Part 19

1470 Words
Napas ketiganya terengah setelah berhasil mengelabui ketiga pria yang mengejar mereka. Vian, Riko dan Lisa sibuk menenangkan diri setelah maraton sore-sore. Mereka duduk di semak-semak untuk menghindari musuh. Rumput liar yang tumbuh tinggi membuat tempat persembunyian mereka aman dari orang-orang. Vian menepuk pundak Riko, berkat kakak sepupunya membuat jebakan tali sehingga ketiga pria itu jatuh terjungkal. Mereka akhirnya bisa melarikan diri dengan selamat. “Thanks , Bro,” ujar Vian pada Riko. “Iya, sama-sama tapi kalian bisa jangan pelukan gitu?” tanya Riko membuat Vian dan Lisa sadar dengan posisi mereka. Vian merangkul Lisa sedangkan gadis itu memeluk pinggang Vian dari samping. Seketika Vian melepaskan rangkulannya begitu juga dengan Lisa. Keduanya tengah dilanda rasa malu, terlebih pipi Lisa merona. Detak jantungnya semakin menggila saat berada di dekat Vian. “Nah begitukan bagus, yang jomblo gak perlu iri,” sindir Riko. Vian segera berdiri mengawasi situasi yang ada di sekitar. Merasa aman, mereka bertiga pun keluar dari tempat persembunyian dan pulang dengan tubuh letih. *** Gelap menyelimuti langit, tanda-tanda hujan akan segera turun. Lisa membersihkan wajanya dengan air mancur yang mengalir di sumber mata air. Dengan cepat ia membersihkan diri sebelum hari semakin gelap. “Sudah selesai?” tanya Vian saat Lisa naik ke atas tempatnya berada. Letak sumber air berada di bawah sehingga Lisa harus berhati-hati saat naik mau pun turun melewati jalan berbatu. “Saya sudah cantik?” tanya Lisa dengan mata berkedip-kedip. Vian mencoba mengulum senyumnya, Lisa selalu bisa membuatnya mati kutu. Vian menatapnya sembari mengusap dagunya mencoba menilai Lisa dari atas sampai bawah. “Tetap jelek seperti biasa,” kata Vian tanpa rasa bersalah. Pria itu berjalan mendahului Lisa yang tengah menahan kesal. “Yak! Berhenti!” teriak Lisa namun Vian tidak meghirukannya. Lisa mencoba mensejajarkan langkah kakinya namun ia selalu tertinggal di belakang Vian. Selama perjalanan Lisa selalu bertanya banyak hal yang tidak penting pada Vian yang dibalas gumaman tidak jelas dari pria itu. “Jawab Vian, siapa yang memasak untuk kalian?” tanya Lisa. Vian menghentikan langkahnya saat Lisa menyebut nama panggilannya. Pria itu berbalik membuat Lisa mematung di tempat. Lisa tidak lagi memanggil dirinya dengan nama Malin Kundang, tapi Vian. “Apa? Katakan sekali lagi apa yang kau kucapkan baru saja?” Lisa terdiam sebentar menatap Vian aneh. “Siapa yang memasak untuk kalian?” “Bukan, bukan itu tapi sebelumnya.” Lisa mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti apa yang dimaksud Vian. “Apa kamu tidur ngorok?” “Bukan yang itu Lisa,” geram Vian. “Kamu ngupil berapa kali sehari?” “Bukan itu Lisa. Sudahlah tidak perlu dibahas,” balas Vian. Dengan langkah kaki terhentak Vian meninggalkan Lisa yang kebingungan. “Dasar aneh,” kata Lisa, berusaha mengejar Vian yang berada di depannya. *** Riko menatap Ningrum yang sejak tadi mundar mandir tidak jelas di depannya. Gadis itu tengah gelisah menunggu kepulangan Vian yang pergi bersama Lisa. Bau-bau cinta segitiga membuat Riko bergidik ngeri. Terlebih perjanjian antara Vian dan Ningrum tentang pernikahan membuat Riko harus mencari cara mengulur waktu. “Kenapa mereka lama sekali?” tanya Ningrum sembari menggigit jemarinya gelisah. “Mungkin si Lisa sakit perut jadi lama,” kata Riko mengada-ada. Ningrum menatapnya tajam, gadis itu tidak suka mendengar nama Lisa disebut-sebut. Bagaimana pun caranya Vian tidak boleh terpikat dengan gadis bernama Lisa itu. Vian hanya milik Ningrum, batin gadis itu. Derap langkah kaki menyadarkan Ningrum dan Riko akan kehadiran seseorang. Langit sudah gelap dengan sempurna, terlihat siluet baying dari kegelapan. Seorang pria dan wanita muncul dari kegelapan. Ningrum tersenyum simpul melihat kedatangan Vian, saat matanya beralih ke belakang senyum itu seketiga memudar. Gadis bernama Lisa itu membuat perasaannya kacau. Terlebih Vian terlihat tertarik dengan gadis itu. “Malin, kamu dari mana saja? Saya sangat khawatir,” ungkap Ningrum sembari memeluk Vian. Pria itu hanya diam tanpa membalas pelukan Ningrum. Lisa yang melihat kedekatan mereka hanya menunduk dalam. Ia tahu, dirinya tidak pantas bersama Vian. Ningrum melepas pelukannya, kedua tangan gadis itu menangkup kedua sisi wajah Vian. Perlahan Vian melepaskan kedua tangan gadis itu dari wajahnya. “Saya pergi ke sumber mata air. Kamu tidak perlu khawatir,” kata Vian. “Bapak mau bicara sama kamu tentang rencana pernikahan kita,” kata Ningrum dengan suara yang lebih keras. Matanya melirik pada Lisa yang terdiam sejak tadi. “Besok saya akan ke sana,” kata Vian. Ningrum tersenyum senang dan mengangguk. “Besok pagi saya tunggu di rumah. Saya pulang dulu,” kata Ningrum dengan hati berbunga-bunga. Lisa meremas ujung pakaian kebaya yang ia kenakan. Hatinya terasa sakit saat mendengar bahwa Vian akan menikah dengan wanita lain. Lisa berlari masuk ke dalam bilik tanpa mengatakan apa pun. Air matanya jatuh bersamaan dengan hujan mengguyur bumi.  Lisa meringkuk di pojok bilik sembari memejamkan matanya. Vian dan Riko tahu gadis itu tengah menahan tangisnya. Vian mendekati Lisa dan berjongkok di depannya. “Kamu tidur di atas saja, biar saya tidur di lantai,” kata Vian lembut, namun Lisa hanya diam tidak menjawab sedikit pun. “Kalau kamu marah katakan saja jangan diam seperti ini,” kata Vian. Lisa tetap bungkam membuat Vian geram. Ditariknya tangan gadis itu hingga Lisa membuka matanya lebar-lebar. Jarak wajah keduanya begitu dekat hingga Lisa bisa melihat jelas bola mata Vian yang indah. Napas gadis itu tercekat saat Vian melihatnya lekat. “Sa-saya tidak marah,” kata Lisa gugup. “Kenapa kamu hanya diam saja? katakan sesuatu jangan buat saya khawatir,” kata Vian dengan rahang mengeras. “Saya lapar,” celetuk Lisa membuat amarah Vian mereda seketika. Pria itu baru ingat jika Lisa belum makan sedikit pun sejak sore tadi. Riko melipat kedua tangannya di depan d**a menyaksikan drama menarik yang tersuguh di depannya. Vian terlihat konyol di matanya, lihatlah pria itu memalingkan wajahnya karena malu. Riko mendekati dua anak manusia yang dilanda kasmaran itu. “Saya carikan makanan dulu, kalian jangan bertengkar terus nanti beneran jatuh cinta,” ledek Riko. Sepeninggalan Riko suasana di dalam bilik kembali hening. Lisa menekuk kedua kakinya, memeluk lutut sebelum membenamkan wajahnya.  Rasa canggung membuat Vian tidak berani menatap Lisa. Gadis itu membuat perasaannya kacau balau. Vian akui dia kecewa saat tahu Lisa tidak marah padanya. Vian pikir Lisa akan menangis memintanya untuk membatalkan pernikahan dengan Ningrum, alih-alih mengeluarkan suara ternyata Lisa kelaparan. “Saya akan menikah dengan Ningrum,” kata Vian membuat Lisa mendongkak menatapnya. “Apa tidak sebaiknya kamu pulang meminta restu bundo?” tanya Lisa. “Saya juga ingin melakukan itu, tanpa restu bundo saya tidak akan tenang,” kata Vian, menerawang jauh membayangkan Mande Rubayah hidup sendiri. “Apa kamu mencintai Ningrum?” tanya Lisa. Vian menatapnya, sedetik kemudian ia menyenderkan tubuhnya pada dinding bilik yag terbuat dari anyaman bambu. Vian dilemma dengan keputusannya, ia pun tidak yakin dengan apa yang dilakukannya sekarang. “Cinta itu tidak penting, saya melakukan ini demi kebaikan.” “Bagaimana bisa menikah tanpa cinta? Jika suatu saat nanti kamu tidak bahagia,”kata Lisa. Vian terdiam, jakunnya naik turun. Demi menyelamatkan Lisa, ia harus kehilangan kebahagiaanya. Bisakah ia bahagia dengan wanita yang dicintai? Bukan hanya sekarang tapi dikehidupan masa depan. “Tidak apa jika saya tidak bahagia, yang penting kamu baik-baik saja,” kata Vian membuat air mata Lisa menetes. Vian menangkup kedua sisi wajah Lisa, menghapus air mata gadis itu dengan jemarinya. Ini tidak mudah untuk mereka berdua, tapi apa pun keputusannya salah satu dari mereka akan kecewa. “Kamu masih mencintai saya?” tanya Vian dengan suara seraknya. “Iya,” jawab Lisa singkat. “Apa kamu mencintai Malin Kundang?” tanya Vian. Lisa menggeleng. “Saya mencintai Malino Oktaviansyah.” Dada Vian berdesir mendengar namanya disebut oleh Lisa. Gadis itu satu-satunya orang di masa lalu yang menganggap Vian adalah Malino bukan Malin Kundang. Vian merasa dicintai sebagai dirinya sendiri, bukan orang lain. Perlahan wajah Vian mendekat membuat Lisa mati kutu. Kedua tangan Vian menangkup sisi wajah Lisa, membuat gadis itu membeku. Napas Vian menerpa kulit wajahnya hingga benda asing menyentuh bibir Lisa. Vian menciumnya walau sekadar menempel namun berhasil membuat tubuh Lisa kepanasan. Vian menjauhkan wajahnya dengan gugup. Walau bukan ciuman pertamanya namun Vian merasakan getaran yang berbeda. Tidak ada lumatan atau permainan lidah seperti biasanya. Vian memperlakukan Lisa layaknya benda berharga yang mudah pecah jika diperlakukan dengan kasar. “Jangan mencintai saya jika kamu tidak ingin sakit hati, jangan membenci saya jika kamu merasa kecewa. Cintai saya dengan cara yang berbeda,” kata Vian. “Saya ingin sakit hati kalau bisa bersama kamu,” sahut Lisa. Kedua tangan gadis itu membelai kening Vian sebelum berhenti pada rahang kokohnya. Lisa memejamkan matanya merasakan tangannya membelai wajah Vian. Mata, hidung hingga bibir Vian tak luput dari jamahan jemarinya. Dia akan merindukan Vian setiap saat. Vian menggenggam erat tangan Lisa, mencium punggung tangannya cukup lama. Vian tidak yakin bisa dengan mudah melepaskan gadis itu. Melihat air mata Lisa menngalir karena dirinya membuat Vian merasa bersalah. Bruk! Suara pintu dibuka dengan kasar, Riko dengan tubuh basah kuyup berdiridi amabnag pintu. Wajahnya pucat menatap Vian dan Lisa bergantian. Langkah kaki Riko terasa berat mendekati kedua orang itu. “Ada apa?” tanya Vian. “Lisa dalam bahaya,” kata Riko. Vian dan Lisa berdiri dengan wajah cemas. Apa yang sebenarnya dikatakan oleh Riko? Suara petir menyambar membuat malam semakin mencengkam. Vian bisa melihat wajah Riko yang pucat. “Pria itu datang ingin membawa Lisa pergi. Sekarang dia ada di rumah Juragan Saleh. Mereka akan membawa Lisa pergi,” ujar Riko. “Apa? Bukankah kita sudah memberikan mereka dua kantong emas?” “Aku tidak tahu apa tujuan mereka mencari Lisa, tapi sebelum itu terjadi kita harus mengamankan Lisa.” Vian memejamkan matanya sejenak, otaknya berpikir keras untuk meyelamatkan Lisa. Di mana dia harus menyembunyikan Lisa? Vian Frustrasi, ia kesal dengan ketidakberdayaan dirinya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD