidungnya. Tari segera menghampirinya begitu temannya balik kelas buat mengambil tasnya. “Gimana?” “Ya gitu deh, mesti nulis ulasan kalau mau hape gue balik.” “Nggak manggil orang tua?” Mendengar pertanyaan itu, Vaya menggeleng. “Tapi masalahnya, gue nggak tau mesti nulis alasan apa?” “Ya lagian lo sih, segala mainan hape. Kita aja hape dimatiin begitu dia masuk, lo malah nekat baca cerita bokep!” Vaya mendorong buku di atas meja ke dalam tas sekolah dan menutupnya dengan erat, “Yeee, lo gimana sih? Kita kan emang mesti banyak baca biar nggak buta literasi.” Tari menatap gadis di depannya dengan tatapan kesal, Biar nggak buta literasi matamu! Orang baca cerita dewasa gitu kok.  “Apaan yang mesti gue tulis?” gadis kecil minta pendapat, “otak gue buntu anjir, yakali gue bilang baca bokep, nyari mati itu sih namanya.” “Ya udah, nggak usah diambil hapenya, daripada lo mat!” Vaya bangun dan menyemprot temannya yang barusan ngasih saran, “Matamu!” Siswi yang tersisa barengan keluar kelas yang sudah kosong, samba berjalan Tari bilang. “Gue rasa pak Emil marah-marah mulu gara-gara kurang asupan vitamin C deh!” “Iya, C oli.” Mendengar celetukan itu yang lain ketawa. “Serius deh, gue rasa p3junya udah jadi odol saking lamanya nggak keluar. Makanya marah-marah mulu.” “Masuk akal sih. Eh tapi dia belum punya cewek kan?” Pada saat ini tiba-tiba Vaya punya pikiran, Bagaimana kalau dia yang bantu Emil? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD